Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ibadah haji tahun ini menjadi ujian tersendiri bagi Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Bagaimana tidak, dua peristiwa besar terjadi di Mekah dan Mina, Arab Saudi, dalam selang waktu berdekatan, yakni peristiwa jatuhnya crane di Masjidil Haram dan tragedi yang terkait dengan lempar jumrah di Mina. Korban meninggal dari jemaah Indonesia seluruhnya lebih dari 100 orang.
Lukman selaku amirul hajj alias pemimpin jemaah haji Indonesia mesti pontang-panting menangani persoalan bersama Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH). Terutama terkait dengan peristiwa Mina, politikus Partai Persatuan Pembangunan itu mesti berjibaku dalam proses mencari dan mengidentifikasi korban. Beban pemerintah masih ditambah karena ada desakan publik yang menuntut urusan ini lekas dituntaskan.
Padahal, kata Lukman, proses identifikasi korban tidak gampang. Ini karena otoritas setempat punya aturan main sendiri yang membuat pemerintah negara lain, termasuk Indonesia, tak bisa sembarangan blusukan mencari informasi.
Toh, Lukman berusaha cuek menerima tumpukan protes masyarakat tersebut. "Saya selalu bilang ke teman-teman PPIH, kita terima saja kritiknya. Ini tahadduts binni'mah (menganggapnya nikmat)," ujar Lukman saat menerima wartawan Tempo Tulus Wijanarko, Sunudyantoro, Isma Savitri, videografer Denny Sugiharto, dan fotografer Frannoto di ruang kerjanya di kantor Kementerian Agama, Jakarta Pusat, Rabu siang pekan lalu.
Lukman mengklaim pemerintah Indonesia tergolong lebih tanggap dibanding negara lain. Apalagi hingga kini bahkan Arab Saudi juga belum mempublikasikan detail tragedi Mina berikut jumlah korban meninggal.
Bagaimana perkembangan terakhir penelusuran jemaah Indonesia korban tragedi Mina?
Sampai sore ini, ada 120 korban peristiwa Mina (dari Indonesia) yang teridentifikasi wafat. Lalu yang di rumah sakit masih ada 5 orang dan yang belum kembali 8 orang.
Apa tantangan yang dihadapi pemerintah dalam identifikasi korban di Mina?
Setelah membahasnya dalam rapat, kami memilih untuk menyebut kejadian itu sebagai peristiwa Mina agar lebih netral. Kami, Panitia Penyelenggara Ibadah Haji, baru kali ini mengalami dan menangani peristiwa seperti yang terjadi di Mina. Tapi kami punya pengalaman menangani jatuhnya crane di Masjidil Haram. Jadi dari situlah kami belajar manajemen krisis dan lainnya.
Peristiwa Mina menjadi tak mudah kami tangani karena Arab Saudi tidak pernah memberikan informasi resmi soal apa yang terjadi: itu peristiwa apa, juga berapa jumlah dan asal negara korban. Jadi praktis, sampai hari ini, PPIH sendiri yang melakukan identifikasi, verifikasi, dan sebagainya. Saya dan rombongan amirul hajj alhamdulillah tinggal di Daker (Kantor Urusan Haji Daerah Kerja) Mekah, sehingga memudahkan rapat organisasi.
Seperti apa situasi di Daker ketika terjadi peristiwa Mina?
Kejadiannya pukul 07.30 waktu setempat pada 24 September 2015. Itu terjadi setelah kami wukuf di Arafah. Setelah wukuf, kami mabit (bermalam) di Muzdalifah, lalu setelah subuh menjalani tawaf ifadah dan sa'i. Saya kembali ke Wisma Daker pukul 8 pagi, dalam kondisi capek sekali, sampai akhirnya tidur pukul 08.30 di lantai 1 Daker. Sekitar pukul 11.15, antara sadar dan enggak, terdengar telepon saya berdering berkali-kali. Ternyata dari Pak Jamil (Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Abdul Jamil), yang sampai 13 kali menelepon. Dia lalu menjelaskan baru saja terjadi peristiwa luar biasa di Mina.
Ketika itu Dirjen sudah tahu ada anggota jemaah Indonesia jadi korban?
Belum tahu. Kata Pak Jamil, tim sedang menuju lapangan. Saya bilang tunggu 10 menit, saya siap-siap dulu. Saat telepon, saya masih riyep-riyep. Ya sudah, saya segera mandi dan turun ke bawah.
Kami serba bingung apa yang harus dilakukan. Akhirnya kami minta petugas yang ada di dekat lokasi merapat ke tempat kejadian mencari informasi. Ternyata, pukul 11.30, lokasinya sudah disterilisasi dengan police line. Semula kami akan ke lapangan, tapi saya pikir untuk apa. Toh, kami tidak bisa masuk.
Berapa jauh jarak Daker ke lokasi peristiwa Mina?
Kira-kira 5-7 kilometer. Kalau ke rumah sakitnya masih dalam radius 10-12 km. Tapi rumah sakit tidak bisa ditempuh dengan mudah karena lalu lintasnya luar biasa padat dan macet. Semua orang pada saat itu kan sedang ada di Mina dan Mekah.
Apa langkah tanggap darurat yang dilakukan petugas dari Indonesia saat itu?
Pertama, kami berbagi tugas mendatangi beberapa rumah sakit menemui jemaah kita. Kami juga meminta semua ketua rombongan mendata jemaahnya. Di situlah kami mengetahui ada 154 anggota jemaah yang belum kembali ke maktab dan tidak diketahui keberadaannya. Pukul 12 siang, kami akhirnya menggelar konferensi pers pertama. Ketika itu berita di sejumlah media online sudah simpang-siur. Dalam konferensi pers, kami menyebut benar ada peristiwa itu, terjadi di Mina, dan faktanya kami sampaikan, tapi penyebabnya kami belum tahu. Saat itu yang sudah kami identifikasi (korban dari Indonesia) baru satu orang karena kami menemukannya di rumah sakit.
Soal 154 orang yang belum ditemukan itu juga kami melewati perdebatan panjang. Ada yang mengatakan mereka hilang, tapi "hilang" itu kan artinya tidak kembali. Makanya kami akhirnya pakai istilah "belum kembali". Sebab, kalau belum kembali penyebabnya beragam, bisa jadi si anggota jemaah kesasar, mengunjungi maktab lain, atau ke mana. Nah, sampai hari ini, 7 Oktober 2015, dari 154 anggota jemaah yang belum kembali itu, masih ada 8 orang yang belum kami ketahui keberadaannya.
Saat itu komunikasi dengan Presiden Joko Widodo jalan terus?
Saya terus berkomunikasi melalui Pak Teten Masduki (Kepala Kantor Staf Kepresidenan) karena Presiden ingin selalu mendapat informasi. Ya, jangan sampai Presiden tahunya dari media dulu, kan, ha-ha-ha….
Apakah aparat pemerintah Arab Saudi kooperatif terhadap PPIH yang tengah melacak korban-korban dari Indonesia?
Hari pertama dan kedua, kami tidak mendapatkan akses sama sekali masuk ke rumah sakit-rumah sakit. Tapi memang ada yang perlu diluruskan. Dalam situasi normal sekalipun, kondisi rumah sakit di sana beda dengan di Indonesia. Di sini kita bisa mudah menjenguk pasien yang dirawat di rumah sakit, kalau di Arab Saudi enggak bisa. Apalagi kalau bukan muhrimnya, itu lebih ketat lagi.
Tidak mudah buat saya untuk mendatangi dan masuk rumah sakit. Sebab, jangankan menteri, petugas haji pun tidak leluasa blusukan masuk ke dalam. Proses mendapatkan akses itu sangat sulit.
Kita juga lupa bahwa peristiwa ini terjadi di "rumah" orang. Seakan-akan kita ingin penanganannya cepat beres, tapi kan kejadian itu terjadi di negara orang yang punya tradisi, budaya, dan peraturan sendiri. Akhirnya kami memahami mungkin mereka perlu waktu untuk evakuasi dan verifikasi korban.
Bagaimana titik terang proses identifikasi mulai terbuka?
Pada hari ketiga, kami baru tahu di Mina ada Majma' ath-Thawary bil Muaishim, bangsal tempat pemusaraan jenazah korban peristiwa Mina. Jadi, Jumat malam, kami baru bisa melihat seluruh foto korban Mina. Ketika itulah kami tahu, hari pertama dan kedua akses tertutup karena pemerintah setempat tengah memotret seluruh korban meninggal. Mereka juga mengambil sidik jarinya. Jadi di Muaishim itu ada ruangan yang dindingnya dipasangi ribuan foto jenazah.
Ketika saya datang ke Majma' ath-Thawary bil Muaishim setelah peristiwa Mina pun sempat terjadi kesalahpahaman. Mereka sebenarnya hormat kepada kita, hanya memang takut karena seorang menteri sampai datang ke sana. Dalam hal-hal semacam ini, mereka memang tidak ditopang oleh regulasi baku dan sepenuhnya bergantung pada kebijakan raja.
Kenapa baru pada hari ketiga PPIH Indonesia mengetahui adanya Muaishim itu?
Mereka (Arab Saudi) yang memberi tahu. Juga dikatakan bahwa mereka sudah memfoto semua jenazah yang ada di tempat persemayaman. Sistemnya kan per kontainer. Nah, itu ada beberapa kontainer ditaruh di sana.
Setelah itu, bagaimana tahapan identifikasi dilakukan petugas kita?
Petugas melihat satu per satu foto di Muaishim untuk mengenali jemaah kita. Tiap jenazah ada foto setengah badan, dari depan dan samping. Foto itu hanya diberi nomor, tanpa informasi lain. Petugas kita mengecek mana yang wajahnya khas "orang kita", ditambah tanda pengenal lain. Tanda pengenal yang melekat di badan korban—misalnya slayer atau tas cangklong—dimasukkan ke kantong cokelat yang mereka sebut file jenazah.
Tapi foto itu kan bukan jaminan bahwa jenazah tersebut adalah jemaah kita. Sebab, foto itu menjepret fisik jenazah yang sudah membengkak--sudah masuk hari ketiga setelah peristiwa Mina. Makanya kami juga mengidentifikasi dari atributnya, seperti mukena yang dikenakan jenazah. Mukena jemaah kita punya ciri bordiran yang khas. Yang sulit adalah ketika file-nya kosong, tidak ada atribut yang bisa memperkuat foto. Kalau sudah begitu, kami harus mengecek sidik jari. Ini yang perlu waktu karena harus minta izin bagian imigrasi Arab Saudi.
Dengan adanya foto dan file, proses identifikasi lebih cepat dilakukan?
Perkembangan identifikasi kadang cepat, ada kalanya tidak. Kondisi jenazah sudah sedemikian rupa, sampai saya mesti memakai masker berlapis-lapis. Sebelum memakai masker itu, saya pasang kopi dalam bentuk lintingan di dekat hidung (untuk menetralisasi aroma tak sedap). Makanya yang lain pada tanya, kok saya kuat sekali di situ.
Banyak juga kesaksian jemaah yang kami terima. Misalnya ketika mendatangi kelompok terbang JKS 61, yang anggotanya paling banyak jadi korban peristiwa Mina. Ada seorang anggota jemaah bilang melihat dari jarak tiga meter suaminya jatuh, lalu tertimpa anggota jemaah lain. Dia yakin suaminya tidak bangun lagi. Ada juga yang bilang istrinya sempat berada di pangkuannya, susah bernapas, tapi tiba-tiba sang istri terpental karena arus jemaah lain.
Kesaksian seperti itu sulit dijadikan dasar untuk menyatakan seorang anggota jemaah telah wafat. Mengumumkan seseorang wafat kan ada konsekuensi hukumnya dan harus bisa dipertanggungjawabkan. Secara medis pun wafat ada definisi sendiri. Karena itu, kami bilang bahwa petugas perlu mengidentifikasi dan menemukan jasadnya.
Banyakkah jenazah yang susah diidentifikasi?
Cukup banyak. Karena itu, kami terus melakukan konferensi pers sejak 24 September lalu sampai hari ini. Bahkan ada dua hari kami dua kali mengeluarkan rilis. Ini menunjukkan proses identifikasi terus berjalan seiring dengan diumumkannya nama-nama jenazah yang baru ditemukan kepada publik.
Publik sempat tenang karena pemerintah menyebut tempat petaka itu bukan jalur yang dilalui jemaah Indonesia. Tapi ternyata belakangan diketahui banyak korban dari jemaah kita....
Faktor penyebabnya masih perlu diinvestigasi lebih mendalam. Tapi, fakta dari kesaksian mereka yang ada di sana, jalur 204 tempat terjadinya peristiwa Mina bukan jalur resmi jemaah Indonesia, melainkan jemaah Afrika, Iran, dan sebagainya.
Kalau jemaah haji kita ada di situ, ada dua alasan. Pertama, karena dia tidak tahu itu bukan jalurnya. Kedua, karena memang mereka diminta berbelok masuk ke jalur itu oleh polisi. Tapi alasan polisi meminta jemaah Indonesia berbelok ke jalur 204, itu kami belum tahu.
Setelah jenazah diidentifikasi, PPIH segera mengabari keluarga almarhum?
Selalu saya tekankan kepada teman-teman, sebelum informasi dirilis, sampaikan dulu kabarnya kepada keluarga. Sebab, sangat tidak etis jika keluarga tahu dari media. Bahkan, seandainya ada jenazah yang sudah kami identifikasi tapi kami belum berhasil menghubungi keluarganya, kami tunda publikasinya. Jadi kami berhati-hati betul soal itu.
Adakah kesulitan dalam menghubungi keluarga korban?
Memang belum tentu cepat. Sebab, kadang tidak bisa lewat telepon saja, tapi harus dicari betul. Kami akhirnya meminta tolong kepada kantor wilayah Kementerian Agama di kabupaten/kota. Tapi kan kanwil juga tidak selamanya mudah mencapai rumah si almarhum, jadi ada kalanya butuh dua hari untuk mencarinya.
Ada juga anggota jemaah asal Garut yang meninggal di maktab karena sebab lain. Saat itu suaminya langsung yang berkomunikasi dengan putra mereka. Tapi saya perhatikan dia tidak berhasil menyampaikan kabar duka karena terus menangis. Itu karena, ketika menelepon, dia berada di depan jasad istrinya. Akhirnya sayalah yang mengontak anak si anggota jemaah meninggal tersebut.
Itu yang membuat PPIH akhirnya membuat tim konseling di sana?
Iya, karena kejadian-kejadian itu membuat jemaah betul-betul mengalami trauma. Ini karena mereka tak hanya kehilangan anggota keluarga, tapi juga melihat langsung bagaimana anggota keluarganya meninggal. Kenangan itu susah hilang dari ingatannya. Sampai ada yang diam saja dan tidak mau makan. Tidak bisa keluar karena mengalami trauma melihat kerumunan orang banyak....
Siapa saja yang tergabung dalam tim konseling?
Ada tim kesehatan haji dan tim agama. Jadi pemulihannya lewat psikologi dan keagamaan.
Kalau peristiwa jatuhnya crane di Masjidil Haram, bagaimana Anda dan tim menanganinya?
Peristiwa jatuhnya crane itu beberapa saat setelah Pak Jokowi mendarat di Jeddah. Ketika itu saya ada di sana karena ikut menyambut beliau. Secara khusus Raja Salman pun menjemput langsung Pak Jokowi di bawah tangga pesawat. Itu baru pertama kalinya ada raja yang menyambut kepala negara. Tentu itu istimewa, apalagi angin di Jeddah sedang sangat kencang.
Setelah acara selesai pada magrib, saya mendapat kabar ada crane jatuh di Masjidil Haram, yang menyebabkan jatuh korban dari jemaah kita. Saya setelah itu langsung ke Rumah Sakit An-Nur. Agenda umrah Presiden malam itu pun dibatalkan karena ada peristiwa robohnya crane. Lokasi itu disterilisasi.
Kenapa Raja Saudi sampai menyambut Jokowi secara khusus?
Saya pikir kali ini Indonesia sangat dipandang baik oleh Arab Saudi. Selain soal sambutan Raja Salman, kuota haji kita ditambah 10 ribu tahun depan dan 10 ribu lagi pada tahun berikutnya.
Meski ada hubungan baik, dampaknya tidak sampai ke lapangan, ya, saat PPIH berusaha menangani korban dari Indonesia?
Ada pengaruhnya. Buktinya, tim DVI (Disaster Victim Identification) kita jadi satu-satunya tim selain dari otoritas mereka yang diizinkan pemerintah setempat bergabung dalam penanganan korban peristiwa Mina. Tim DVI datang menyusul ke Arab Saudi karena kami dari PPIH tidak ngerti apa-apa soal forensik dan sidik jari. Sepuluh orang dari tim DVI itu bergabung setelah saya meminta tolong kepada Bu Retno (Menteri Luar Negeri Retno Marsudi), karena menurut saya ini sudah masuk urusan diplomasi. Alhamdulillah, Bu Retno berhasil....
Tim DVI hanya mengidentifikasi jenazah Indonesia saja?
Awalnya begitu, tapi kemudian pemerintah Arab Saudi meminta kami terlibat seluruhnya. Buat kami, itu kehormatan.
Tapi publik masih menuduh pemerintah secara umum lamban menangani korban peristiwa Mina...
Padahal kami sudah tunggang-langgang tidak kenal waktu. Tapi saya selalu bilang ke teman-teman PPIH, kita terima saja kritiknya. Ini tahadduts binni'mah (menganggapnya nikmat). Selain Indonesia, bisa kita tanya adakah negara yang mampu mempublikasikan temuan korbannya dengan menyebut jelas nama, nomor paspor, dan kloter? Saya sih tidak melihat ada negara yang seperti Indonesia.
Jadi, kalau dibilang lamban, saya ingin tahu ukurannya apa. Pemerintah Arab Saudi sekalipun sampai saat ini tidak pernah menjelaskan. Jangankan nama korban, jumlah keseluruhannya saja kita enggak tahu. Jangankan peristiwa Mina, soal jatuhnya crane pun kita enggak tahu persisnya.
Publik mungkin membandingkannya dengan Iran, yang disebut bisa memulangkan jenazah ke tanah air mereka.
Di lapangan, kami tidak melihat aktivitas jenazah yang dikeluarkan dari Muaishim. Teman-teman di sana bisa ditanya juga. Tapi mungkin ada keterbatasan kami juga dalam memperhatikan.
Ada sebagian kalangan mengusulkan Indonesia menyampaikan nota protes kepada pemerintah Arab Saudi merespons peristiwa Mina.
Kita harus mengukur, kita itu siapa? Oke, kita jemaah hajinya besar, tapi kalau misalnya kita boikot enggak memberangkatkan haji, yang rugi siapa? Saya bisa dikepruki organisasi-organisasi Islam dan kiai-kiai pesantren, kok berani-beraninya boikot haji. Arab Saudi sih enggak patheken kita mau ngirim jemaah haji atau enggak. Mereka kan enggak butuh kita.
Karena itu, cara menjadi penting. Memang tidak mudah, tapi pendekatan persuasif itu lebih baik untuk diterapkan dengan Arab Saudi. Apalagi hubungan kita dengan Saudi sedang baik.
Anda menyurati Menteri Haji Arab Saudi terkait dengan haji tahun ini. Apa latar belakangnya?
Surat itu disampaikan sebelum terjadi peristiwa Mina. Menjelang 9 Zulhijah, saya dikabari ada angin cukup kencang di Arafah yang menyebabkan beberapa tenda roboh di maktab 8, tempat orang Indonesia. Saya ke sana dan sedih sekali karena melihat jemaah keleleran di luar tenda. Bayangkan, jemaah udah capek, ternyata belum makan, dan sampai maktab lihat tenda sudah roboh tidak bisa ditempati.
Saya lihat tendanya memang ringkih, walau penopangnya besi. Padahal angin yang menerpa kekuatannya jauh lebih kecil dibanding yang sampai menjatuhkan crane di Masjidil Haram. Sebagian listrik juga padam, dan akhirnya penyejuk udara tidak berfungsi. Sebagian dari mereka akhirnya dievakuasi.
Belajar dari situ, saya mikir ini enggak bener. Negara Arab yang sesejahtera itu masak dari tahun ke tahun Arafahnya seperti ini. Makanya saya merasa perlu menyurati Menteri Haji mereka dan menyarankan agar tenda Arafah didirikan permanen dan anti-api, setidaknya seperti yang ada di Mina. Bagi negara seperti Arab menyediakan itu tidak susah.
Selain itu?
Saya juga menyarankan agar dibikin pembangkit listrik yang bagus, bukan hanya generator seperti sekarang. Yang bikin ngenes itu ketika tanggal 9 Zulhijah, listrik sempat mati di bagian (pemondokan) kita yang dekat pos kesehatan. Sedangkan udara sedang panas sekali, mungkin di atas 50 derajat Celsius. Di pos kesehatan ternyata sudah banyak orang bergelimpangan, baik yang mengalami dehidrasi maupun yang pakai bantuan oksigen. Akhirnya ada enam orang meninggal karena alat bantu kesehatannya tidak berfungsi.
Surat saya juga menyebut soal Mina. Jemaah kita ditempatkan di luar Mina, yang jaraknya jauh sekali. Semakin jauh dari jamarot, potensi kesasarnya lebih besar. Apalagi yang di situ sekitar 2 juta orang berkumpul bersama.
Haji kan panggung yang menunjukkan kepada dunia bagaimana umat Islam menjalani ritual keagamaannya. Kalau kita lihat Mina, ya maaf-maaf saja, saya selalu ngurut dada. Sebab, jemaahnya keleleran di pinggir jalan yang kotor. Sangat tidak layak dilihatlah.... Jadi, menurut saya, ini bisa lebih baik kalau ditata ulang. Untuk membuat hal seperti itu sebenarnya bisa dalam hitungan bulan, bukan tahunan.
Sudah ada respons Menteri Haji Arab Saudi?
Belum ada. Saya sudah menyampaikan itu kepada dia secara lisan, tapi yang sekarang ini kan surat resmi.
LUKMAN HAKIM SAIFUDDIN TEMPAT DAN TANGGAL LAHIR: Jakarta, 25 November 1962 | PENDIDIKAN: Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur (1983), Sarjana Universitas Islam As-Syafi'iyah Jakarta (1990) | KARIER: Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat periode 2009-2014, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2004-2009, Anggota DPR periode 1999-2004, Anggota DPR periode 1997-1999, Project Manager Helen Keller International, Jakarta (1995-1997), Kepala Program Kajian Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (1989-1995) | ORGANISASI: Wakil Sekretaris Pimpinan Pusat Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU (1985-1988), Ketua Badan Pengurus Pengembangan Sumber Daya Manusia NU (1996-1999), Ketua Lembaga Pusat Pendidikan dan Latihan Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (1999-2003), Sekretaris Pengurus Harian Pusat DPP PPP periode 2003-2007, Ketua DPP PPP periode 2007-2012, Wakil Ketua Umum DPP PPP periode 2011-2015, Menteri Agama (2014-sekarang) |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo