Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laman Sacha Stevenson, 32 tahun, di situs berbagi video YouTube belakangan ini agak kerontang. Selain karena sibuk syuting film layar lebar, ia kini selektif mengunggah materi video ke YouTube. Padahal, dua tahun lalu, perempuan asal Kanada ini bisa sepekan sekali mengunggah tayangan kocak nan satiris yang memaparkan kebiasaan orang Indonesia. Misalnya soal pejabat birokratis, pengamen yang punya telepon seluler, juga soal cara orang Indonesia memakai toilet. Itu semua adalah hasil pengamatan sosial Sacha, yang sudah 14 tahun tinggal di negeri ini.
Dalam serial video bertajuk How to Act Indonesian itu, Sacha tak cuma jadi sutradara, tapi juga pemain. Satu waktu Sacha bisa menjadi pegawai kelurahan berjilbab yang lambat mengurus tetek-bengek birokrasi. Lain waktu ia menjadi perempuan kampung berdaster yang ketakutan diancam pria berjubah putih—yang juga ia perankan sendiri.
Banyak yang tertarik pada karya-karyanya. Laman YouTube Sacha pernah dilanggan lebih dari 200 ribu orang. Tapi angka itu sempat menyusut lantaran, saat musim kampanye pemilihan presiden, ia mengunggah video yang membuat pendukung calon presiden Prabowo Subianto geregetan.
Sacha juga beberapa kali membikin video tentang muslim di Indonesia, yang ujung-ujungnya bikin geram kalangan tertentu. Dia sempat kena risak di media sosial tahun lalu. Ia disebut sebagai orientalis yang mempelajari Islam untuk menghina agama tersebut. Sacha langsung membuat pernyataan maaf lewat video dan memutuskan tak lagi mengunggah video yang berkaitan dengan agama. Ia mengaku kapok.
Selasa siang hingga sore pekan lalu, Sacha menerima Isma Savitri, Firman Atmakusuma, dan fotografer Nurdiansyah dari Tempo di rumahnya di Pejaten Barat, Jakarta Selatan, untuk sebuah wawancara. Obrolan berlangsung di taman belakang rumah yang luas dan asri, ditemani tiga botol air mineral. "Dulu, kalau saya kasih kamu minuman ini, saya enggak butuh ucapan terima kasih. Itu karena saya tidak melakukannya buat kamu, tapi buat Allah," kata Sacha, yang belajar bahasa Indonesia dari majalah anak-anak dan lagu-lagu Iwan Fals.
Istri pria asal Bandung, Angga Prasetya, ini mengaku sempat fanatis memeluk Islam. Ia pernah belajar Islamic studies di American Open University dan dua tahun belajar bahasa Arab di Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab, Jakarta. Karena itu, ia merasa juga berhak berbicara tentang Islam. "Saya melihat kemunafikan di sana-sini," ujarnya.
Video yang Anda bikin isinya kritis tapi dikemas lucu. Itu pun masih banyak yang sebal dan merisak Anda di media sosial.
Akan selalu ada orang yang enggak suka pikiran dan tindakan kita. Mau kritis atau enggak, hater akan selalu ada. Tapi hidup terlalu pendek untuk dipakai memikirkan hal seperti itu. Mau suka, suka aja. Mau benci, ya, benci aja.
Para hater itu mempengaruhi Anda untuk lebih berhati-hati membikin video?
Saya enggak mau lagi bikin sesuatu yang berkaitan dengan agama karena ini terlalu sensitif dan ada undang-undang tentang penistaan agama. Mungkin ada di antara mereka yang akhirnya ingin menuntut saya secara hukum. Jadi saya pikir itu terlalu berbahaya. Saya ini orang aneh, jadi kadang orang lain enggak mengerti apa yang saya maksud. Entah mereka yang tidak bisa memahami entah saya yang kurang jelas.
Anda melihat hal itu sebagai kesalahpahaman?
Iya. Kadang, ketika bangun tidur, saya mengecek komentar orang di YouTube mengenai video saya. Saya jadi berpikir, "Wow, dalem banget komentarnya, ha-ha-ha...." Akhirnya saya memutuskan jauh-jauh sajalah dari urusan agama.
Kecewa enggak, humor Anda ditanggapi begitu oleh masyarakat?
Ini lucu, sih. Saya belajar Islamic studies di American Open University. Jadi saya merasa lebih dekat dan tahu tentang Islam dibanding banyak orang lain. Di kamar saya pun banyak hadis, kitab Shahih Bukhori, dan buku-buku tentang Islam otentik. Saya juga belajar bahasa Arab dua tahun di LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab). Jadi saya pikir saya berhak ngomong yang berkaitan dengan jurusan kuliah saya. Saya berani ngomong karena saya pernah belajar, dan melihat kemunafikan di sana-sini.
Kemunafikan seperti apa?
Ada yang bilang Allahu akbar, tapi di laci lemarinya banyak majalah laki-laki dewasa.
Gara-gara Anda kritis soal Islam di You-Tube, ada yang menyandingkan Anda dengan Edward Said.
Oh, itu berat banget, Sacha! Orientalis! He-he-he.... Suami saya tahu soal itu, tapi dia tidak tahu apa itu orientalis. Sedangkan saya tahu karena saya belajar tentang Islam, ha-ha-ha....
Kenapa dulu Anda tertarik mempelajari Islam?
Pada 2002, saya pernah jalan-jalan ke Bukit Lawang, Sumatera, bareng pacar saya waktu itu. Dia enggak mau tidur satu kasur sama saya dan memilih tidur di lantai. Kami enggak mungkin pesan kamar lagi karena uang terbatas. Setelah itu, dia mulai salat, dan perubahannya membuat saya sebagai pasangan terganggu. Yang lucu, ada warga setempat bilang ke pacar saya, "Kamu jangan satu kamar sama bule itu. Nanti dia bawa kamu ke neraka, lho...."
Laki-laki di lingkungan itu pekerjaannya duduk di masjid dan dakwah ke bule-bule berbikini yang ada di sana. Kadang mereka pergi untuk berjemaah tablig selama tiga hari dalam sebulan, tanpa meninggalkan uang ke istrinya. Padahal anak mereka banyak, bisa lima-enam orang. Katanya "biar Allah yang nanti memberi". Gara-gara itu, kadang para istri mereka datang ke saya dan minta beras. Saya jadi bertanya-tanya: apakah ini Islam?
Kejadian itu membuat Anda penasaran mempelajari Islam?
Kebetulan ada teman saya orang Australia yang mualaf. Dia punya banyak buku tentang Islam berbahasa Inggris, termasuk kitab Fikus Sunah. Dari buku-buku itu, saya mendapat banyak persepsi tentang Islam. Tapi, yang jelas, Islam itu enggak buruk. Saya pun berpikir, mungkin saya bisa menjadikan Islam milik saya. Islam juga mungkin membutuhkan saya dan pikiran terbuka saya. Setelah itu, saya semakin banyak membaca buku tentang Islam. Tiap baca buku rasanya seperti ada musik pengiring yang dramatis seperti di film-film itu, ha-ha-ha....
Selama proses itu, sempat berdebat dengan diri sendiri ataupun mentor?
Tidak ada. Pada dasarnya saya setuju dengan banyak hal yang saya pelajari di Al-Quran dan hadis.
Kenapa sampai kuliah ambil jurusan Islamic studies?
Ibu yang pingin saya kuliah. Dia tidak menekan saya, tapi dia bangga karena bisa memamerkannya ke orang-orang, ha-ha-ha.... Padahal baca sendiri dari buku sebenarnya sudah cukup buat saya.
Kok, enggak belajar Islam di kampus Indonesia saja?
Saya sempat cari kuliah di sini, tapi dikasih standar biaya internasional karena saya bule. Mahal banget, tuh! Akhirnya saya kuliah di American Open University.
Setelah belajar tentang Islam, apa yang berubah dari diri Anda?
Selama enam-tujuh tahun, ketika itu saya hanya belajar Islam. Saya enggak peduli dengan teman-teman, enggak main dengan mereka, dan enggak minum bir. Saya meninggalkan itu semua karena ingin menjalani hadis dan Al-Quran. Saya tidak peduli orang dan uang, dan hanya peduli Allah.
Tapi sekarang Anda sudah berubah?
Kamu pasti enggak akan menyukai saya yang dulu. Sebab, saya hanya peduli kepada Allah, bukan kepada orang lain.
Kenapa Anda melibatkan diri dalam Islam dengan cara seperti itu?
Karena saya tidak ingin menjadi hipokrit. Di otak saya waktu itu, kalau saya pelajari sesuatu tapi tidak menjalaninya, maka saya munafik. Saya menjadi muslim pada umur 20 juga karena ingin menjadi pemberontak. Di Indonesia, pakai cadar itu sudah merupakan pemberontakan, apalagi di Kanada. Saya senang melihat orang memperhatikan saya. Saya senang menjadi berbeda. Lagi pula, setiap dihina orang, ketika itu saya merasa mendapat pahala.
Kenapa sih ketika itu sampai merasa ingin pakai cadar?
Karena saya merasa memang harus pakai. Bukan karena kalau enggak pakai akan masuk neraka.
Sempat mengalami diskriminasi ketika pakai cadar di Indonesia?
Saya sempat mengalami kejadian aneh. Suatu hari saya pernah pakai cadar dan naik bus umum. Di dalam bus, saya bertemu dengan seorang gembel. Dia tiba-tiba berdiri di depan saya, lalu menonjok. Itu aneh banget. Mungkin dia pikir saya hantu.
Kalau diskriminasi dari pemerintah?
Sekitar sepuluh tahun lalu di Kantor Imigrasi Jakarta Timur, saya minta difoto oleh fotografer perempuan untuk kepentingan paspor. Tapi katanya tidak boleh, dan saya diminta foto di ruangan yang penuh dengan laki-laki. Saya sampai berantem dan menangis di situ.
Di luar negeri sempat mengalami kejadian serupa?
Di Kanada, sikap pemerintahnya bagus. Diskriminasi di sana lebih banyak dari masyarakat. Saya bisa melewati pemeriksaan keamanan bandara di Kanada tanpa harus melepas cadar. Minta difoto untuk paspor oleh fotografer perempuan pun diizinkan. Sedangkan saat berada di Ethiopia, saya diterima dan bahkan dikira warga asli negara itu. Buktinya, saya diajak mengobrol dengan bahasa setempat.
Kenapa sekarang tidak berhijab lagi?
Pada 2008, ketika saya kursus akting, saya masih pakai hijab. Tapi saya sadar ini akan sulit. Padahal banyak aktris Indonesia yang di sinetron akting pakai hijab tapi sehari-hari enggak pakai hijab.
Berat banget ya jadi perempuan "asing" yang pakai hijab di Indonesia?
Saya sulit mendapat pekerjaan. Ketika akhirnya mendapat pekerjaan pun, pekerjaannya tidak terlalu baik. Saya cuma bisa jadi guru bahasa Inggris, sementara tempat kursus enggak mau mempekerjakan hijabi. Kenapa? Banyak murid mendaftar ke sana karena ingin belajar pada native speaker. Sedangkan kalau saya pakai hijab, dipikirnya saya bule palsu, ha-ha-ha...
Dari yang semula bercadar lalu tiba-tiba melepasnya, apakah ada perasaan bersalah?
Impian saya sebagai aktris bertentangan dengan jilbab yang saya pakai. Akhirnya impian sayalah yang menang. Awalnya saya melepas hijab ketika proses casting saja, tapi akhirnya benar-benar lepas. Itu proses yang sangat panjang dan lama. Ketika awalnya kamu adalah orang yang sangat religius, kamu akan merasa bersalah melakukan ini. Pikiran saya pun ketika itu terus berkata, "I'm going to hell, I'm going to hell." Sampai pada akhirnya saya bisa menepis pikiran itu.
Islam di Indonesia seperti apa yang Anda kenal?
Di sini, Islam sangat berbaur dengan budaya. Misalnya tahlilan saat ada kerabat yang meninggal. Itu bukan ajaran murni Islam. Tapi di Indonesia, kalau kita enggak ikut tahlilan sementara keluarga melakukannya, kita merasa tidak enak. Pasti deh diomongin.
Sekarang semua orang berbicara tentang Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Apa yang Anda pahami soal itu?
Ini kayak Islam zaman dulu. Tidak ada nasionalisme. Tidak ada konsep negara seperti Indonesia, Kanada, atau lainnya, karena yang ada hanya negara Islam. Bagaimanapun, pasti akan selalu ada orang yang setuju dengan konsep itu.
Kenapa daya tarik organisasi seperti ISIS kuat, termasuk di Indonesia?
Saya sempat mengobrol dengan Julia Suryakusuma, orang yang buku dan tulisannya sangat saya sukai. Dia bilang kepada saya ingin menulis soal ISIS, tapi aku pikir lebih baik jangan. Jangan memberi mereka ruang beriklan. Sebab, kalau kita menulis artikel panjang tentang ISIS, kita sama saja memberi kesempatan orang mengenal mereka.
Tapi kenapa mereka masih mendapat tempat di Eropa?
Saya mencontohkan seperti ketika pulang kampung ke Kanada beberapa waktu lalu. Saya enggak punya teman karena mereka kebanyakan sudah pindah rumah. Saya akhirnya pergi ke masjid, dan tiba-tiba saja punya seratus teman baru. Mereka mencintai saya karena Allah, bukan karena berteman sejak dulu. Orang-orang itu sendiri kebanyakan pendatang. Ketika mereka sukar melebur ke komunitas lokal, mereka akan menemukan teman-teman baru di masjid. Jadi satu-satunya koneksi pertemanan adalah di tempat ibadah. Dan, ketika mereka sudah mulai mengobrol dan berdiskusi, ada saja yang terjadi setelah itu. Mungkin beda ceritanya kalau mereka punya banyak teman yang pemikirannya moderat.
Kalau di Indonesia, apa pemantik yang membuat orang menjadi ekstremis?
Saya pikir muslim di sini lebih bergantung pada sosok ustad. Di sini, kalau ustad bilang A, mereka akan patuh. Kalau ustadnya moderat, santrinya juga akan moderat.
Beda banget dengan di Barat, ya?
Di Barat, kebanyakan sistem pendidikannya membuat kita meriset sendiri dulu sebelum belajar. Jadi kita enggak langsung percaya apa yang dikatakan guru. Kalau dia mengajarkan Nabi Muhammad begini-begitu, kami pasti akan berpikir, "Ah, masak, sih?" Mungkin karena kami punya banyak waktu, ya. Kalau di sini sih orang pada sibuk kerja, ha-ha-ha….
Omong-omong, tidak ingin bikin video kritis lagi?
Sekarang aku lagi kepingin tenang. Entah nanti, mungkin kalau saya sedang marah.
Marah bagaimana?
Ya, lihat saja nanti. Saya pernah bikin video judulnya No Force in Religion. Banyak muslim yang suka, tapi banyak juga yang berkomentar negatif.
Sempat kesal karena video parodi Anda ditanggapi terlalu serius oleh penonton YouTube?
Saya jadi bertanya-tanya. Kok, saya enggak bisa bebas ngomong, sih? Kok, enggak bisa melakukan apa yang ada di otakku, sih? Padahal saya enggak suka disuruh diam. Kenapa coba, kita enggak bisa mengekspresikan opini kita sendiri?
Mungkin karena di Indonesia hal semacam itu sensitif...
Oke, ini Indonesia, tapi saya kan bikin video di dunia maya. Jadi, walau ada di Zimbabwe, saya tetap bisa bikin video yang ditonton orang Indonesia. Mungkin karena Internet relatif baru, jadi masalah sensornya belum jelas.
Kan, ada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Iya, memang ada undang-undang itu. Tapi kalau materi tentang suku, agama, dan ras dianggap membangkitkan kebencian. Tapi itu dia. Kita enggak pernah tahu hakim seperti apa sikapnya. Lagi pula, saya enggak mau mengganggu dan dituntut juga, sih, ha-ha-ha....
Pernah dituntut gara-gara dianggap melecehkan agama?
Enggak pernah. Orang kayaknya juga males punya urusan kayak gitu.
Tapi Anda sempat kena risak di media sosial ya gara-gara dianggap menghina Islam?
Iya, sih. Saya dulu kaget, apalagi suami saya. Dia sampai melarang saya ke warung selama tiga hari karena takut saya kenapa-kenapa. Padahal enggak apa-apa kali. Tapi sekarang sih dia sudah lebih santai.
Sebelum ke Indonesia, tinggal di mana saja?
Saya pernah tinggal setahun di Jamaika. Pernah juga coba tinggal di Swedia tiga bulan bareng Ibu. Saya hanya tahan sebentar di sana karena kurang cocok dengan lingkungan di Swedia. Saya lebih cocok tinggal di negara tropis yang saling sapa dengan siapa pun.
Tinggal di beberapa negara selain Indonesia membuat Anda kritis juga pada budaya dan agamanya?
Saya juga sempat tinggal dua-tiga minggu di Mesir bersama Ibu. Tapi, karena sebentar, ya saya hanya mengamati bahwa mereka kalau ngomong seperti orang sedang berantem, he-he-he....
Jadi belajar Islam sejak di Indonesia?
Iya, saya belajar di LIPIA, di Warung Buncit, Jakarta Selatan. Tapi kayaknya orang sering salah dengar, dikira saya belajar Islam di Libya.
Islam Anda sekarang masih seperti dulu?
Saya enggak mengikuti aturan yang ada karena enggak kepingin munafik. Kalau sekarang, saya ini "Islam KTP".
Orang yang menyerang Anda di Internet sepertinya banyak yang tidak tahu Anda muslim?
Saya sudah pernah bikin video yang isinya minta maaf kalau video saya dianggap menghina Islam. Saya sudah capek memikirkan soal itu. Mungkin mereka sebal melihat orang kayak saya yang tidak berhenti ngemeng. Sekarang sih sudah reda. Saya sadar 100 persen, enggak semua orang suka saya.
Anda sudah lama enggak bikin video tentang politik. Kenapa?
Pelanggan video saya di YouTube sudah capek dengan semua itu. Saya pernah bikin video tentang Prabowo dan Jokowi. Setelah itu, 25 persen penonton saya hilang. Mungkin itu karena saya sedikit kasar pada sosok Prabowo. Saya enggak ingin mengalienasi penonton video saya. Bukan berarti saya menyesal melakukan itu dulu, tapi sekarang saya jadi lebih berpikir politis saja sebelum bikin video, he-he-he….
Jadi sekarang berfokus jadi aktris dulu?
Iya. Tahun ini saya terlibat beberapa film, yaitu sekuel Air dan Api, Check In Bangkok, sekuel Comic 8, juga ada film bikinan sutradara favorit saya, Monty Tiwa. Oh, my God, film buatan Monty ini adalah hal yang saya inginkan dari dulu! Saya berperan sebagai agen rahasia yang bisa berbahasa Batak, Sunda, dan Jawa sekaligus.
Anda memang pingin banget ya jadi aktris?
Iya, itu mimpi saya. Pada 2008, saya ambil kursus akting di Sakti Aktor Studio Pancoran, yang dibimbing Eka Sitorus. Tapi ternyata tetap saja tidak banyak tawaran pekerjaan untuk saya. Paling disuruh jadi bule yang enggak bisa bahasa Indonesia. Jadi enggak ada tantangan. Saya belum bisa mewujudkan mimpi saya karena saya cuma berperan sepele.
Makanya setelah itu Anda memanfaatkan YouTube....
YouTube keren karena saya bisa jadi apa saja di situ. Saya bisa jadi satpam kalau saya mau. Apa pun.
Sacha Stevenson Karier: Guru bahasa Inggris (2001-2002) | Presenter dan pemain sinetron (2008-2010) | Video-blogger pemilik akun YouTube/sasaseno (2013-sekarang) | Aktor dalam film Air dan Api 2, Check In Bangkok, sekuel Comic 8, Lamaran (2015) Pendidikan: Islamic studies di American Open University (2002-tidak rampung) |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo