Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adrianus Meliala—anggota Komisi Kepolisian Nasional atau Kompolnas—berkali-kali menyentuh rambutnya, menggaruk wajah, memainkan jari, dan terbata saat berbicara. Banyak keluar kata "eee...", kemudian memandang plafon. "Saya enggak tahu semuanya jadi seburuk ini. Lalu apa tujuan Kompolnas?" katanya. "Kejadian ini membuat saya tambah gemuk."
Bobot Adrianus memang meningkat dari 103 kilogram menjadi 108 kilogram dalam seminggu. Kemeja hitam tidak mampu menyamarkan bagian perutnya yang membuncit. Kalau sedang mengalami stres, ia mengaku nafsu makannya bertambah dua kali lipat—khususnya makanan khas Cina. "Kami (Kompolnas) akan memakai warna hitam seminggu sebagai simbol kesedihan," ucapnya.
Publik dikejutkan oleh pernyataan Adrianus lewat wawancaranya dengan stasiun televisi swasta pada pertengahan Agustus lalu. Pernyataan itu berkaitan dengan dua perwira polisi yang bertugas di Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Jawa Barat—yang menjadi tersangka kasus judi online.
Kasus ini semakin wow karena Adrianus mengeluarkan pernyataan bahwa bidang reserse kriminal adalah "ATM-nya" pejabat polisi dan institusinya. Ketika bidang lain tidak mempunyai uang, yang dicari adalah bagian reserse kriminal. "Mau tidak mau, polisi melakukan 'begitu-begituan'," kata Adrianus saat diwawancara.
Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Sutarman marah dan meminta Adrianus meminta maaf di semua media massa, karena pernyataannya dianggap mencemarkan nama polisi. Adrianus menyanggupi, bahkan menulis secara tertulis permintaan maafnya sebagai upaya agar polisi menghentikan pengusutan kasusnya.
Kini senyum menjadi barang langka buat Adrianus. Hal itu terlihat dalam rapat yang digelar Kompolnas pada Kamis pekan lalu di gedung Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jalan Tirtayasa Raya, Jakarta. "Kami terzalimi," ujar Adrianus kepada Heru Triyono serta dua fotografer, Dhemas Reviyanto dan Aditia Noviansyah, dari Tempo.
Sore itu Kompolnas membahas penyesuaian kegiatan setelah kasus yang menimpa Adrianus. Termasuk mengurangi kegiatan ke daerah. "Kami melihat ada kemungkinan polisi di daerah akan berubah sikapnya saat menerima kami," kata Adrianus.
Dalam rapat itu juga dibahas rencana pertemuan dengan Syafii Maarif untuk menyidangkan secara etik Adrianus pada Senin mendatang. "Tujuannya ingin mengkomunikasikan kepada publik apakah tindakan saya melanggar etik atau tidak."
Kenapa Kepala Polri Jenderal Sutarman seperti kebakaran jenggot mendengar pernyataan Anda bahwa reserse kriminal menjadi "ATM" polisi?
Itu yang kami bingung. Saya sebut kami karena masalah ini bukan personal. Saya tidak punya masalah dengan Pak Kapolri. Bermusuhan juga enggak.
Tapi kenapa bisa begitu marah?
Saya kira ada pemicunya. Tapi kami tidak tahu itu apa.
Mungkin karena dia bekas Kepala Badan Reserse Kriminal?
Wah, saya enggak tahu. Saya tidak mau masuk lagi membicarakan kasusnya. Toh, sudah ditutup.
Dengan reaksi Kapolri seperti itu, masyarakat justru menduga jangan-jangan memang benar adanya....
Saya memilih diam saja saat ini. Walau dengan begitu ada juga yang bilang saya pengecut.
Kapolri Jenderal Sutarman mengaku baru kali ini ia marah besar....
Saya terima. Tapi saya tetap tidak tahu kenapa kok dia tiba-tiba marahnya (begitu besar). Saya tidak dapat sinyal sama sekali.
Kompolnas tidak mencoba melawan secara hukum?
Tidak usah ke situlah. Pertimbangan kami, kalau konflik terjadi, yang bersalah dan disalahkan kami juga, karena kami berada di posisi yang mengawasi. Artinya, dampaknya akan balik lagi ke kami. Mengalah saja.
Anda merasa takut?
Saya bingung karena, sebagai pengawas, saya diadukan. Setelah melihat peraturan, ternyata hal itu bisa dilakukan. Kami ini tidak kebal hukum. Makanya nanti kami ingin memperkuat Kompolnas berupa aturan yang mengatur imunitas terbatas. Imun tapi ada batasan. Artinya, sepanjang kami berbicara sesuai dengan tugas kami, ya, kami imun.
Batasan itu belum ada?
Belum. Ini hikmah kasus saya. Tahun ini badan legislatif mengundang kami untuk membicarakan perubahan Undang-Undang Kepolisian. Kami mencoba menyodorkan Rancangan Undang-Undang Kompolnas, tapi ternyata tidak bisa. Yang bisa adalah Undang-Undang Kepolisian, dengan Kompolnas yang diperkuat.
Kompolnas selama ini tidak kuat?
Kemampuan kami serba tanggung. Apakah sebagai penasihat presiden? Itu kalau dia mau mendengar. Pemberi masukan dalam rangka pengawasan kinerja polisi? Ya, kalau didengar juga. Yang lebih tanggung adalah kami punya fungsi menerima saran dan keluhan masyarakat, tapi tidak bisa melakukan investigasi. Kami terpaksa menyerahkan kembali ke polisi untuk menginvestigasi. Karena itu, kami harus kerja sama dengan mereka, lantaran kami tidak punya apa-apa. Nah, kenapa kok dalam situasi yang begitu hangat kemudian kami digebuk keras sekali? Itu yang kami belum mengerti.
Ketika tidak nyaman bertugas, kenapa Anda tidak terpikir keluar dari Kompolnas?
Keluar? Maksudnya?
Ya, keluar dari Kompolnas....
(Lama berpikir) Wah, ini pertanyaan baru. Tapi tidak. Nawaitu saya adalah membantu polisi menjadi lebih baik. Tapi, sebagai akademikus, saya harus tetap kritis.
Kabarnya akan puasa jadi pengkritik dulu?
Untuk sementara memang tidak kritik dulu. Itu mesti saya lakukan, harap maklum. Kalau memang ini yang diharapkan polisi, saya sudah KO (knocked out). Tapi semoga itu bukan harapan polisi karena saya merupakan anggota Kompolnas.
Apakah pernyataan Anda itu sesuai dengan tugas Anda sebagai anggota Kompolnas?
Saya pribadi memang memposisikan sebagai anggota Kompolnas yang tengah berbicara dalam ruang lingkup tugas saya. Kebetulan saja Metro TV waktu itu mengontak saya. Kalau mengontak anggota yang lain, pasti bicaranya sama. Mungkin gayanya berbeda.
Anda merasa memiliki dasar kuat untuk memberi pernyataan bahwa Bareskrim menjadi ATM polisi?
Sumber saya adalah aduan masyarakat dan anggota polisi. Juga dari berbagai kajian yang kami lakukan. Itu semua ada di kepala dan menjadi pendapat. Pada awal wawancara dengan Metro TV, saya justru memuji. Sayangnya, bukan itu yang diangkat. Saat diperiksa Bareskrim kemarin, saya bilang sebaiknya kita tidak dimainkan oleh media. Saya merasa seimbang dalam memberi pernyataan. Durasi Metro TV itu sekitar 4 menit, tapi yang diangkat hanya 50 detikan.
Kenapa kemudian Anda mencabut pernyataan Anda itu dan meminta maaf?
Itu dari diskusi dengan teman-teman (Kompolnas). Menurut teman-teman, tarik saja. Kalau diteruskan, kami tidak bisa melanjutkan pekerjaan.
Beberapa kelompok masyarakat menilai Anda tidak perlu meminta maaf, apalagi sampai dibawa ke jalur hukum.
Jalur hukum itu yang membuat saya kecewa dan kaget. Kami ini pendukung polisi. Mengawasi untuk memajukan polisi. Tidak disiapkan untuk menjadi macan. Apalagi saya telah jadi pengamat polisi puluhan tahun. Saya mengajar di PTIK dari angkatan 40 sampai sekarang, angkatan 66.
Mekanisme apa yang diharapkan Kompolnas untuk menyelesaikan kasus Anda?
Kalau dilihat dari betapa hubungan kami akrab dengan polisi, semestinya ada mekanisme lain untuk memberitahukan bahwa mereka tidak senang.
Misalnya?
Panggil kami. Kemudian minta saya untuk wawancara ulang. Saya tidak mengatakan bahwa jalur hukum yang ditempuh polisi untuk memperkarakan saya itu salah. Itu yang memang tepat di negara hukum. Tapi kita juga percaya bahwa itu adalah jalan terakhir yang paling serius kalau semua jalur tidak bisa dilakukan lagi. Kecuali saya ini orang luar yang tidak ada kaitannya dengan polisi, yang motivasinya jelek.
Anda pernah mengalami kasus serupa?
Dulu saya pernah diadukan oleh Alfons Loemau, seorang perwira menengah. Komentar saya waktu itu disandingkan dengan foto dia di sebuah media massa dan kesannya menohok. Ada kesalahpahaman.
Komentar apa?
Lupa. Saya diadukan dengan pasal pencemaran nama. Tapi kemudian dimediasi oleh Makbul Padmanegara, ketika itu Kapolda Metro Jaya, yang akhirnya bisa selesai dengan mengambil jalan nonhukum. Setelah kejadian itu, saya justru akrab sekali dengan Alfons.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto sebagai Ketua Kompolnas sudah turun tangan?
Dia lebih memilih menyerahkan ini kepada hukum.
Anda sudah dihubungi oleh dia?
Tidak sama sekali. Dia tidak berminat mengintervensi.
Bagaimana soliditas teman-teman Kompolnas dalam kasus ini?
Kami berenam kompak, dan sepakat apa yang saya katakan bukan sesuatu yang melanggar etika.
Kompolnas akan membentuk dewan etik untuk memeriksa Anda?
Ya, Senin depan (8 September 2014) kami akan mengadakan pertemuan tentang etik dengan mengundang beberapa tokoh, seperti Buya Syafii Maarif. Tujuannya adalah ingin mengkomunikasikan kepada publik apakah tindakan saya melanggar etik atau tidak, sehingga ke depan bisa sesuai.
Sampai kapan situasi absurd antara Polri dan Kompolnas ini berlangsung?
Kami akan segera kembali ke situasi yang biasa. Tapi, harus diakui, sekarang lagi nelongso. Hilang percaya diri kami sebagai pengawas. Kami mengawasi, tapi pada saat yang sama kami diadukan.
Tertangkapnya dua polisi, Ajun Komisaris Besar Idha Endri Prastiono dan Brigadir M.P. Harahap, di wilayah Kuching, Malaysia, karena kasus narkoba seperti bukti atas kritik yang dilontarkan oleh Anda terhadap polisi?
Biar masyarakat saja yang menilai.
Kok, bisa ada perwira polisi yang bertindak di luar penetapan komando kepolisiannya, apalagi ke luar negeri tanpa diketahui?
Hampir tidak ada pekerjaan polisi tanpa komando. Jadi yang bersifat inisiatif sendiri tidak banyak. Semua berada di bawah kendali. Bahwa setelah mendapat perintah sang polisi berkreasi, itu bisa. Tapi dia tidak boleh berkreasi sendiri tanpa perintah, susah. Makanya kasus ini disebut sebagai penyimpangan.
Menurut Anda, pengawasan internal polisi selama ini berjalan?
Jalan. Apalagi terhadap mereka yang jelas melanggar pidana. Banyak juga yang didisiplinkan.
Tapi, di satuan narkotik, ada orang seperti Idha Endri Prastiono yang tampaknya dekat dengan jaringan narkoba?
Ada senior polisi bilang: waktu untuk anggota di satuan narkoba hanya enam bulan buat membuktikan dia berada di mana; di sisi bandar atau di sisi Merah Putih. Ketika ada orang yang bertahun-tahun di satuan narkoba, itu harus diuji, apakah masih Merah Putih atau duduknya saja di kantor polisi tapi bekerja untuk bandar.
Satuan narkoba masih dianggap tempat yang "basah"?
Di mata polisi berintegritas tinggi, ya, tidak berlaku istilah itu. Banyak sekali serse yang berintegritas tinggi dan tidak mau mengeksploitasi itu.
Kasus judi online dan narkoba yang melibatkan polisi baru-baru ini akan membentuk sentimen negatif di masyarakat?
Masih banyak yang mengapresiasi polisi. Apresiasi nyata adalah ketika masyarakat mau menuruti polisi sebagai hukum yang hidup. Ketika masyarakat berkendara kemudian mau berhenti pada dasarnya adalah bagian dari respek terhadap polisi.
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2015, anggaran kepolisian sekitar Rp 44 triliun. Apakah itu cukup?
Belum ideal. Kalau dulu, dari sepuluh kasus yang datang ke polisi, tidak ada uang sama sekali untuk menanganinya. Sekarang, dari sepuluh, sudah bisa ditangani tujuh kasuslah.
Artinya masih tetap kurang?
Polisi itu anggotanya meningkat dari 300 ribu menjadi 450 ribu orang. Belanja pegawainya saja pasti besar. Belum lagi kalau dikaitkan dengan loading kasus yang masuk. Sebagai contoh Jakarta. Tahun lalu, ada 20 ribu kasus. Bayangkan. Padahal pagu anggaran penyelidikan yang didanai negara hanya 7.000 kasus. Akhirnya polisi akrobatik. Misalnya dana untuk kasus serius sebesar Rp 20 juta itu dipecah kecil-kecil untuk membiayai empat-lima kasus ringan.
Jumlah polisi sebesar 450 ribu orang itu sudah ideal?
Saya rasa cukup. Tinggal tambah kualifikasi dan kualitasnya. Penanganan kasus jadi semakin cepat ditangani dan diketahui jika anggotanya banyak dan cerdas.
Seperti apa sosok Kapolri idaman Anda?
Yang tidak usah banyak agenda. Sedikit, asalkan fokus dan tuntas. Misalnya modernisasi. Dalam dua tahun, komputerisasi sampai level bawah. Itu bisa akan tercapai dan dampaknya akan terasa.
Kalau sosok Kapolri yang sekarang?
Ada progres saat dia memimpin, tapi dia tipe yang stabil saja—ketimbang membuat perubahan besar. Mungkin ini disebabkan oleh soal waktu juga, dia hanya punya waktu dua tahun. Tidak sempat selesai sudah ganti.
Anda tidak menilainya otoriter?
Tidak. Kita hidup dalam alam demokrasi. Memakai rule of law. Jalur hukum yang dipakai mereka masih bisa diterima. Saya tidak terbayang, jika mengkritik polisi 15 tahun lalu, saya mungkin tidak hidup lagi.
Nama:
Adrianus Eliasta Sembiring Meliala
Tempat Dan Tanggal Lahir:
Jakarta, 28 September 1966
Pendidikan:
Karier:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo