Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Pelukis Kaca dengan 400 Wayang

Rastika menghidupkan kembali lukisan kaca tradisional Cirebon. Muralnya di Taman Mini Indonesia Indah adalah lukisan kaca terbesar di Indonesia.

8 September 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagai wong Cerbon, saya punya gagasan memamerkan semua kesenian tradisional Cirebon pada pertengahan 1975. Saya ingin memperlihatkan kepada masyarakat bahwa Cirebon memiliki berbagai corak dan bentuk kesenian yang khas, mandiri, dan berbeda dari kesenian Jawa pada umumnya. Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, tempat saya mengajar, menyetujui gagasan ini. Maka saya pun berkeliling ke berbagai wilayah di Cirebon, dari Indramayu hingga Gegesik. Dalam waktu singkat, saya dapat menghimpun sejumlah karya seni, dari wayang golek cepak hingga barong kepet.

Yang sulit dicari adalah lukisan kaca. Jenis kesenian ini hampir punah. Kalaupun ada, senimannya sudah tua, berumur 60-an tahun. Satu-satunya pelukis kaca yang masih muda dan hasil karyanya dianggap terbaik adalah Rastika, lelaki yang lahir di Desa Gegesik Kulon pada 1942 dan masih tinggal di desa itu.

Saya pun mengunjungi rumah Rastika dan memperhatikan karya-karyanya, khususnya yang bertema wayang kulit, seperti kelompok Panakawan dan kereta paksi naga liman serta sejumlah gambar wayang yang dibentuk dari kaligrafi Arab yang berisi ayat suci Al-Quran, seperti Macan Ali dan Serabad.

Karya-karyanya sangat bagus, rapi, dan cermat. Penggambarannya atas sosok wayang punya proporsi yang sempurna dan wanda (karakter tokoh wayang pada suatu suasana tertentu) yang bagus. Bentuk wadasan dan daun pandan yang terletak di dasar gambar serta mega mendung yang terkadang mengisi kekosongan di bagian atas ia garap dengan detail, teliti, dan rapi. Itulah kelebihan Rastika.

Sejumlah karya Rastika lalu dipamerkan di Galeri Soemardja ITB pada 1977. Menurut Rastika, itulah pameran pertamanya sejak dia mulai menggambar kaca pada 1960-an. Tak lama kemudian Joop Ave, Kepala Rumah Tangga Istana Kepresidenan, mendatangi saya menanyakan alamat Rastika. Sejak itulah Rastika pulang-pergi Jakarta-Cirebon dan kerap tinggal di Istana Merdeka selama berminggu-minggu untuk melakukan tugasnya sesuai dengan permintaan Joop. Joop juga mengupayakan sebuah pameran tunggal Rastika di Jakarta Fair dan meminta Rastika membuat mural lukisan kaca Citra Indonesia, yang menggambarkan peta Indonesia yang diapit naga dan burung garuda. Karyanya masih terpampang di Museum Indonesia, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Mural ini adalah lukisan kaca terbesar di Indonesia.

Secara ekonomi, tingkat kehidupan ­Rastika mulai naik. Selama bertahun-tahun kemudian dia dapat hidup layak dan menyekolahkan putra-putranya hanya dari lukisan kaca. Dia juga membangun studio berbentuk rumah joglo, yang diberi nama Sanggar Seni Sungging Plabangkara. Kesuksesan Rastika ini menghidupkan dan mengembangkan seni lukis kaca Cirebon. Para pelukis angkatan tua mulai giat kembali dan yang muda mencoba serius menjadi pelukis kaca.

Di luar itu, Rastika juga punya berbagai keahlian, seperti mengukir kayu, membuat topeng, dan menjadi nayaga dalam grup wayang kulit pimpinan dalang Maruna. Yang perlu disorot adalah ketika dia membuat wayang kulit yang lengkap. Satu kotak wayang biasanya hanya berisi sekitar 250 lembar wayang, tapi banyak tokoh yang tidak pernah dibuat wayangnya. Rastika lalu merancang semua tokoh wayang yang dia kenal. Ukirannya dia percayakan kepada penatah wayang Sawiyah, tetangganya, dan sunggingan (pewarnaan) digarap Rastika sendiri. Empat tahun kemudian, "proyek" tersebut selesai dan menghasilkan sekitar 400 wayang, yang hingga kini tersimpan dengan baik di rumahnya. Menurut saya, wayang kulitnya ini termasuk yang terbaik di seluruh Cirebon, di samping wayang antik koleksi keraton.

Suatu hari pada 2010, saya menelepon Rastika untuk suatu keperluan. Ketika saya bertanya tentang kesehatannya, dia menjawab, "Alhamdulillah, badan sehat, tapi kantong tidak sehat." Hal itu mengisyaratkan bahwa pendapatan Rastika sedang menurun. Bukan hanya tenaganya kian menyusut karena penyakit jantung, dia juga tersaingi oleh banyaknya pelukis kaca muda.

Sebelumnya, pada 2009, dia sempat berpesan: "Seandainya saya mati, tolong tetap lestarikan kesenian gambar kaca Cirebon. Juga saya titip anak saya, Kusdono." Kusdono adalah salah satu putra Rastika yang lumpuh dan harus bergantung pada bantuan kursi roda. Sejak dini Rastika berupaya mewariskan seluruh kepandaiannya kepada Kusdono. Usahanya berhasil. Sejak awal 2000-an, Kusdono dipercaya mewarnai sketsa Rastika dan kemampuan itu kian meningkat. Karya-karya Kusdono hampir tak bisa dibedakan dari karya ayahnya. Bahkan, pada Juni 2013, sejumlah karya Kusdono dan Rastika dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta.

Pesan Rastika yang berbunyi "Seandainya saya mati…" telah mengganggu pikiran saya. Jangan-jangan itu sebuah firasat. Apalagi kesehatannya kian menurun. Pada 26 Agustus 2014, saya menerima pesan pendek dari Kusdono, yang memberitakan bahwa pelukis kaca legendaris itu telah dipanggil Tuhan Yang Maha Esa.

Haryadi Suadi, Pengajar Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus