Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia politisi yang telah berjalan jauh. Kini, pada zaman reformasi ini, Sarwono Kusumaatmadja, 64 tahun, merasakan pahitnya politik. "Sekarang sudah nyata adanya ada oligarki partai yang punya interest untuk menguasai Ibu Kota demi kepentingan mereka," katanya. Meski begitu, dia masih berjuang, maju sebagai calon independen Gubernur DKI Jakarta.
Bekas Sekretaris Jenderal Golkar ini awalnya merupakan satu dari enam calon luar yang ditimang-timang PDIP. Meski sempat mengantongi skor tertinggi dalam Rapat Kerja Khusus PDIP Jakarta, pertengahan Desember lalu, Dewi Fortuna belum berpihak kepadanya. Fauzi Bowo yang mendapat nilai terkecil justru melejit menjadi pilihan partai.
Mantan Menteri Lingkungan Hidup itu pun melirik partai lain yang tertarik. Pinangan bersambut. PKB dan PAN tertarik, dan pendamping Sarwono pun disiapkan: Jeffrie Geovanie. Sebuah selebrasi meriah berlangsung pada Ahad 3 Juni silam di Balai Sudirman, Jakarta Selatan, untuk mempopulerkan pasangan ini. Hiburan dangdut menggoyang siang, dan 20 telepon genggam ditebar sebagai hadiah kuis. "Kita akan membangun Jakarta yang lebih baik," ujar Sarwono di depan ribuan pendukungnya. Euforia itu hanya berlangsung satu hari. Keesokan harinya di kantor tim mereka di kawasan Simprug Golf, Sarwono mengeluarkan pernyataan mengejutkan. "Kami berdua menyatakan mundur sebagai kandidat partai politik dan bertekad maju sebagai kandidat independen," katanya.
Beberapa jam seusai sidang pleno pertama Mahkamah Konstitusi yang mengandaskan mimpinya untuk "membangun Jakarta yang lebih baik", Sarwono berkunjung ke kantor Tempo dan berbicara blak-blakan. Berikut petikannya:
Mengapa tertarik menjadi calon independen?
Sejak Irwandi (Yusuf, Gubernur NADRed.) menang. Hal itu luput dari pengamatan lembaga survei mana pun. Saya ambil konklusi: survei jajak pendapat tak bisa merekam jaringan, karena umumnya menggunakan random sampling (sampel acak). Sebelum itu, DPD juga pernah melakukan konferensi pers tentang calon independen, but nobody's interested. Pada Maret 2006, beberapa teman bilang sebaiknya saya ikut pemilihan gubernur supaya ada eksekutor.
Langkah riilnya?
Pada bulan itu juga saya minta survei tentang kelayakan sebagai calon gubernur. Hasilnya, tempat teratas Rano Karno (21 persen) dan Andi Mallarangeng (19 persen). Setelah itu Agum Gumelar, saya, dan Fauzi Bowo dengan persentase yang tak jauh beda. Kemudian saya kontak beberapa partai. Saat itu yang sudah membuka diri terhadap calon dari luar partai baru PDIP. Mereka tertarik. Jadilah saya calon pertama, dan setelah itu diikuti Agum Gumelar, Faisal Basri, dan lainnya. Setiap calon diharuskan memperkenalkan diri sampai ke pengurus tingkat anak cabang. Jadi, kami keliling. Kadang dampingi Megawati, kadang Taufiq Kiemas.
Apa saja kewajiban calon setiap kali memperkenalkan diri itu?
Sumbangan. Ada cabang yang minta dikontrakkan rumah buat pengurus. Ada yang minta dibikinkan jaket. Lantas kalau ada pertemuan, biaya makan ditanggung calon. Biasanya Rp 1,5-2 juta. Wajarlah biaya itu. Tapi lama-lama saya perhatikan, pengurus teras tak pernah tertarik pada isu publik. Yang membahas persoalan banjir dan masalah sosial lainnya justru pengurus tingkat cabang dan ranting. Di tingkat atas, yang dibicarakan adalah "siapa masuk kubu siapa", "hati-hati dengan orang ini", atau "siapa yang kanan-kiri oke". Kesimpulan saya, di semua partai, makin rendah hierarki, semakin dekat mereka dengan persoalan masyarakat. Sedangkan semakin ke atas semakin tidak sensitif.
Lalu?
Pada 16 Desember (Rapat Kerja Khusus PDIP DKI JakartaRed.) semua calon diwajibkan bikin laporan tentang kegiatan mereka yang akan dinilai secara kuantitatif. Setelah diberi peringkat, saya nomor satu (nilai 96Red.), lalu Faisal Basri (95), Bibit Waluyo (91), Edy Waluyo (89), Agum Gumelar (85), dan terakhir Fauzi Bowo (80). DPP bilang, "Kami ingin Pak Sarwono jadi, tapi sayang penerimaan partai kurang." Waktu terus berjalan, semakin mepet. Faisal dipanggil dan diberi penjelasan bahwa dia tidak dipilih, tapi diminta tetap terus membantu. Saya sama sekali tak dikasih tahu. Akhirnya Fauzi yang jadi.
Bagaimana Anda melihat peran Megawati dalam penentuan calon?
Question mark. (Sarwono menggambar tanda tanya imajiner di udara). Ketika dipastikan Fauzi menjadi calon, walaupun ada Mega di situ, yang teken surat rekomendasi adalah Cahyo Kumolo dan Pramono Anung. Yang lebih aneh, setelah Golkar mengadakan konvensi, Muladi mengumumkan Fauzi Bowo menjadi calon Golkar dan mengklaim Demokrat, PPP, PDS, PDIP, serta beberapa partai lain akan ikut koalisi. Apa urusannya Golkar yang kursinya kecil mengatasnamakan partai yang lebih besar? Ternyata di tingkat elite ada perundingan diam-diam.
Apa yang diinginkan elite partai?
Saya disuruh merajut koalisi dengan Demokrat, PAN, PKB, dan partai lainnya. Saya kulo nuwun ke mereka. Tapi tidak ke Golkar, karena saya tahu kalau ke sana bakal masuk perangkap. Agum juga tak mau ikut karena tahu semua sudah di-set-up untuk memenangkan Fauzi Bowo.
Seorang calon gubernur harus siap dengan miliaran rupiah. Sebenarnya untuk apa sih uang sebanyak itu?
Misalnya ongkos untuk memelihara good will pers lewat pembuatan advertorial atau talk show di televisi. Saya juga punya kerja sama dengan sebuah media cetak, muncul dua kali seminggu. Biayanya Rp 280 juta sebulan. Pos pengeluaran lainnya untuk sosialisasi ke kelompok diskusi, ormas, pengajian, dan warga. Contohnya, ketemu dengan 100 warga, kita ongkosi uang kopinya, sekitar Rp 1,5 juta. Ini no problem. Saya menyebutnya "uang berjudul". Yang bikin pusing adalah "uang yang tak berjudul". Tak ada akuntabilitas, tak ada jaminan produknya seperti apa. Kalau diberikan tak ada jaminan, nggak diberikan saya dimusuhi. Itu sebabnya penolakan terhadap saya selalu terjadi pada saat-saat terakhir, ketika "uang yang tak ada judulnya" itu mulai disebut.
Apakah Anda merasa dimanfaatkan untuk meningkatkan kans calon lain?
Mungkin juga. Saya tanya Jeffrie Geovanie yang orang PAN, "Daripada kita ditolak, mending kita mundur dan menjadi independen tanpa harus mengkomunikasikan ke PAN, bagaimana?" Jeffrie setuju. Geger jadinya. Bagi PAN, Jeffrie harga mati. Sekarang Jeffrie menentukan sendiri harga matinya buat saya.
Bagaimana ceritanya Jeffrie menjadi pasangan Anda?
Ketika saya datang ke PAN, Sutrisno Bachir bilang kalau bisa Jeffrie saja (sebagai calon wakil gubernur). Waktu itu saya belum kenal Jeffrie. Sutrisno bilang Jeffrie adalah harga mati. Setelah saya bergaul dengan Jeffrie, ternyata malah nyaman. Dia cerdas, tegas, dan punya integritas. Saya cocok dengan Jeffrie, sehingga akhirnya hubungan kami lebih merupakan hubungan pribadi daripada pasangan calon.
Cerita dengan PKB?
Dengan PKB sebenarnya hampir selesai. Saya sudah di-approved, Jeffrie secara pribadi pun sudah. Tapi penetapan untuk dia tidak kunjung keluar. Tiba-tiba Gus Dur bilang Oneng (Rieke Dyah PitalokaRed.) saja. Sekarang saya mengerti (strategi ini), karena kemudian dengan Agum, Gus Dur bilang setuju kalau Agum berpasangan dengan Didiek Rachbini. Tapi kemudian Agum geleng-geleng kepala, karena PKB dan PAN bilang Agum tidak dapat 15 persen. Jadi, inflasi suara yang mudah berubah ini adalah pekerjaan para operator.
Mengapa Jeffrie akhirnya lebih loyal pada Anda ketimbang pada partainya sendiri?
Karena chemistry. Dia sadar dijadikan komoditas ekonomi. Ada petinggi PAN yang bilang bahwa Jeffrie akan dilepas kalau mereka mendapat manfaat ekonomi.
Ada analisis, setelah Sarwono tak ikut bertarung, pemilihnya akan lari ke Fauzi Bowo. Anda setuju?
Nggak. Mungkin malah ke Adang. Tapi pemilih saya itu lebih cair, karena komitmen personal dengan saya. Kalau saya tidak jadi, kemungkinan besar malah banyak yang akan golput.
Yang tetap menggunakan hak pilihnya bagaimana? Mereka memilih kelompok Islam atau nasionalis?
Inilah anehnya kelompok saya. Ada yang radikal juga ikut saya. Ada cerita begini. Istri saya itu Kristen, lalu seorang kiai datang, bilang, "Pak Sarwono kan keluarganya kayak zebra ya, belang-belang. Tapi saya sekarang lebih senang dengan zebra daripada kuda yang hijau." Saya tanya, "Lho, kenapa begitu, Pak Kiai?" Jawaban dia, "Soalnya sekarang ini kuda hijaunya rakus semua."
Apa untungnya calon independen bagi perkembangan demokrasi?
Ini akan menciptakan kail bagi pemilih yang lebih murni. Untuk Jakarta semakin penting karena kota ini memiliki banyak tokoh yang layak dipilih. Kemungkinan calon independen bisa jadi banyak. Sekarang sudah nyata di depan kita ada oligarki partai yang punya interest untuk menguasai Ibu Kota demi kepentingan mereka. Itu harus dilawan. Apalagi kalau betul ada calon boneka, orang makin marah.
Tapi kalau UU Nomor 32/2004 itu diubah sekarang, apa tidak menyalahi fatsoen demokrasi? Mengapa tidak untuk periode berikutnya saja?
Saya melihatnya bahwa, di balik gerakan massa, ini adalah kehendak orang banyak untuk mempunyai calon yang punya hubungan langsung. Sosoknya bisa siapa pun. Badan perantara seperti partai politik akan menjadi penghalang calon ini berhubungan dengan pemilihnya. Misalnya, kualitas perbincangan lewat acara partai dengan pembicaraan langsung dengan mereka akan berbeda. Orang hanya bisa jadi calon yang membumi kalau secara terus-menerus punya akses ke masyarakat. Calon independen inilah yang kemudian diusung langsung oleh rakyat. Di situ empati bisa keluar.
Anda yakin keran calon independen akan terbuka?
Kalau ada desakan kuat dari publik, lalu ada PP, lalu peraturan teknis, akan jadi panjang urusannya.
Tapi judicial review di Mahkamah Konstitusi sendiri sedikitnya butuh waktu tiga minggu. Apa Anda masih optimistis?
Ini bukan urusan saya, tapi urusan bangsa. Saya cuma buka isu lantaran jadi korban. Sebenarnya ini sudah digulirkan pertama kali oleh Komisi Nasional Pilkada Independen, juga Biem Benyamin sebagai Ketua Pansus di DPD. Dengan adanya kejadian dua kali gagal lewat parpol, itu akan jadi isu kuat.
Mengapa Anda tidak mencoba jalur independen setelah kegagalan pertama dengan PDIP? Mengapa harus terjungkal dua kali?
Saya kan harus mengalami sendiri. Supaya orang tahu bahwa ada problem (dengan partai politik). Kalau setelah dengan PDIP saya berhenti, berarti problemnya cuma di PDIP. Karena itu para donor saya juga bilang jalan terus saja biar ketahuan belangnya semua.
Anda politisi kawakan. Ini kemajuan atau kemunduran?
Mundur. Sejelek-jeleknya Orde Baru, masih ada komitmen untuk memperbaiki kehidupan rakyat. Kalau sekarang ini zero. Ranting berbicara tentang masalah rakyat ke struktur di atasnya. Eh, di atas omongnya siapa dapat apa, duitnya berapa, siapa jadi menteri, siapa duta besar, berapa data perusahaan yang bisa ditekan. Ini gila.
Mengapa sistem Orde Baru jadi terasa lebih baik?
Di Golkar daftar calon dibuat atas tiga ketentuan keluarga besar A, B, dan G (ABRI, birokrat, dan Golkar). Atas kemauan politik Soeharto, peran A dan B dikecilkan, maka G menjadi besar. Otomatis G ada di daftar atas, itulah kenapa akhirnya saya dan beberapa orang lainnya jadi pemain utama di Golkar. Itu strategi. Kalau sekarang semuanya karena duit. Dia punya duit, maka jadi calon nomor satu.
Sedikitnya calon dalam pemilihan Gubernur DKI ini kabarnya ada kaitan dengan semangat anti-PKS? Menurut Anda?
Itu dalih saja. Yang menjadi pemikat (koalisi) sebenarnya adalah interest. Takut sama PKS itu tidak masuk akal. Kalau PKS menang, apa negeri ini otomatis jadi negara Taliban? Nggak! Apalagi calon mereka dari polisi. Memangnya Adang terikat dengan garis partai? Kan tidak. Selain itu, PKS sekarang ini generasi ketiga. Generasi pertama adalah mereka yang usroh (pengajian), underground zaman Soeharto. Generasi kedua adalah anak-anak yang juga masuk KAMMI. Generasi ketiga banyak yang lulusan dari luar negeri. Mereka ini yang sudah mau salaman dengan perempuan.
Tapi tema anti-PKS ini dibicarakan ketika mengikat koalisi?
Malah dipropagandakan sebagai jualan. Disebutkan PKS ini punya teori desa mengepung kota. Setelah mengambil Depok, Bekasi, Tangerang, kini giliran Jakarta. Ini kayak mau menghadapi Pol Pot saja.
Apa problem terbesar Jakarta bagi Anda?
Overload. Semua yang punya manfaat ekonomi besar harus terpusat ke Jakarta. Ini mesti dibalik, harus disebar ke mana-mana. Salah satu yang menjadi beban besar adalah Pelabuhan Tanjung Priok. Makanya, di DPD saya bikin RUU Pelabuhan untuk mendobrak monopoli Pelindo. Karena monopoli Pelindo, pembangunan pelabuhan di Bojonegoro terhenti. Sebab, sebagai perusahaan negara hanya bisa bekerja kalau ada penyertaan dana dari pemerintah. Tapi kalau monopolinya hilang, dia bisa cari duit dari sumber lain, baru jadi pelabuhan-pelabuhan yang lain itu.
Selain itu?
DKI tetap jadi ibu kota, tapi pusat pemerintahan dipindah. Terminal bus juga digeser ke luar kota. Dulu Kampung Rambutan, Pulogadung, atau Rawamangun termasuk daerah pinggiran. Sekarang sudah dalam kota sehingga mengganggu benar. Kalau dipindah ke Bekasi, di sana masih perlu.
Pandangan Anda tentang penerapan busway?
Busway ini sebagai mid-term solution. Subway juga oke. Monorel itu yang aneh. Tapi problem kemacetan ini dapat teratasi kalau berbagai fungsi itu ditempatkan di luar Jakarta. Misalnya, pusat pemerintahan di Jonggol, maka pola traffic akan berubah.
Bagaimana Anda menilai konsep megapolitan?
Pertama itu bukan konsep, itu adalah fenomena. Misalnya Boston dan New York. Di antara kedua kota itu tiba-tiba terjadi keruwetan yang luar biasa, sehingga menjadi gejala perkotaan yang tidak teratur. Lalu antara San Francisco dan Los Angeles, juga terjadi megapolitan. Oleh wali kota di sekitar kota-kota itu dibuatlah instrumen pengendalian. Jadi, berbeda dengan pemahaman di Indonesia selama ini yang menganggap megapolitan sebagai konsep.
Anda sudah berpolitik sekian lama, apa tidak capek?
Itu way of life. Politik itu bukan profesi, tapi jalan hidup. Sama saja kalau Anda tanya kiai, apakah setelah 30 tahun tidak capek? Pasti akan dijawab tidak.
Sarwono Kusumaatmadja Lahir: Jakarta, 24 Juli 1943 Pendidikan: Sarjana Teknik Sipil ITB (1974). Karier politik: |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo