Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Hentikan Penutupan Lokalisasi Seks

23 November 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hampir dua dekade Prasada Rao berurusan dengan minimnya pengetahuan masyarakat tentang wabah AIDS. Ini membuat dia tak pernah putus berbicara tentang penyakit ini untuk mengubah stigma sosial tentang mereka yang tertular. Rao membuka topik-topik tabu, termasuk seks bebas dan seks transgender--ihwal yang barangkali tak mudah dibicarakan terbuka di Indonesia serta masyarakat Asia pada umumnya.

Berdasarkan pengalaman, Rao amat percaya bahwa diskusi terbuka adalah cara terbaik melindungi diri dari epidemik ini. "Bagi orang Asia, seks itu tabu; seks hanya terjadi di tempat tidur, bukan di jalanan. Justru di sini tantangannya," kata Rao kepada Tempo. Pemerintah India mempercayakan tugas Direktur Jenderal Organisasi Pengendalian AIDS Nasional di kepada Rao pada 1997.

Di tangan pria ini, tingkat prevalensi India untuk penyakit itu terjun dari 42 ke 3,5 persen. Hasil yang dia capai dalam waktu kurang dari dua dekade. Strategi dia sejatinya amat mendasar: membujuk pasien bicara terbuka, mendorong masyarakat melakukan tes HIV pribadi, mendesak semua rumah sakit menyediakan unit pemeriksaan HIV-AIDS.

Sukses di negerinya mengantar Rao ke kursi Direktur Regional UNAIDS untuk Asia-Pasifik pada 2004 dan berkantor di Bangkok. Pengalaman di India dan Thailand membawa Rao pada kesimpulan ini: "Pembubaran lokalisasi seks adalah langkah amat keliru dan harus dicegah."

Pada 2012, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon menugasi Rao menjadi Utusan Khusus PBB untuk AIDS di kawasan Asia Pasifik. Tahun ini diperkirakan Indonesia mencatat 600 ribu orang terinfeksi HIV/AIDS, dan baru 20 persen yang dilaporkan. Fakta ini menyedot perhatian Rao. "Program kesehatan di Indonesia sudah baik, tapi ada sejumlah masalah yang perlu lebih didorong agar berhasil," kata dia.

Kunjungannya kali ini bertujuan mendukung Indonesia mengakhiri epidemi HIV/AIDS pada 2030. Dia menjadi pembicara kunci Konferensi AIDS Nasional di Makassar pada akhir Oktober lalu. Di sela-sela jadwal yang amat padat, Rao–ditemani Direktur UNAIDS untuk Indonesia, Cho Kah Sin--memberi wawancara kepada wartawan Tempo Hermien Y. Kleden dan Cheta Nilawaty di Jakarta Selatan.

* * * *

Seberapa urgen isu HIV/AIDS di Indonesia sekarang sehingga Anda anjurkan pemerintah untuk memasukkannya ke agenda prioritas?

Paling baik kita bicara dengan contoh. Anda lihat saja bencana kebakaran di sini. Kini menjadi Indonesia. Padahal lima tahun lalu tidak. Sekarang Anda menghadapi hutan-hutan terbakar dan masyarakat tak berdaya mengatasinya. Ini sama dengan HIV/AIDS. Jika tidak Anda cantumkan sebagai prioritas sekarang, lima tahun lagi masalah ini jadi prioritas utama.

Jadi, perlu bertindak secepat-cepatnya?

Bertindaklah cepat dan jangan tunggu sampai kesempatan hilang. Di Indonesia kini ada 600 ribu pengidap HIV/AIDS. Kalau menunggu sampai lima tahun, jumlah pengidapnya menjadi satu juta orang. Jika itu terjadi, Anda sudah kalah perang.

Bukankah Indonesia telah berbuat cukup banyak? Program kesehatan di negeri ini, yang berkaitan dengan HIV/AIDS, sudah meliputi semua unsur esensial.

Kalau mau jujur, ya. Dalam pencegahan bidang kesehatan memfokuskan perhatian pada transgender, pada program penyembuhan, dan program penyadaran. Jadi semua unsur pokok terpenuhi. Hanya semuanya belum mencapai skala yang diharapkan.

Sebetulnya apa hal terpenting dalam penanganan HIV/AIDS?

Pertama, lakukan tes untuk mengecek seseorang mengidap atau tidak. Banyak orang tidak sadar mereka mengidap AIDS. Kita perlu membuka pusat-pusat pemeriksaan untuk memudahkan tes. Dalam kaitan dengan program penyembuhan, pemeriksaan sudah mencakup 80-90 persen upaya. Jika ini dilakukan, penularan baru akan menurun. Urgensi kedua, pencegahan dan pengobatan. Masalah anak jadi hal terpenting ketiga. Meskipun banyak ibu melahirkan anak positif terinfeksi HIV/AIDS, mereka tak mendapatkan perlakuan medis. Sekarang tersedia beberapa jenis obat yang amat manjur.

Data mencatat hampir 99 persen kasus di mana ibu dapat melahirkan bayi yang sehat.

Tetapi untuk hal itu Anda harus mengidentifikasi ibu-ibu yang positif mengidap AIDS dan mengarahkan mereka untuk datang ke rumah sakit atau puskesmas untuk melakukan pemeriksaan darah. Jika ternyata positif, mereka harus dimasukkan ke program penyembuhan agar tak melahirkan anak yang membawa status HIV.

Apa yang dipelajari dari sukses India menghadapi epidemi ini?

Ketika mulai pada 1997, terus terang kami sama sekali tak punya pegangan. Tak seorang pun mengajarkan kami harus buat apa. Tidak ada informasi, tidak ada strategi, kami mulai begitu saja. Tapi kami lalu melihat pergerakan wabahnya, ciri-cirinya. Kami menemukan kelompok rentan AIDS adalah pekerja seks, homoseks, dan transgender. Karena itu kami harus melakukan program pencegahan.

Macam apa program pencegahan tersebut?

Dengan upaya sendiri, kami merancang apa yang disebut intervensi bertarget dalam tiga tipe. Pertama, memberi perlakuan medis kepada tiap individu, seorang demi seorang, dan bukan melalui poster. Kedua, memberikan kondom untuk mereka gunakan saat berhubungan seks. Ketiga, pemberdayaan lingkungan sekitar.

Maksud Anda?

Misalnya, jika kami tengah menjalankan program dan polisi datang serta menyita semuanya, kami akan bubar. Jadi, kami harus mendidik polisi.

Mengapa Anda sering mengatakan menutup lokalisasi adalah ide gila?

Menutup lokalisasi tak menghentikan perdagangan seks, dan hanya akan memindahkannya ke tempat lain. Perdagangan seks akan terjadi tanpa kontrol, tanpa monitoring, dan tanpa ketersediaan layanan pemeriksaan. Itu sebabnya, salah satu rekomendasi saya adalah hentikan penutupan lokalisasi.

Kami melakukannya di Indonesia. Anda tidak percaya pekerja seks bisa berhasil dalam program pembinaan dan keluar dari hidup sebagai pekerja seks?

Anda menghancurkan program pemberantasan AIDS manakala Anda mulai menutup lokalisasi. Percobaan di banyak tempat hanya berakhir dengan hasil lebih mengenaskan dan membawa masalah lebih besar.

Melihat ini, saya jadi bertanya-tanya, mengapa Indonesia melakukannya.

Karena banyak kalangan berpikir membeli seks, yang bebas tersedia, akan melahirkan lebih banyak masalah....

Ya, itu selalu reaksi pertama dari orang-orang. Tapi, dari pengalaman saya, bisa dikatakan ini: penularan tidak akan berhenti karena Anda membredel lokalisasi. Penularan terus merangsek ke masyarakat luas. Pelanggan pekerja seks adalah suami kita, saudara kita, atau ayah kita.

Ya, mereka berasal dari masyarakat luas....

Mereka lantas menularkan penyakit kepada istri yang tak tahu suaminya ngelayap ke mana-mana. Jadi, kalau kita tak melindungi pekerja seks, kita tak melindungi diri kita dan anak-anak kita.

Apa tanggapan Anda bila orang menggugat dari segi moral?

Kita tidak bisa bersikap moralis dalam hal ini. Kita perlu melihat duduk persoalannya. Bagaimana seseorang tertular dan dari mana dia tertular tak perlu kita persoalkan. Yang penting, jika positif tertular, dia harus diberi perlakuan medis. Jangan tanya dia sudah tidur dengan berapa perempuan karena Anda akan terjebak dalam masalah moral yang berat. Setiap orang punya sisi kelemahan, bahkan para pemimpin agama pun punya banyak cerita.

Terhadap tuduhan mempromosikan kondom sama dengan mendorong seks bebas, apa komentar Anda?

Yang kami lakukan semata-mata berdasarkan niat baik, yakni mencegah orang tak tertular HIV. Dewasa ini tak ada obat penyembuh, tidak ada vaksin. Satu-satunya cara 100 persen efektif mencegah HIV adalah kondom. Dan, kepada masyarakat, ini yang harus kami katakan: setialah kepada satu pasangan, termasuk laki-laki dengan laki-laki.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus