Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AIR yang menghilir di Sungai Kampar, yang membelah Kabupaten Pelalawan, kini selalu keruh. Hujan bersilih kemarau tak membuatnya jernih. Di tepi sungai selebar 60 meter itu, tak lagi pepohonan tegak. Hanya hamparan bekas pembakaran lahan.
Dekat sungai itu ada jalan selebar 15 meter yang diapit kanal selebar tujuh meter di kiri-kanannya. ”Tongkang pengangkut kayu setiap hari melintas di situ,” kata Ajib Thalib, tetua suku Akit, penghuni tepian Kampar, Selasa pekan lalu.
Di sisi sungai terdapatlah Dusun Taluk, yang dihuni 350 keluarga. Namun jangan berharap menemukan warga asli di kampung yang berada di Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, ini. ”Kami telah terusir,” kata Ajib.
Sebermula, suku Akit adalah puak terbesar di hulu Sungai Kampar. Mereka hidup dari hutan. Ajib, pria kelahiran Dusun Taluk berusia 67 tahun itu, di masa lalu sering ikut ayahnya, Thalib, keluar-masuk hutan. ”Kami mencari sarang lebah di pohon sialang,” ayah sembilan anak itu mengenang.
Selain memanen madu, mereka mencari rotan dan berburu. Di sungai, kata Ajib, ”Kami mengail ikan.” Masih di dusun yang sama, di hilir Sungai Kampar, beranak pinaklah suku Laut yang hidup dari mencari ikan. Dua suku ini hidup rukun, saling menopang.
Kehidupan mereka mulai terusik pada 1980, ketika para tauke kayu mulai memerkosa hutan perawan di perbatasan Siak-Pelalawan. Indah Kiat berdiri pada 1982, disusul Riau Andalan tujuh tahun kemudian, semula dengan bendera Raja Garuda Mas.
Pada awalnya penduduk senang dengan kehadiran tauke kayu yang ramah. Hanya dengan pancingan rokok, warga suku Akit sudah rela menebangi pohon. Sejak itu pola hidup kedua suku itu berubah. Semula mereka berusaha menjadi buruh industri, tapi lama-kelamaan kembali meninggikan adat.
Hutan yang lebat di Riau membuat penjarah kayu menambah tenaga dari berbagai daerah. Hutan tempat gantungan hidup suku Akit mulai gundul, sebagian menjelma menjadi perkebunan kelapa sawit. Sungai yang dulu jernih berubah jadi keruh.
Bahkan, menurut Deputi Direktur Walhi Riau, M. Teguh Surya, penjarah membangun kanal dan jalan untuk mengeringkan rawa gambut pada 1995. ”Kini, lahan gambut sejuta hektare itu nyaris ludes,” kata Teguh.
Akibatnya, dua suku ini mulai terdesak dan tercerai-berai. Pohon sialang yang bisa mencapai ketinggian 20 meter, tempat lebah bersarang, berganti dengan hutan akasia yang ditanam pemilik industri bubur kertas. Kini, empat hari mengembarai hutan belum tentu mereka menemukan sarang lebah.
Itu sebabnya suku Akit masuk ke Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Kabupaten Indragiri Hulu. Sebagian masuk hutan arah perbatasan Kabupaten Siak-Pelalawan. Bahkan keluarga tetua suku hanya sanggup bertahan di Dusun Taluk hingga 1996. Mereka pindah ke Pangkalan Kerinci, ibu kota Kabupaten Pelalawan.
Suku Laut juga berhamburan. ”Terpaksa mencari kampung lain,” kata Abdul Jalakhi, orang suku Laut. Mereka minggat ke Tanjung Batu, Kepulauan Riau. Dua suku itu kini lenyap dari catatan Pemerintah Kecamatan Teluk Meranti.
Seorang tokoh masyarakat Pelalawan, Darwis Alkadam, mengatakan pemerintah harus bertanggung jawab atas terseraknya dua suku itu. ”Kebijakan membuka hutan itu tak sebanding dengan ekses negatif bagi masyarakat asli,” katanya. ”Terlalu besar yang dipertaruhkan.”
Nurlis E. Meuko, Jupernalis Samosir (Pekanbaru)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo