Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Samuel Huntington:"Perpecahan di Indonesia, Kecil Kemungkinannya"

28 Mei 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lounge hotel bintang lima yang dipenuhi anak-anak muda, artis, dan sejumlah eksekutif dalam dandanan funky dan santai tersebut seakan "menelan" profesor baya yang tampil dalam busana berpotongan konservatif itu. Lalu, di tengah dengung suara-suara rendah yang membicarakan gosip dan bisnis, Samuel Huntington, 73 tahun, menguraikan pikiran-pikirannya tentang konflik peradaban serta perubahan politik global setelah Perang Dingin, sebuah tesis yang dibahasnya panjang lebar dalam buku The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (1996).

Buku ini adalah salah satu upaya para sarjana ilmu hubungan internasional Amerika untuk membuat semacam kartografi politik dunia selepas Perang Dingin. Melalui buku ini, Huntington seakan "melawan" mainstream yang membuatnya dikenal hingga jauh ke luar Amerika: pemikir politik dan ahli politik, menjadi pemerhati soal-soal kebudayaan. Huntington, antara lain, membahas hubungan dan persaingan antara tujuh peradaban besar (Cina, Jepang, Hindu, Islam, Barat, Amerika Latin, dan Afrika) yang akan menentukan keseimbangan dalam politik dunia setelah era Perang Dingin.

Berbagai pemikiran politik Samuel Huntington dapat ditemukan dalam sejumlah buku, seperti The Soldier and the State: the Theory and Politics of Civil-Military Relations (1957), The Common Defense: Strategic Programs in National Politics (1961), Political Order in Changing Societies (1968), American Politics: the Promise of Disharmony (1981), dan The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century (1991). Empat tahun silam, The Clash of Civilizations beredar dan menarik perhatian luas, baik di Amerika maupun di masyarakat internasional.

Hadirnya The Clash—telah diterjemahkan ke dalam dua puluh dua bahasa—tidak sekadar menambah jumlah karyanya, tapi juga menunjukkan perluasan wawasan perhatian Huntington dari politik ke kebudayaan. Mengapa? Buku ini, antara lain, menjelaskan berakhirnya pertentangan ideologi—liberalisme versus komunisme—selepas Perang Dingin. Keseimbangan dalam politik dunia pasca-Perang Dingin akan banyak ditentukan oleh hubungan dan persaingan tujuh peradaban besar. Dengan lain kata, dunia akan diwarnai pertentangan baru: clash of civilizations atau konflik antarperadaban. Tema ini kembali disinggungnya dalam seminar The Struggle for Indonesia yang dilangsungkan di Jakarta, Rabu pekan lalu.

Seminar yang diselenggarakan Strategic Intelligence (lembaga penyedia informasi ekonomi, politik, dan bisnis) itu menghadirkan Samuel Huntington sebagai pembicara utama. Dalam presentasinya, Huntington menyebutkan, antara lain, benturan peradaban dalam masyarakat pluralistis (di masa sekarang) harus diatasi dengan menerima multiperadaban—serta distribusi kekuasaan di antara peradaban dan negara. Dalam masyarakat multiperadaban ini, "Orang harus belajar menerima perbedaan serta berusaha mengembangkan nilai-nilai yang sama," ujarnya di hadapan peserta seminar.

Bicara di seminar—dalam dan luar negeri—memang menjadi salah satu agenda Direktur The John M. Olin Institute for Strategic Studies ini. Kesohoran Huntington barangkali harus dirunut jauh ke belakang: ia mengenyam pendidikan di berbagai universitas terkemuka di Amerika. Ia menyelesaikan sarjananya di Universitas Yale, yang dilanjutkan dengan studi master di Universitas Chicago. Gelar doktor dari Universitas Harvard diperolehnya pada 1951. Di almamater terakhir ini, ia menyumbangkan tenaga dan pemikiran sampai sekarang.

Sebagai pemikir politik, Ketua Harvard Academy for International and Area Studies ini menekuni beberapa topik secara spesifik, seperti politik militer, strategi dan hubungan sipil-militer, perkembangan politik, serta politik di negara berkembang. Indonesia bukan negara berkembang yang mendapat perhatiannya secara khusus. "Saya tidak banyak mengikuti perkembangan politik di Indonesia," ujarnya kepada TEMPO. Huntington memang bukan Indonesianis. Toh, ramalannya tentang perubahan politik besar yang melanda Indonesia pada era 1990-an terbukti benar.

Di antara waktu luang dalam dua hari kunjungannya ke Jakarta, pekan lalu, Samuel Huntington menerima wartawan TEMPO Wendi Ruky dan Hermien Y. Kleden serta fotografer Rini P.W.I. di lobi Fountain Lounge untuk sebuah wawancara. Petikannya:


Buku Anda, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, membahas konflik antarperadaban. Juga bagaimana rakyat di banyak negara mulai mencari simbol identitas dalam skala kecil seperti etnis dan agama. Bagaimana Anda melihat proses tersebut di Indonesia?

Secara global, proses ulang pencarian identitas sudah menggejala dan proses ini kelihatannya sedang berlangsung di Indonesia. Banyak warga di berbagai negara mengidentifikasikan diri dengan kelompok etnis atau entitas lain yang skalanya lebih kecil. Di saat yang sama, ternyata mereka juga mengidentifikasikan diri dengan entitas yang lebih besar dari negara, yaitu peradaban.

Apa yang penting diamati dalam gejala ini?

Yang penting adalah merekonsiliasi keinginan yang berbeda dan mendorong kelompok-kelompok (yang berlainan identitas) tersebut supaya bisa berkoeksistensi.

Apakah hal ini tidak menjadi ancaman bagi kesatuan Indonesia, yang secara historis menjadi negara multietnis dan multibudaya?

Bisa dua-duanya (merugikan dan menguntungkan). Saya tidak bisa meramalkan apa yang akan terjadi di Indonesia. Tapi kita bisa merujuk kepada apa yang terjadi di Uni Soviet dan Yugoslavia. Di sana, di mana sistem (politik dan pemerintahan) bergeser dari otoriter menjadi lebih demokratis, kita bisa melihat ada kekuatan yang mendorong ke arah perpecahan. Kalau keterusan, ya, negaranya akan terpecah-belah.

Kemungkinan "keterusan" ini apakah bisa melanda Indonesia?

Di Indonesia memang ada daerah yang menuntut otonomi lebih besar atau bahkan kemerdekaan, seperti Aceh dan Papua. Tapi perpecahan belum tentu terjadi di Indonesia. Bahkan, menurut saya, kemungkinannya kecil.

Mengapa?

Bangsa Indonesia memiliki tradisi untuk hidup berdampingan dengan damai meski budaya mereka berbeda-beda. Tapi saya tidak mau membuat prediksi.

Lalu, apa saja faktor yang bisa melekatkan aneka perbedaan di Indonesia?

Saya tidak tahu apakah faktor historis akan cukup kuat untuk melekatkan Indonesia menjadi satu di masa depan. Tapi, sekali lagi, saya bisa membandingkan perkembangan di Indonesia dengan fenomena serupa di negara lain. Selain itu, politik demokrasi yang berkembang di sini berskala nasional, sementara di Uni Soviet dan Yugoslavia tidak begitu. Pemilihan umum pertama di kedua negara itu ketika mereka mulai meninggalkan sistem otoriter dan beralih ke sistem yang lebih demokratis diselenggarakan di tingkat negara bagian atau subnasional. Akibatnya, para politisi daerah, seperti di Bosnia, Serbia, Kroasia, Ukraina, dan Georgia, mendapat insentif untuk memanfaatkan momentum dan memperjuangkan kepentingan regional. Mereka berhasil membujuk warga setempat supaya menolak kekuasaan pemerintah pusat di Moskow dan Belgrade. Ini faktor yang amat menentukan perpecahan Yugoslavia dan Uni Soviet.

Tapi perbedaan di tingkat regional, dalam dimensi tertentu, bukankah bisa menjadi pemersatu?

Kasus yang berlawanan memang terjadi di Spanyol. Pemilu demokratis pertama langsung diselenggarakan di tingkat nasional. Kelompok-kelompok regional di Spanyol juga kuat. Tapi, ketika pemilu berlangsung, para politisi daerah tidak punya pilihan selain berkoalisi supaya memiliki suara dalam pemerintahan pusat. Artinya? Ada efek pemersatu. Seperti di Spanyol, pemilu di Indonesia tahun lalu bersifat demokratis dan skalanya nasional. Itu hal positif yang bisa menyatukan negara ini.

Bagaimana dengan faktor ekonomi?

Secara umum, yang bisa memberikan kontribusi terhadap kesatuan Indonesia adalah ekonomi. Saya rasa pembagian Indonesia ke dalam wilayah-wilayah yang lebih kecil tidak akan menguntungkan dalam jangka panjang. Upaya mengundang investasi asing ke wilayah-wilayah yang lebih kecil pasti lebih sulit dilakukan.

Mengapa?

Sumber alam Indonesia justru banyak tersebar di luar Pulau Jawa, pusat pembangunan selama 30 tahun lebih, seperti Sumatra dan Kalimantan. Daerah seperti Kalimantan Timur dan Aceh, yang punya minyak dan gas, bisa saja memanfaatkan sumber daya itu untuk mendatangkan devisa. Namun, hal itu tidak bisa berlangsung terus-menerus. Karena itu, cara ini tidak bisa dimanfaatkan untuk pembangunan ekonomi jangka panjang.

Maksud Anda, Indonesia masih membutuhkan pemerintah pusat seperti sekarang?

Reformasi ekonomi yang sukses membutuhkan suatu pemerintah yang efektif dan punya wewenang. Punya wewenang tidak harus berarti otoriter. Di wilayah dunia mana pun, pemerintah yang sukses menjalankan reformasi ekonomi adalah pemerintah yang terpilih secara demokratis dan didukung rakyat. Indonesia pun mestinya begitu. Rezim militer yang otoriter rasanya tidak cocok untuk negara ini.

Ada alasan tertentu? Sebab, Anda tidak mengenal dekat negara ini.

Kunjungan terakhir saya ke Indonesia sudah 35 tahun lalu. Dibandingkan dengan dulu, situasi sekarang sudah sangat berbeda: perekonomian lebih kompleks, jumlah kelas menengah lebih besar, dan semakin banyak orang fasih mengemukakan aspirasi mereka. Dalam situasi seperti ini, kediktatoran ala militer tidak akan mampu berfungsi secara efektif.

Dalam The Clash, Anda juga menyebut kebudayaan mengikuti kekuasaan (culture follows power). Apakah ini berarti tak ada konflik kebudayaan selama persoalan kekuasaan bisa dikelola dengan baik?

Budaya dan kekuasaan selalu berinteraksi satu sama lain.Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa ketidakstabilan politik dan konflik cenderung muncul ketika negara yang bersangkutan mengalami perubahan kekuasaan. Di negara yang multikultural, potensi itu semakin besar karena ada keinginan dari kelompok-kelompok yang ada untuk meraih posisi hegemoni.

Tentang ide federalisme. Apakah ide ini dapat menjadi solusi yang meredam berbagai konflik lokal di Indonesia, sekarang?

Saya tidak tahu. Kecuali Cina, negara yang wilayah dan populasinya besar biasanya melaksanakan prinsip federalisme. Tingkatnya tentu berbeda-beda. Wilayah Indonesia sangat luas dan jumlah penduduknya juga besar, sehingga federalisme bisa saja menjadi opsi. Tapi memperkenalkan sistem itu sekarang, tatkala Indonesia sedang berada dalam periode transisi menuju demokrasi, menurut saya, bukan saat yang tepat.

Jadi, ini persoalan waktu semata?

Ini soal kemungkinan politisi daerah yang menggunakan momentum pemilu daerah untuk mengagendakan kemerdekaan wilayah mereka.

Kembali ke soal konflik antarperadaban. Menurut Anda, apakah teori itu berlaku juga untuk Indonesia?

Saya ingin menegaskan, seluruh argumen saya mengenai perbenturan antarperadaban berfokus pada situasi internasional setelah Perang Dingin berakhir. Meski teori saya tidak bisa menjelaskan semua hal yang terjadi sejak 1989, masih banyak peristiwa yang memperkuat argumen saya. Saya rasa teori saya bisa diaplikasikan di Indonesia. Di sini terjadi konflik antara penganut Kristen atau Katolik dan Islam, misalnya di Timor Timur (kini Republik Timor Loro Sa'e), Ambon, dan Lombok. Dari perspektif itu, jelas, perbenturan antarperadaban terjadi di Indonesia, kendati tidak terlampau serius.

Tidakkah penyulut konflik di Tim-Tim lebih politis dan historis sifatnya karena pembagian wilayah koloni Belanda dan Portugis? Dan bagaimana Anda menjelaskannya sebagai pertentangan antarperadaban?

Ya, tapi Anda juga harus melihat bahwa banyak kelompok dan pemuka agama Katolik memainkan peran penting dalam perjuangan Tim-Tim untuk merdeka. Dan ketika Tim-Tim akhirnya merdeka, Anda melihat bahwa ada perayaan religius yang luar biasa di sana.

Satu soal laten yang kini kembali menggejala di Indonesia adalah penggunaan simbol agama untuk menggalang kekuatan dan pengaruh. Bagaimana Anda melihat hal ini?

Itu bagian dari gejala yang mendunia. Bangkitnya agama sebagai simbol identitas seseorang atau kelompok sebetulnya berkaitan dengan perubahan ekonomi dan globalisasi. Proses perubahan tersebut mengakibatkan banyak orang merasa terpinggirkan. Akhirnya, mereka menoleh kepada agama untuk mencari panduan moral ataupun sosial.

Anda menyebut "gejala yang mendunia." Di mana saja gejala ini menguat, selain di Indonesia?

Kecuali di Eropa Barat, fenomena ini terjadi di mana-mana. Buktinya, banyak negara yang identitas nasionalnya kini dituntut oleh rakyatnya untuk didefinisi ulang. Dua puluh tahun yang lalu, hal itu terjadi di Iran. Pemerintahan Shah digulingkan. Sekarang, hal yang sama muncul di India, Turki, Rusia, dan Israel. Banyak warga di negara-negara tersebut bahkan menolak identitas sekuler yang dibangun oleh pendiri bangsa seperti Kemal Ataturk di Turki dan Ben Gurion di Israel.

Menurut Anda, bagaimana pemerintah kami mengakomodasi tuntutan seperti itu, tanpa harus merusak harmoni yang sudah ada?

Saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu karena saya tidak tahu banyak mengenai politik di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus