Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Cerita Si Perangkai Puzzle

8 September 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA satu-satunya wanita yang terselip dalam tim Disaster Victim Identification (DVI) Kepolisian Republik Indonesia. Di Donetsk Oblast, Ukraina, bersama Antonius R. Castilani, Putut Tjahjo Widodo, Aji Kardomo, Ahmad Fauzi, dan Daniel Agustinus, ia mengidentifikasi 600 serpihan tubuh korban pesawat Malaysia Airlines MH17. Sepanjang 20 Juli-12 Agustus lalu, ia bergantian berkutat dengan potongan daging, rambut, tulang, dan gigi para korban. "Cita-cita saya sebagai anggota tim identifikasi internasional sudah terwujud," katanya Selasa pekan lalu.

Hati Sumy Hastry Purwanti, dokter ahli forensik berpangkat ajun komisaris besar polisi, berbunga-bunga ketika dipanggil bergabung dengan tim DVI Polri yang ­berangkat ke Belanda. Tim beranggotakan ahli forensik ini dikirim untuk membantu proses identifikasi korban pesawat yang jatuh di Ukraina pada 17 Juli lalu itu. Sebanyak 298 penumpang dan awak pesawat—12 orang di antaranya warga negara Indonesia—tewas dalam penerbangan dengan rute Amsterdam-Kuala Lumpur itu.

Dari seorang dokter umum, perempuan 44 tahun ini memutuskan bergabung dengan kepolisian untuk mendalami forensik. Kepala Subbidang Dokter dan Kesehatan Kepolisian Daerah Jawa Tengah ini pernah menangani tak kurang dari 17 kasus besar, antara lain Bom Bali I dan II (2002 dan 2005), bom Hotel JW Marriott (2003), tsunami Aceh (2004), serta jatuhnya pesawat Sukhoi di Gunung Salak (2012).

Aktivitas forensik yang telah 12 tahun ditekuninya ibarat seni merangkai puzzle. Dari serpihan tubuh yang tercerai-berai, Hastry merangkainya menjadi susunan informasi yang utuh tentang identitas seseorang. Dua hal menjadikan seseorang bersedia menjalani profesi ini: hobi atau gila. "Kalau saya karena hobi dan gila," ujarnya, tergelak.

Di lemari kaca ruang kerjanya terdapat tujuh tengkorak manusia asli yang disusun berjajar. Tengkorak dari jasad korban kejahatan yang tak diketahui identitasnya itu dipakai untuk alat peraga saat ia memberi kuliah di sejumlah perguruan tinggi. "Saya lebih takut pada manusia hidup. Tengkorak tak bisa mencelakakan seseorang," ucapnya. Kegilaan Hastry pada forensik rupanya telah mengalahkan rasa ngeri dan takut saat berhadapan dengan mayat dan tengkorak.

Di tengah kesibukan bertugas dan me­rampungkan kuliah S-3 di Universitas Airlangga, Surabaya, Hastry meluangkan waktu untuk menerima Sohirin dan fotografer Budi Purwanto dari Tempo. Perbincangan pagi itu di kantornya di Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang, berlangsung sekitar satu setengah jam. Seusai wawancara khusus, ia bergegas menuju bandar udara untuk terbang ke Surabaya. "Saya harus konsultasi dengan dosen terkait dengan rencana disertasi tentang antropologi forensik," katanya.

+++

Bagaimana hasil identifikasi 12 warga negara Indonesia yang menjadi korban jatuhnya pesawat Malaysia Airlines MH17 di Ukraina?

Seluruh hasil kerja tim DVI Indonesia sudah diserahkan ke Belanda, selaku koordinator. Kami tak hanya mengidentifikasi korban dari Indonesia. Yang berhak memutuskan identifikasi korban sudah selesai atau belum itu Belanda, setelah memadukan hasil identifikasi di lapangan dengan data antemortem (data korban sebelum mati) dan data postmortem. Satu hal yang perlu diketahui, khusus penentuan korban dari Belanda atau negara Eropa, apakah hasil identifikasi korban akan diekspos atau tidak, sepenuhnya seizin keluarga korban. Hal ini semata-mata pertimbangan hak asasi manusia.

Kabarnya empat jenazah bisa diidentifikasi....

Iya. Itu yang sudah teridentifikasi, dan cocok antara hasil tes DNA dan data antemortem serta data postmortem. Dari 45 korban dari Malaysia, baru 20 yang sudah dipulangkan. Dan mereka itu korban yang jenazahnya tidak terlalu parah. Korban dari semua negara belum ada yang selesai identifikasinya.

Apa saja yang dilakukan selama di sana?

Tim DVI Indonesia membuat line kerja sendiri, dari membersihkan serpihan tubuh (body part) yang terbakar, menelitinya, sampai mendeskripsikan menjadi data DNA. Tim Indonesia bertugas mengidentifikasi 600 serpihan tubuh, yang kami selesaikan selama tiga pekan. Potongan daging, rambut, dan gigi, kami identifikasi. Kalau tulang, kami gergaji untuk diteliti sumsumnya. Seluruh hasil tes DNA diserahkan kepada tim Belanda. Kewenangan merilis apakah korban sudah teridentifikasi atau belum ada pada Belanda.

Bagaimana Anda mengidentifikasi korban?

Kami lakukan identifikasi sesuai dengan standar DVI internasional. Yang pertama secara visual, yaitu mengenali korban lewat pencocokan dengan fotonya; barang-barang yang dikenakan, misalnya perhiasan; atau lewat tanda lahir, tato, luka bekas operasi, dan catatan medis. Cara kedua adalah identifikasi sidik jari dan gigi serta analisis DNA.
Kalau jarinya masih bagus, diambil sidik jarinya. Kalau ada gigi, diambil data giginya. Kalau masih relatif utuh, dikenali dari ciri-ciri fisik tubuh. Bisa juga lewat wajah jika masih bisa dikenali atau tanda pengenal yang masih menempel pada pakaian atau tubuh korban.

Jika kondisinya sudah hancur?

Identifikasi lewat analisis DNA. Kami pisahkan potongan atau serpihan tubuh yang sudah tidak berbentuk dan tidak bisa dikenali akibat ledakan, terkena mesiu, atau bahan kimia dari pesawat yang meledak. Difoto dulu bentuk awalnya, dinomori untuk labeling, setelah itu dibersihkan atau dicuci dengan air sampai ketahuan itu jaringan tulang, otot, atau kulit. Kalau sudah hancur atau hangus terbakar sampai menjadi arang, ya, sudah tidak bisa diidentifikasi. Itu dieliminasi.

Bagaimana ceritanya Anda bisa ikut tim DVI Polri yang diberangkatkan ke Ukraina?

Saya bagian dari tim forensik Polri dan pernah terlibat dengan tim DVI dalam beberapa kasus besar, dari Bom Bali I dan II, bencana erupsi Merapi, tsunami Aceh, sampai kecelakaan pesawat Sukhoi di Gunung Salak.

Anda berpengalaman mengidentifikasi jenazah yang kondisinya sudah tidak dapat dikenali dengan mata telanjang. Bagaimana caranya?

Saya selalu percaya, dalam setiap kesulitan, Tuhan selalu menunjukkan jalan keluar. Asalkan bekerja teliti dan bersungguh-sungguh, pasti ada petunjuk. Kunci dari keberhasilan DNA forensik adalah harus ada data pembanding, misalnya DNA dari keluarga atau barang pribadi korban. Kalau tidak ada, agak susah mengidentifikasi korban.
Misalnya, dua tahun lalu ada korban mutilasi di Kopeng, Kabupaten Semarang, tanpa kepala dan tangan. Tes DNA sudah dilakukan, tapi tak ada data pembanding karena tidak ada laporan warga yang kehilangan korban. Hingga saat ini, korban belum ter­identifikasi. Korban erupsi Merapi dan tsunami Aceh banyak yang tak teridentifikasi karena tak ada data pembanding, karena semua warga menjadi korban.

Seperti apa perbedaan identifikasi jenazah korban MH17 dengan beberapa kasus lain yang pernah Anda tangani?

Kasus Sukhoi di Gunung Salak sama susahnya dengan Ukraina. Korbannya juga hancur. Bedanya, di Ukraina, korban lebih banyak. Kasus Bom Bali I cukup berkesan karena itu pengalaman saya pertama kali.

Apa kasus lain yang pernah Anda tangani yang sangat menarik dari sisi ilmu forensik?

Saat terjadi ledakan rumah mercon di Demak, sempat dirilis korban berjumlah tiga orang. Saya tak berani memutuskan jumlah korban. Selama tiga hari, saya dan tim mengumpulkan seluruh serpihan tubuh, lalu kami timbang. Beratnya sekitar 240 kilogram—setara dengan lazimnya empat orang Indonesia. Setelah tiga korban teridentifikasi, terus saya teliti dan akhirnya menemukan potongan tulang belakang baru. Akhirnya kami simpulkan jumlah korban empat orang dan sesuai dengan aduan masyarakat. Sekali lagi, kerja forensik harus teliti dan tidak terpengaruh opini publik.

Seperti apa perkembangan terbaru bidang forensik? Apakah ada metode atau teknik identifikasi baru?

Saat ini DNA forensik adalah perkembangan baru forensik. Ilmu ini mampu menjawab keperluan identifikasi jasad manusia yang rumit. Saat ini Indonesia hanya memiliki sepuluh ahli DNA forensik, dua di antaranya dari Polri.

Bagaimana menurut Anda perkembangan ilmu forensik di Tanah Air?

Perkembangan forensik di Indonesia sudah bagus, bahkan tidak kalah dengan negara maju. Tim forensik Polri tak kalah dengan FBI Amerika atau AFP Australia. Sebab, sesungguhnya basis ilmu forensik di dunia sama. Kelebihan Indonesia adalah diperkaya kasus, baik kecelakaan maupun bencana alam. Negara lain bisa jadi menguasai teori, tapi miskin pengalaman. Ini semacam berkah di balik musibah. Tim DVI Indonesia berpengalaman dari kasus Bom Bali I dan II, bom Kuningan, JW Marriott, Sukhoi di Gunung Salak, erupsi Merapi, tsunami Aceh, sampai beberapa kecelakaan kereta api dan pesawat.

Mahardika Satria Hadi, Sohirin (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus