Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Setio Rahardjo: KNKT Harus ke Luar dari Departemen Perhubungan

5 Maret 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para wartawan giat memburunya saban kali ada pesawat jatuh, kereta ambles, atau kapal tenggelam dan terbakar. Para juru warta itu kerap—dengan tidak sabar—mendesakkan pertanyaan, meminta komentarnya, mengecek hasil investigasi timnya. Alhasil, namanya mencuat di media massa setiap kali terjadi kecelakaan di bidang perhubungan: darat, laut, udara. Itulah dunia Setio Rahardjo, 61 tahun, sejak dia memimpin Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Tugasnya tidak jauh-jauh dari menelisik soal-soal miris pascakecelakaan.

Yang paling anyar dalam daftar investigasi KNKT adalah kapal Levina I yang terbakar dua pekan lalu pada posisi tiga mil dari pantai Muara Gembong, Bekasi. Musibah yang menewaskan 54 orang itu membikin pekerjaan Setio dan anak buahnya kian menggunung, karena investigasi dari sederet kecelakaan yang terdahulu belum tuntas digarap. Adam Air salah satunya. Setiap hasil temuan KNKT diharapkan bisa menjadi panduan evaluasi agar musibah tak terulang. Namun, kata Setio, “Tidak semua rekomendasi kami bisa dijalankan.”

Nahas di Levina menyisakan 19 orang dalam status diduga hilang. Temuan awal investigasi lembaga ini menyebutkan api berawal dari bahan kimia pada tiga unit truk di dek kendaraan. “Jenis bahannya belum jelas; yang pasti mudah terbakar,” ujar Setio kepada Tempo.

Laksamana Muda (Purn) ini menghabiskan banyak waktu untuk menganalisis data hasil temuan timnya. Sampai-sampai, sebagian besar tempo bersama keluarganya tersita. Toh, Setio mengakui, dia mencintai pekerjaan ini—dan keluarganya mendukung. Dunia penerbangan dan perkapalan bukanlah hal yang baru bagi ayah lima anak ini. Lulus dari Sekolah Menengah Umum di Semarang, dia masuk Akademi Angkatan Laut di Surabaya, Jawa Timur.

Baru tujuh bulan menjalani masa pendidikan, mantan Kepala Dinas Penerbangan Angkatan Laut itu dikirim ke Rusia guna mempelajari bidang penerbangan bagi Angkatan Laut. Sejumlah pos di Angkatan Laut pernah dia isi, di antaranya Komandan Pangkalan Udara Angkatan Laut dan Komandan Satuan Armada Udara.

Menurut Setio, lembaga yang kini dia pimpin sumber daya manusianya masih miskin. Peralatan investigasi pun masih minim dan, katanya, “Wewenangnya amat terbatas.” Berdasarkan keputusan presiden yang dia terima, kekuasaan KNKT adalah sebatas memberi rekomendasi kepada Menteri Perhubungan. Tak mengherankan, kerap muncul rasa rikuh terhadap sang menteri yang menjadi atasan. “Baik dari diri saya maupun anak buah,” kata Setio. Untuk itulah, dia mengharapkan agar ke depan nanti lembaga yang didirikan pada 1999 ini bisa lebih independen.

Di tengah kesibukannya menelisik kasus kapal Levina I, pejabat yang mengaku sudah menerima kabar pencopotannya sebagai Ketua KNKT itu menyempatkan waktu menerima kontributor Tempo, Syaiful Amin dan Heru Catur Nugroho, untuk sebuah wawancara khusus pada Rabu lalu di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta. Sehari kemudian, Herry Gunawan dari Tempo melengkapi percakapan dengan Setio Rahardjo melalui telepon.

Berikut ini petikannya.

Sejauh mana perkembangan pengusutan kasus tenggelamnya kapal Levina I?

Pencarian penumpang sudah dihentikan hari ini (Rabu lalu) Itu sudah sesuai aturannya, yaitu tujuh hari. Kalau penyebab terbakarnya, kami masih terus mengumpulkan data.

Ada alasan tertentu mengapa investigasi masih berfokus ke bahan kimia di dek kendaraan?

Sampai saat ini belum ada dugaan selain bahan kimia yang menjadi penyebab terbakarnya Levina I. Jadi fokus kami ke situ. Dari keterangan saksi mata, wawancara dengan anak buah kapal dan penumpang, asal-muasal api dari dek mobil. Jenis bahan kimianya memang belum jelas, masih diselidiki oleh tim KNKT. Sampai sekarang pengemudi truk yang membawa bahan kimia itu belum mau mengaku bahwa dia mengangkut barang-barang yang mudah terbakar.

Bolehkah bahan kimia dibawa ke kapal?

Ada aturannya. Saya tidak tahu persis siapa yang berhak membolehkan, administrator pelabuhan atau syahbandar. Yang jelas, mereka yang membawa harus memberi laporan pada yang punya kapal, sehingga penempatannya bisa diatur, lebih diawasi, dan diberi alat pemadam khusus.

Anda sudah mendapat informasi bagaimana barang itu bisa masuk ke kapal?

Sampai sekarang belum tahu kenapa itu bisa lolos, tapi mudah-mudahan masalah ini belum lama berlangsung. Kalau sudah lama berarti sudah mengakar. Kadang-kadang kapal nggak punya waktu cukup. Begitu datang diproses begitu cepat, lalu berangkat lagi.

Selain bahan kimia yang belum jelas itu, bagaimana dengan mesin kendaraan penumpang yang tetap hidup di dalam kapal?

Mestinya hal itu tidak boleh terjadi. Seharusnya ada pengawasan ketat. Bahkan, setahu saya, ada peraturan, kendaraan yang diangkut kapal harus dibatasi bahan bakarnya. Di beberapa tempat di kapal ada larangan jelas merokok, tapi baik penumpang maupun kru kapal sering merokok di lokasi terlarang.

Ketika kapal terbakar, banyak penumpang yang terjun tidak menggunakan pelampung. Mengapa hal itu bisa terjadi?

Seharusnya kapal itu seperti pesawat udara. Para penumpang diajari cara menggunakan pelampung. Setidaknya diberi latihan sekali dengan mengenalkan perlengkapan kapal, sehingga semua penumpang tahu pelampungnya di mana, sekoci penyelamatan di mana. Sekarang ini jarang sekali kapal melakukan seperti itu.

Rasanya aneh sekali masih banyak kecelakaan transportasi, baik di udara maupun laut. Padahal Anda maupun Menteri Perhubungan Hatta Rajasa meyakini segala aturan sudah sesuai dengan standar internasional.…

Aturan yang ada memang sudah memenuhi standar internasional, hanya sering ada implementasi yang menyimpang di lapangan. Contohnya pada kasus terbakarnya Levina I. Kalau membawa barang mudah terbakar, mereka harus lapor, tapi itu tidak dilakukan. Ini jelas-jelas penyimpangan aturan.

Penyimpangan juga kerap dilakukan oleh yang membuat aturan….

Memang, operator dan regulator yang di lapangan, kadang saling kompromi. Padahal banyaknya excuse itu akan banyak menimbulkan kecelakaan. Mestinya pengawasan dari regulasi di lapangan diperketat.

Menurut Anda, di mana kelemahan mendasar sistem birokrasi di lapangan?

Misalnya dalam hal izin. Mereka terlalu lama memberinya. Mejanya terlalu “panjang”. Saya tidak ingin mengira-ngira, tapi kemungkinan besar ada (permainan, kongkalikong untuk memperlancar keluarnya izin).

Tentang para operator transportasi, di mana titik utama kelemahan mereka?

Yang selama ini mereka kejar kan hanya untung dan mengabaikan safety (keamanan). Ini yang perlu ditekankan. Seperti operator yang mau membawa barang-barang mudah terbakar atau mudah meledak. Mestinya mereka punya alat pemadam kebakaran yang bagus di armadanya.

Rata-rata, siapa yang paling banyak memberikan kontribusi terjadinya kecelakaan transportasi?

Memang tidak pernah faktor tunggal. Ada operasional, teknik, cuaca, medan, dan lainnya, tapi yang paling dominan adalah kesalahan manusia. Ini bisa mencapai 60 persen. Sebagian besar berasal dari operator. Mungkin regulator juga ada salahnya, masyarakat juga ada. Misalnya, banyak penumpang yang naik kereta api di atas atap.

Mengapa izin bagi para operator bandel tidak ditutup saja?

Saya kira pemerintah tidak punya maksud membunuh. Kalau ditutup berarti membunuh dan berdampak pada banyak orang. Semestinya pemberian ganjaran dipertegas. Oke, kamu saya beri izin, tapi tolong keamanan ditingkatkan. Selama ini, sanksi terberat adalah pencabutan izin, seperti Levina, termasuk Adam Air yang tujuh pesawatnya dilarang terbang.

Kecelakaan terus terjadi, padahal kita sudah berkali-kali mendapatkan pengalaman dari berbagai musibah. Apa komentar Anda?

Persis. Pemerintah harus mengawali disiplin untuk mengedepankan keamanan—begitu pula kita semua. Kalau kondisi seperti sekarang dibiarkan, citra perhubungan Indonesia pasti akan buruk sekali. Perlu diingat, dalam perhubungan itu ada sub-subsistem. Kalau salah satu terganggu, sistem jadi rusak. Karena itu, perusahaan jangan hanya cari untung dan mengabaikan keselamatan. Mestinya keuntungan dihitung setelah dikurangi pembiayaan untuk keselamatan.

Dalam konteks ini di mana peran KNKT?

Tugas pokok kami berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 105 Tahun 1999, sebatas melakukan penelitian dan pe-nyelidikan kecelakaan. Selanjutnya, memberi rekomendasi kepada Menteri Perhubungan agar tidak terjadi kecelakaan serupa di kemudian hari. Kami tidak dalam posisi memberikan sanksi. Walau demikian, kalau kami melihat ada persoalan yang berkait dengan keamanan, langsung kami rekomendasikan.

Misalnya?

Ambil contoh kereta api. Ada satu daerah di sekitar Purwokerto, Jawa Tengah. Di sana sering terjadi anjlok di daerah yang sama. Kami curiga dan mengeceknya. Ternyata relnya diganjal bambu. Nah, ini langsung kami rekomendasikan untuk diperbaiki.

Apakah rekomendasi tim Anda biasanya diterima?

Tugas kami hanya sampai rekomendasi. Ada yang diterima, ada yang tidak. Misalnya, ada satu jalur kereta api ke Probolinggo yang saya rekomendasikan untuk ditutup. Pemerintah daerah menolak karena rel itu untuk jalur ekonomi, seperti membawa bahan bakar minyak.

Selain hanya terbatas pada rekomendasi, apa kelemahan lain dari KNKT?

Tentunya, posisi juga mempengaruhi independensi. Saya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Perhubungan. Rasa rikuh pasti ada. Baik pada diri saya maupun anak buah saya. Katakanlah, kalau saya menilai kebijakan menteri atau direktur jenderal, pasti kan ada rasa rikuh, mengingat mereka atasan saya. Seharusnya tidak boleh begitu. Menurut saya, KNKT harus independen, ke luar dari Departemen Perhubungan. Lembaga ini langsung bertanggung jawab ke presiden dan diawasi DPR.

Selama menjadi Ketua KNKT, kasus apa yang paling berat Anda tangani?

Adam Air yang hilang itu. Kami tidak melihat apa sebenarnya yang terjadi pada pesawat itu. Sebetulnya, kepuasan seorang investigator adalah bila dapat menemukan penyebabnya. Untuk Adam Air kita hanya meraba-raba. Seperti pada kasus kecelakaan pesawat Mandala di Medan, yang semua penumpangnya meninggal. Kami cukup puas karena bisa menemukan kemungkinan penyebabnya.

Setio Rahardjo

Lahir:

  • Rangkasbitung, Banten, 8 Januari 1946

Pangkat Terakhir:

  • Laksamana Muda

Pekerjaan Sebelumnya:

  • Anggota Badan Search and Rescue Nasional

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus