Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERLAWANAN kalangan pengusaha selama empat tahun terakhir membuahkan hasil. Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang memuat sejumlah usulnya, akhirnya disetujui Panitia Khusus Perpajakan DPR, Kamis dua pekan lalu. "Mayoritas yang kami usulkan ditampung," kata Hariyadi B. Sukamdani, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin), kepada Tempo.
Ada tiga pasal yang paling mengundang sorotan, yakni pasal 25, 27, dan 36A. Dua pasal pertama mengatur ihwal keberatan wajib pajak dan permohonan banding. Sedangkan pasal 36A memberikan sanksi pidana bila aparat pajak terbukti melakukan pemerasan untuk memperkaya diri.
Aturan baru ini memberikan angin segar buat dunia usaha. Soalnya, para pebisnis atau pengusaha yang keberatan atas perhitungan nilai pajak bisa menangguhkan pembayaran atau hanya membayar sejumlah yang disetujuinya. Tapi, bila keberatannya kemudian ditolak atau hanya dikabulkan sebagian, ia dikenai sanksi 50 persen dari nilai pajak.
Sanksi tidak dikenakan bila wajib pajak mengajukan banding. Tapi, bila permohonan banding lagi-lagi mentok atau cuma dikabulkan sebagian, pengusaha kena sanksi 100 persen dari nilai pajak berdasarkan putusan banding (lihat Aturan Pajak, Dulu dan Kini).
Bagaimana dengan aparat yang terbukti memeras? Mereka bisa dijerat dengan Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. "Aparat pajak tidak bisa sewenang-wenang lagi," kata Prijohandoyo, Ketua Komite Tetap Pajak Kadin. "Dan tidak ada lagi tawar-menawar di bawah meja," Hariyadi menambahkan.
Ketentuan ini jelas berbeda dengan aturan lama. Dalam aturan lama disebutkan, bila terjadi selisih atas nilai pajak, pengusaha tetap harus membayar sesuai dengan perhitungan yang dilakukan sepihak oleh aparat pajak. Ini yang bikin gerah mereka. "Perlakuan itu tidak sesuai dengan asas self-assessment," kata Prijohandoyo. "Masak, belum setuju disuruh bayar?"
Adapun sanksi buat punggawa pajak yang memeras hanya melalui komite kode etik di bawah Departemen Keuangan. Hukuman itu, di mata Hariyadi, tidak mencerminkan kesetaraan. Sebab, "Sanksi pidana dan denda bagi wajib pajak yang melakukan pelanggaran jauh lebih berat," katanya.
SEJAK RUU ini digulirkan empat tahun lalu, Kadin sudah meminta agar beberapa pasal yang memberatkan direvisi. Harapan ini sempat digantungkan kepada lima wakil Kadin yang masuk tim review RUU Pajak, yang dibentuk pada awal 2005. Mereka adalah Theodore P. Rachmat, Chairul Tanjung, Rachmat Gobel, Jim Castle, dan John Prasetyo. Tim yang terdiri dari wakil pemerintah, akademisi, dan pengusaha itu bertugas mengkaji UU Perpajakan Nomor 16/2000.
Awalnya semua berjalan mulus. Tapi, menjelang babak akhir, RUU yang sampai ke tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ternyata berbeda dengan yang dikerjakan tim review. Belakangan diketahui pula telah terjadi beberapa perubahan isi rancangan, yang entah "digoreng" siapa.
Akibatnya, rancangan final yang dikirim Presiden ke DPR pun, pada Agustus 2005, berbeda dengan apa yang telah disepakati tim review bersama Jusuf Anwar, Menteri Keuangan saat itu. Direktur Jenderal Pajak Hadi Purnomo membantah ada rekayasa di balik itu semua. "Mana berani kami melakukannya?" ujarnya. "Semua proses transparan dan Kadin ikut di sana."
Upaya Kadin melobi parlemen kandas. Kadin baru memperoleh kesempatan kedua setelah Sri Mulyani Indrawati menggantikan Jusuf Anwar sebagai Menteri Keuangan, yang diikuti pergantian Dirjen Pajak Hadi Purnomo oleh Darmin Nasution. Saat itu pemerintah kembali menghimpun pendapat dari kalangan pengusaha. Sukses. "Hampir semua usul kami ditampung," kata Prijohandoyo.
Sri Mulyani kemudian membuat rancangan baru dan mengirimnya ke DPR pada akhir Mei tahun lalu. Tapi DPR menolak. Alasannya, Menteri Keuangan menyalahi prosedur ketatanegaraan, karena berusaha membatalkan draf terdahulu yang sudah dikirim Presiden Yudhoyono. Panitia Khusus akhirnya tetap membahas rancangan yang lama. Gara-gara draf lama itulah, kata Prijohandoyo, pembahasan berlarut-larut.
Penolakan itu tak menyurutkan langkah Kadin. "Beberapa usul yang sempat hilang pada zaman Pak Jusuf Anwar kami masukkan lagi ke parlemen," kata Prijohandoyo. Lewat aksi gerilya itu, usul ditebar ke semua fraksi di Panitia Khusus.
Meski usul diterima, pembahasan tetap berjalan alot. Usul agar aparat pajak yang memeras diberi sanksi pidana, misalnya, malah sempat hilang dari pembahasan. Para wakil rakyat, pada Rabu dua pekan lalu, juga masih terbelah saat membahas pasal 25 dan pasal 27 tentang keberatan dan banding.
Dalam rapat yang dihujani perdebatan dan interupsi itu, Fraksi Partai Amanat Nasional dan Bintang Pelopor Demokrasi menolak perubahan dua pasal tadi. "Pasal itu akan menggeser sentrum pidana korupsi ke pengadilan pajak," kata Dradjad H. Wibowo, anggota Panitia Khusus dari Fraksi PAN. Akibatnya, pengusaha bisa mengakali pajak yang mestinya disetor. Implikasinya, penerimaan pajak bagi negara bisa berkurang.
Kesepakatan baru dicapai dalam rapat keesokan harinya. Diwarnai lobi tertutup hampir satu jam, semua fraksi akhirnya menyetujui pasal 25 dan 27. Panitia Khusus juga sepakat membentuk Komite Pengawasan Perpajakan. Sedangkan usul untuk membentuk Badan Penerimaan Perpajakan terpental.
PAN yang tadinya berbeda kubu akhirnya hanya memberikan minderheit nota. "Ini penolakan dengan cara lain," kata Dradjad. Isi nota itu meminta pemerintah mengawasi potensi kebocoran penerimaan pajak akibat penerapan pasal 25 ayat 7 dan mengkaji dibentuknya Badan Penerimaan Perpajakan (BPP) di luar struktur Departemen Keuangan.
Menanggapi nota itu, Sri Mulyani berjanji menjaga agar penerimaan pajak tidak turun. Jaminan serupa dilontarkan Darmin. Alasannya, Direktorat Jenderal Pajak banyak memenangi perkara, baik di tingkat keberatan maupun banding. Pada 2006, misalnya, pemerintah memenangi 64 persen perkara banding.
Untuk kasus kelas kakap, Darmin mengatakan, Direktorat Jenderal Pajak tidak akan mengeluarkan surat ketetapan pajak, tapi langsung menurunkan tim penyidik, lalu menyita dan menerapkan paksa badan. "Seperti kasus Asian Agri," katanya. Jadi, tidak akan ada proses keberatan atau banding.
Yandhrie Arvian, Anton Aprianto, Rafly Wibowo
Aturan Pajak, Dulu dan Kini
SEJAK diterbitkan pertama kali pada 1983, Undang-Undang Perpajakan telah mengalami sejumlah revisi. Salah satu perubahan mendasar yaitu menyangkut aturan denda wajib pajak dan ancaman pidana aparat pajak.
UU Nomor 6/198313 Desember 1983
- Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
- Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban bayar pajak (pasal 25 ayat 2).
- Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban bayar pajak (pasal 27 ayat 3).
UU Nomor 9/19949 November 1994
- Perubahan atas UU Nomor 6/1983.
- Wajib pajak tidak bisa menunda kewajiban bayar pajak dan penagihan.
UU Nomor 16/20002 Agustus 2000
- Perubahan kedua atas UU Nomor 6/1983.
- Wajib pajak tidak bisa menunda kewajiban bayar pajak dan penagihan.
- Petugas pajak yang menetapkan pajak tidak sesuai dengan UU Pajak sehingga merugikan negara dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
RUU 200731 Mei 2007
- RUU perubahan ketiga atas UU Nomor 6/1983.
- Wajib pajak bisa menangguhkan pembayaran atau membayar sejumlah yang disetujuinya bila mengajukan keberatan (pasal 25 ayat 7).
- Bila ditolak atau dikabulkan sebagian, dikenakan denda 50 persen (pasal 25 ayat 8).
- Bila mengajukan banding, sanksi denda tidak diberikan (pasal 25 ayat 9)
- Bila banding ditolak atau dikabulkan sebagian, kena denda 100 persen berdasarkan putusan banding dikurangi pembayaran pajak sebelum mengajukan keberatan (Pasal 25 ayat 10).
- Petugas pajak yang sengaja memeras diancam pasal 368 KUHP (Pasal 36A ayat 3).
- Petugas pajak dengan maksud menguntungkan diri sendiri, menyalahgunakan kekuasaan untuk membayar atau menerima pembayaran, bisa dijerat pasal 12 UU Nomor 13/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Pasal 36 ayat 4).
YA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo