PUSKESMAS masih tetap jadi masalah yang menarik. Apalagi setelah
adanya pengakuan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan
Masyarakat, Depkes, dr Soebekti MPH bahwa puskesmas memang belum
bisa diandalkan dalam pelayanan kesehatan masyarakat. Meskipun
Majalah ini tanggal 1 Mei telah menulis tentang hal itu dengan
sumber terbatas, kali ini seorang yang berpengalaman cukup dalam
pelaksanaan sarana kesehatan tersebut mencoba memberikan
pandangannya. Dia adalah Kolonel dr Ben Mboi, Kepala Lembaga
Kedokteran Preventif AD, yang bertahun-tahun sebagai Inspektur
Kesehatan di Nusa Tenggara Timur dulu. Di bawah ini rekaman dari
tanya-jawab dengan Martin Aleida tersebut:
Tanya: Ada keluhan tentang kurang dimanfaatkannya puskesmas di
beberapa daetah, bagaimana pandangan anda mengenai ini?
Jawab: Saya tidak mau mengkritik puskesmas yang tidak dikunjungi
orang. Yang harus dipersoalkan adalah bagaimana status kesehatan
penduduk setempat. Saya tidak mau mengatakan kurangnya kunjungan
sebagai jelek. Sebab kemungkinan keadaan kesehatan di situ baik
Under utilization (kurangnya dipergunakan) tidak perlu
dipersoalkan dulu. Sebab tujuan kita bukanlah untuk menarik
orang mengunjungi puskesmas. Tujuan kita menciptakan masyarakat
yang sehat. Dan jangan lupa fungsinya mencakup kuratif
(pengobatan), preventif (pencegahan), promotif (peningkatan
tingkat kesehatan) dan rehabilitatif (pemulihan). Satu
masyarakat yang responsif terhadap pelayanan promotif dan
preventif akan mengakibatkan kurangnya pennintaan terhadap
pelayanan kuratif.
Sekarang ini pemerintah mencari indikator pada fungsi kuratif
saja. Saya kira pandangan yang demikian adalah pandangan yang
timpang, sebab fungsinya tidak hanya kuratif. Tetapi mungkin
juga secara implisit Dirjen Pelayanan Kesehatan mengatakan bahwa
memang keenpat fungsinya itu tak jalan.
T: Jadi mengapa masyarakat tidak mau memanfaatkan sarana
kesehatan tersebut yang dengan susah payah dibangun pemerintah.
J: Mereka tidak menggunakannya karena mungkin mereka masih
menggunakan obat tradisinil. Dari sudut epidemologi mereka
mungkin dapat mengatasi berbagai penyakit. Penggunaan sesuatu
prasarana kesehatan bisa menunjukkan kesadaran-medis,
kesadaran-kesehatan dari masyarakat. Tapi saya kira kita jangan
mengabaikan aspek-aspek baik dari obat-tradisionil. Aspek-aspek
baik dari self-care.
Dan jangan lupa, orang sering membikin puskesmas terlalu banyak
daripada yang dibutuhkan. Pengalaman saya menunjukkan bahwa
orang membuat puskesmas bukan karena alasan adanya masalah
kesehatan. Tapi orang membikinnya karena rumah camat dekat situ
atau ada keluarganya yang tinggal di daerah tersebut. Untuk
puskesmas macam ini ya, dibiarkan kosong saja. Dipindahkan tak
mungkin. Memaksa orang datang juga tak mungkin. Ini kesalahan
perencanaan.
T: Apakah anda menganggap sekarang ini perlu dicarikan pola
pengerahan masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan kesehatan
sendiri misalnya dengan asuransi kalau masalahnya mungkin faktor
ekonomis yang membuat mereka tak mau ke puskesmas?
J: Saya kir asuransi sosial di mana juga tercakup aspek asuransi
kesehatan sudah waktunya bagi Indonesia. Tetapi harus dengan
seleksi berhubung perkembangan ekonomi di berbagai daerah yang
tidak sama. Karena perbedaan perkembangan inilah maka perlu
adanya daerah yang mendapat dana-sosial yang datang dari
pemerintah seperti Inpres obat sekarang. Sedangkan di daerah
yang mampu sepantasnya ditumbuhkan asuransi sosial. Jadi daerah
yang mampu tak perlu lagi dapat dana-sosial dari pemerintah. Dan
asuransi sosial ini nanti akan dapat mengatasi kurangnya
kunjungan ke puskesmas, karena masyarakat toh sudah membayar
lebih dulu.
T: Sebagai seorang yang berpengalaman mengurusi puskesmas apakah
anda dapat melihat kekurangan yang prinsipil dalam
pelaksanaannya?
J: Masalah puskesmas adalah masalah organisasi. Seringkali
keterlambatan pekerjaan di puskesmas diakibatkan oleh persaingan
di antara personil. Jadi perlu adanya integrasi. Integrasi hanya
bisa dilakukan jika unsur-unsur yang akan berintegrasi sadar
akan keadaan desintegrasi. Karena kesadaran integrasi itu tidak
bisa tumbuh secara otomatis. Karena misalnya si bidan mengatakan
profesinya yang terbaik, dokter mengatakan begitu dan asisten
sanitarian mengatakan bahwa dirinya dibutuhkan. Jadi puskesmas
tak mungkin berjalan baik jika hubungan antar personil tidak
diperbaiki.
Selama pola pendidikan medis dan para medis tidak ditujukan
kepada integrated health care (pelayanan kesehatan menyeluruh)
tidak mungkin ada pelayanan kesehatan yang baik. Jadi resepnya
ialah merombak pola pendidikan kedokteran, merombak pola
pendikan para medis. Jadi kurikulum kedokteran atau bidan atau
apapun namanya harus menjurus kepada integrasi. Sebab sampai
sekarang ini bidan itu satu sistim, perawat satu sistim, dokter
satu sistim sendiri, begitulah paling kurang anggapan orang.
Jadi tiap bagian itu seharusnya merupakan bagian dari satu
sistim. Kalau sudah tercapai integrasi antar personil dalam
tubuh puskesmas maka baru pula dimulai integrasi dengan
unsur-unsur pemerintahan seperti camat, lurah dan kepala desa,
sebab bagaimana pun mereka ini punya peranan.
T: Selain empat fungsi yang dikatakan tadi, apalagi peranan yang
bisa dimainkan puskesmas?
J: Satu fihak puskesmas memang sarana mengatasi masalah
kesehatan. Tapi di fihak lain dia merupakan agent of
modernization (pembawa pembaharuan). Jadi ada masanya orang
tidak mau pakai. Orang misalnya masih berorientasi pada obat
tradisionil, apalagi approach obat jenis ini lebih human dari
pengobatan modern. Dukun misalnya bisa tidur dekat pasien.
Datang ke pasien, tidur di tempat pasien dan makan di situ apa
adanya. Sedangkan mantri kita belum tentu mau. Dukun mau
menerima apa saja. Babi, ayam atau pisang boleh. Kita menuntut
rupiah, sedangkan masyarakat belum tentu punya rupiah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini