Sang bango e e sang bango, kenape ente delog-delog aje?
BUKAN, dia sesungguhnya tidak delog-delog saja. Perhatikan
matanya yang melotot dan paruh besarnya yang menganga siap
menyergap mangsa. Kakinya pun diangkat sebelah siap menerkam
ikan yang lengah. Namun, kesiagaannya itu kini memang agak
sia-sia. Ikan-ikan sudah lama ditunggu, tidak juga nongol. Bukan
karena takut hujan. Tetapi karena jumlahnya memang sudah tidak
banyak lagi. Sejak cucu nabi Adam bertambah terus jumlahnya,
akalnya dan maunya, ikan-ikanpun ikut jadi korban. Sebagian
nyaris habis dari biang sampai cicit-cicitnya.
Mereka kini banyak digrebeg dengan alat penangkapan yang tak
kenal ampun, sehingga tidak sempat berbiak dan terpaksa harus
menghadapi kepunahan. Sebagian lagi yang tinggal di sebelah
sananya habis merana, karena lingkungan hidup (habitat)nya
tergilas lalu lintas tanker, perkakas angkut maha raksasa atau
karena tercemar oleh tumpahan minyak dan sampah industri.
Bang Jali kini sudah tambah pintar pula. Ia tidak mau menerima
begitu saja logika dendang nenek moyangny tentang riwayat
turunnya hujan. Memang benar, hujan pun belakangan turun rada
kacau. Tetapi tidak ada sangkut pautnya dengan panggilan sang
kodok. Sejak hutan-hutan tanpa ampun dibabat, dan digundulkan,
sinar matahari pun leluasa menerobos dan menyentuh permukaan
bumi, tak terhalang oleh kelebatan hutan belantara lagi.
Temperatur sekitar yang luas pun naik beberapa derajat. Kondisi
iklim. arah angin, kelembaban dan penguapan oleh karenanya
menjadi goyah berobah dari kelaziman. Karenanya perikehidupan,
baik hewani maupun nabati terpengaruhi. Tak siap menanggung
akibat perbuatannya, manusia berteriak karena perobahan yang
antara lain bersumber dari aibnya sendiri itu.
Kini keadaan itu beranjut. Sendi-sendi daur kehidupan (life
cycle) mu]ai terkoyak. Sang harimau, badak, banteng dan
lain-lain kini perlu perlindungan khusus untuk tidak punah.
Sejumlah teman sang bango, seperti sang kuntul. sang elang sudah
jarang ditemui di Jawa. Mereka setelah makan ikan dan tikus
dengan dibumbu masak endrin beberapa waktu yang lalu banyak
dipanggil ke Rachmatullah lebih cepat dari semestinya. Ikan pun
nyaris kurang jenisnya. Ikan paus siraja mahaperkasa di lautan
itupun menghadapi kepunahannya. Beberapa saat yang lalu,
kepunahannya dirayakan dengan yel-yel, poster dan air mata oleh
sekelompok profesor di Amerika. Si bawal, ekor kuning sudah
kegerahan tinggal di teluk Jakarta.
Bagaimana halnya dengan manusia, sebagai salah satu mata rantai
daur kehidupan? Dapatkah ia mengendalikan berkembang biaknya,
serta akal dan maunya? Atau sudah sia untuk punah juga, sebagai
kelanjutan rangkaian kepunahan demi kepunahan makhluk hidup
lainnya? Di Lembang beberapa waktu yang lalu, sekelompok kecil
perisau berkumpul. Mereka itu terdiri dari sarjana-sarjana
hukum, perumus kebijaksanaan, ekolog, biolog, pengamat
lingkungan hidup dan banyak lagi. Berdiri bulu roma mereka
membicarakan segi-segi hukum dari pengelolaan lingkungan hidup.
Mereka itu kira-kira kepingin mengatur akal dan maunya umat
manusia di Indonesia ini agar tidak bunuh diri. Tapi apa masih
bisa diatur?
Jakarta, April 1976.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini