Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MALAM baru menggelayut di langit Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, ketika Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menyambangi rumah Gerisman Ahmad, Ketua Umum Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Rempang-Galang, pada Senin, 18 September lalu. Seorang diri, Bahlil bertamu tanpa memberi tahu lebih dulu. “Saya datang ke sini sebagai anak yang bertemu bapaknya,” kata Bahlil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah Gerisman berada di sebelah kanan jalan masuk Pantai Melayu, Jalan Trans Barelang, Rempang Cate, Kecamatan Galang, Kota Batam. Pria yang sehari-hari akrab disapa Abah itu adalah tokoh adat yang menaungi 16 kampung tua di Pulau Rempang. Pulau ini bergejolak setelah pemerintah mengerahkan aparat keamanan untuk mengosongkan wilayah yang dihuni sekitar 7.500 penduduk itu secara paksa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertemuan empat mata antara Bahlil dan Gerisman tak banyak diketahui penduduk setempat. Informasi pertemuan tersebut baru menyebar esoknya setelah Gerisman mengundang sejumlah orang untuk berdialog dengan Bahlil di rumahnya. Pertemuan yang dimulai pada pukul 10.00 WIB dan berakhir sore itu membahas tawaran pemerintah menyelesaikan sengketa lahan di Pulau Rempang.
Ratusan warga Pulau Rempang tumpah di depan rumah Gerisman karena tak kebagian kursi. Selepas pertemuan, Bahlil mengaku telah membuat sejumlah kesepakatan. Dia menjelaskan, Gerisman dan tokoh masyarakat tak keberatan atas rencana relokasi penduduk asalkan lokasi baru tetap berada di Pulau Rempang. Sebelumnya pemerintah memaksa penduduk pindah ke Pulau Galang—40 kilometer jauhnya. “Selama tidak mengganggu master plan, kita bahas bersama,” ucap Bahlil.
Ketua Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan Rempang-Galang Gerisman Ahmad menjelaskan sejarah 16 kampung tua di Pulau Rempang-Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau, 14 Agustus 2023. Tempo/Yogi Eka Sahputra
Pulau Rempang akan diubah menjadi pusat bisnis dan perdagangan di bawah nama Rempang Eco-City. Pengelolanya PT Makmur Elok Graha. Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) memberikan konsesi pengelolaan Rempang kepada anak usaha Artha Graha Network milik pengusaha Tomy Winata itu selama 80 tahun. Dari total 17 ribu hektare, 10 ribu hektare di antaranya berstatus hutan dan tidak bisa digarap.
Menurut Bahlil, wilayah prioritas relokasi adalah Desa Sembulang Hulu, Sembulang Tanjung, dan Pasir Panjang. Di atas lahan seluas 2.000 hektare itu bakal dibangun pabrik kaca Xinyi Glass Limited, pabrik kaca terbesar di dunia asal Cina. Sebagai gantinya, tiap keluarga akan mendapat bangunan seluas 45 meter persegi di atas lahan seluas 500 meter persegi. Selama masa pembangunan, pemerintah menyediakan fasilitas hunian sementara atau bantuan uang sewa rumah.
Gerisman membenarkan pernyataan Bahlil. Ia meminta warga kampung tua berpikir dengan kepala dingin. “Saya sampaikan kepada bangsa Melayu daerah lain, saat ini Rempang-Galang sudah kondusif,” ujarnya. Suardi, juru bicara Keramat, juga meminta masyarakat tak mencurigai keputusan itu. “Saya berharap jangan sampai ada keretakan di antara warga,” katanya.
Dukungan Gerisman terhadap rencana relokasi dianggap tak mewakili keinginan sebagian besar warga. Siti Hawa, 72 tahun, kesal lantaran kesepakatan itu dibuat oleh segelintir orang dan tak melibatkan semua penghuni Pulau Rempang. “Kami menolak relokasi. Lahan ini sudah ratusan tahun kami tempati,” tutur penghuni pesisir Sembulang ini. Siti tak mengetahui penyebab perubahan sikap Gerisman.
Wali Kota Batam Muhammad Rudi tak menghiraukan penolakan itu. Dia mengungkapkan, kesepakatan antara Menteri Bahlil dan Gerisman memungkinkan perubahan skema relokasi ke sejumlah tempat. “Namanya manusia, tidak semuanya sejalan. Akan kami dekati terus. Jadi yang mau saja yang kami geser,” ucap Rudi, yang juga menjabat Kepala BP Batam.
Tempat relokasi warga Pulau Rempang yang terkena dampak pembangunan Rempang Eco-City, 21 September 2023. Tempat relokasi permanen tepat berada di Sijantung, Pulau Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau. Tempo/ Yogi Eka Sahputra
Sebelum kasus Rempang memanas, jaksa dan polisi melayangkan surat panggilan pemeriksaan kepada Gerisman. Pada Selasa, 1 Agustus lalu, Kejaksaan Agung menerbitkan surat panggilan bernomor R-672/D.4/Dek.2/08/2023 kepadanya atas dugaan pelanggaran aturan pengelolaan kawasan Rempang. Sehari berselang, surat panggilan juga datang dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Kepulauan Riau.
Juru bicara Lembaga Bantuan Hukum Ansor, Shon Haji, mengatakan panggilan pemeriksaan tak hanya ditujukan kepada Gerisman, tapi juga bagi banyak warga Pulau Rempang. Mereka diancam bakal dihukum dengan tuduhan penyerobotan lahan. LBH Ansor mendapat surat kuasa dari 100 warga Pulau Rempang untuk mendampingi mereka menjalani pemeriksaan polisi. “Kantor kami diintimidasi, spanduk pengaduan dicopot satpol PP (satuan polisi pamong praja),” katanya.
Gerisman sudah lama dikenal sebagai sosok yang lantang menyuarakan penolakan rencana relokasi yang berujung bentrokan antara polisi dan masyarakat pada Kamis, 7 September lalu. Gubernur Kepulauan Riau Ansar Ahmad berusaha meredam penolakan dengan menyambangi rumah Gerisman setelah kerusuhan tersebut. Tapi pendekatan itu tak menghentikan perlawanan masyarakat karena kerusuhan kedua meletus pada Senin, 11 September lalu.
Puluhan orang terluka akibat pukulan petugas dan tembakan gas air mata dalam dua kerusuhan itu. Pulau Rempang yang memanas membuat pemerintah mengutus Bahlil, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, serta Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Hadi Tjahjanto ke Pulau Rempang.
Penelusuran Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebutkan korban bentrokan banyak berjatuhan karena penggunaan kekuatan aparat keamanan secara berlebihan. Komisioner Komnas HAM Saurlin P. Siagian mendesak pemerintah mengedepankan audiensi guna menyepakati opsi penyelesaian. “Penggusuran dilakukan terburu-buru karena lokasi pemindahan belum siap,” ucapnya.
Komnas HAM meminta pemerintah menjalankan delapan rekomendasi lembaga ini. Di antaranya peninjauan ulang penetapan status Pulau Rempang sebagai proyek strategis nasional dan pencabutan status hak penggunaan lahan. Saurlin juga mengingatkan aparat keamanan agar tak melakukan tindakan eksesif terkait dengan rencana pengosongan pada 28 September nanti. “Polisi harus mengedepankan prinsip keadilan restoratif,” ujarnya.
Ancaman pengosongan paksa tak membuat warga Pulau Rempang gentar. Saerah, warga Pulau Rempang, bertekad akan bertahan sekalipun harus berhadapan dengan aparat keamanan. Ia menolak tawaran relokasi karena tidak ada kejelasan jaminan hidup di lokasi baru. Sikap Saerah didukung Zaitun, 81 tahun, warga Kelurahan Sembulang. “Nenek moyang kami berpesan agar menjaga kampung ini,” tutur Saerah. “Jadi kami rela mati di sini."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Yogi Eka Sahputra dan Nur Khasanah Apriliani berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kesepakatan Diam-diam di Rempang"