Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Ketika Nila Pindah ke Laut

BPPT mengembangkan ikan nila yang bisa dibudidayakan di laut. Lebih gemuk dan gurih ketimbang nila air tawar.

23 November 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gerombolan ikan itu sekilas tampak seperti kakap. Panjangnya selengan. Tubuhnya gemuk padat berwarna putih dan dihiasi bercak hitam dan merah. Sekitar 65 ekor ikan tersebut berenang mengelilingi tambak air laut berukuran 4x4 meter dengan kedalaman 3 meter di Kepulauan Seribu.

"Ikan ini memang sering dikira kakap. Tak pernah ada yang menebak bahwa ini ikan nila," kata Rahmat, teknisi pengurus tambak, kepada Tempo, Jumat dua pekan lalu. Banyak orang masih belum tahu bahwa nila, salah satu jenis ikan air tawar, bisa diternakkan di air laut, yang berkadar garam tinggi.

Ikan nila ini merupakan hasil percobaan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Peneliti bidang pengembingbiakan dan genetika ikan BPPT, Ratu Siti Aliah, telah memiliki ide ini sejak 2007. "Saat itu kami melihat banyak udang tambak yang mati, sehingga tambaknya jadi tak terpakai. Kami berpikir bagaimana memanfaatkan tambak nganggur ini," kata dia.

Bersama dengan rekannya, mendiang Muhammad Husni Amarullah, dia melakukan percobaan mengadaptasikan nila ke air asin. Induk nila dari lima jenis nila yang ada ditaruh di air berkadar garam 35 bagian per triliun (ppt) selama dua jam. Ikan yang bertahan hidup kemudian diambil dan dikawin silang. Lalu, bibit nila hasil persilangan ini dikembangkan di tambak payau, yang berkadar garam lebih rendah, 20-25 ppt.

Tia, sapaan akrab Siti, dan Husni lantas mencoba untuk membudidayakan nila di air laut, yang memiliki kadar garam 10 tingkat lebih tinggi ketimbang payau. Ternyata tak ada kendala yang ditemui. Ikan-ikan ini dengan mudah beradaptasi dan berkembang biak di tambak laut. "Kami tak melakukan rekayasa genetika ataupun obat khusus. Ikan nila hasil kawin silang ini memang sudah kuat," kata Tia.

Rampung pada 2013, akhirnya BPPT merilis hasil percobaan mereka pada September lalu. Ikan yang dinamakan nila maharsi ini dibudidayakan di Kepulauan Seribu, yang bekerja sama dengan PT Nusa Ayu Keramba.

General Manager Nuansa Ayu Karamba, Martin Hadinoto, menyediakan enam keramba untuk pengembangbiakkan nila maharsi. Lokasinya terletak di sebuah "pulau gosong", pulau kecil tanpa tumbuhan, yang terletak di antara pulau Pramuka dan Panggang, yang berjarak 1 jam perjalanan dari dermaga di Marina, Ancol. Saat ini ada kurang lebih 1.400 ekor ikan, baik untuk penelitian maupun bahan makanan untuk restoran yang dikelola Martin. Perawatan ikan ini diserahkan kepada Rahmat, yang juga staf BPPT.

"Sudah tiga tahunan lebih saya mengurus. Memang sempat berhenti setahun, baru mulai aktif lagi pada 2014," tutur Rahmat. Perawatan nila maharsi ini, menurut dia, lebih sulit ketimbang nila payau atau tawar.

Kendala pertama, menurut Rahmat, adalah banyaknya bakteri yang terkandung di air laut. Salah satu yang paling berbahaya adalah Streptococcus sp, yang menyebabkan penyakit streptococcosis. Sekali terkena, ikan nila akan langsung mati dalam waktu lima hari bila tak mendapat perawatan. Maka, pengawas tambak harus teliti melihat ciri penyakit berupa rona merah seperti luka di tubuh ikan. "Kalau sudah terkena, harus lekas ditaruh di air tawar," kata dia.

Lalu, masalah tenaga kerja. Rahmat menyatakan masih sedikit pekerja yang paham cara merawat nila. Salah satu contohnya adalah di tambak tempatnya bekerja ini. "Kadang, saat saya tinggal ke daerah lain, begitu kembali sudah banyak ikan yang sakit. Susah cari yang awas," kata dia.

Biaya pun tak luput dari masalah. Tambak laut yang berarus membuat Martin harus merogoh kocek lebih untuk pakan nila. Ia pun tak bisa sembarangan memberi makan, selain yang sudah disediakan BPPT. Pakan ini sudah mengandung obat perangsang hormon pertumbuhan dan vaksin untuk daya tahan nila.

Bibit nila pun tak dapat dengan mudah didapat. Saat ini sentra pembiakan bibit hanya berada di Karawang, Jawa Barat. Nila maharsi tak dapat sembarangan berkembang biak. Sebab, begitu besar di air asin, mereka kehilangan kemampuan reproduksinya. Indukan ikan dengan sengaja dipisahkan di air dengan kadar keasinan 5 ppt. Satu indukan dapat menghasilkan dua ribu telur setiap kali kawin. Namun BPPT tak dapat memberikan data jumlah indukan dan bibit nila yang mereka miliki saat ini.

Beratnya proses perawatan ini sepadan dengan hasil yang didapat. Bibit nila yang berbobot hanya 100 gram saat datang bisa mencapai 1,5 hingga 2 kilogram saat dipanen enam bulan kemudian. Ini dua kali bobot nila biasa. Tekanan osmotik akibat kadar keasinan yang tinggi akan mengurangi kandungan air dalam tubuh nila, sehingga dagingnya lebih padat. "Rasa dagingnya juga tak amis seperti ikan lumpur, lebih tawar karena garam," kata Rahmat.

Tempo berkesempatan mencicipi masakan nila maharsi di Restoran Nusa, rumah makan di tengah laut dekat keramba. Ikan nila kukus dengan kuah asin yang dihidangkan berukuran sebesar gurame dan cerita tentang kepadatan daging bukan sekadar isapan jempol. Namun rasa amis khas daging ikan lumpur masih sedikit terasa di lidah.

Kendati demikian, masakan ikan ini sangat populer di kalangan pengunjung. Kebanyakan pengunjung restoran yang mampir setelah melakukan snorkeling atau menyelam di Kepulauan Seribu pada umumnya tak menyangka ini adalah ikan nila. "Mereka kira kakap," kata Martin.

Saat ini, selain di Kepulauan Seribu, sentra nila maharsi terletak di Makassar dan Pekalongan. "Ada rencana untuk disebarluaskan ke pantai jalur pantura," kata Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi BPPT, Eniya Listiani Dewi.

Penyebaran ini akan didukung oleh Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi serta melibatkan kampus-kampus setempat. Sejauh ini, menurut Eni, belum ada rencana untuk melakukan percobaan serupa terhadap ikan jenis lain. BPPT masih akan terus memantau perkembangan budi daya ikan nila laut ini hingga berhasil menjadi pengganti kakap merah.

Ursula Florene

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus