Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sofyan Djalil, 54 tahun, biasa bergerak cepat. Ada cerita menarik. Ia mengaku baru bersentuhan dengan matematika saat usianya 31 tahun. Sepanjang belajar, kemudian mengajar agama di Aceh, tanah kelahirannya, ia tak pernah berhadapan dengan mata pelajaran itu. Tapi ia ngebut belajar matematika hingga lulus tes untuk S-2, bahkan meraih gelar philosophiae doctor dari Universitas Tufts, Amerika Serikat.
Kini ia menteri negara urusan BUMN dan ngebut melancarkan berbagai program perampingan. Tapi sekonyong-konyong kecurigaan muncul. Sejumlah figur Partai Golkar menjadi komisaris di beberapa BUMN. Kuningisasi? ”Saya tidak pernah ikut Golkar. Sampai hari ini juga tidak ikut,” katanya kepada wartawan Tempo Ahmad Taufik, Dewi Rina, Wahyudin Fahmi, Budiriza, dan fotografer Zulkarnain, Sabtu pertengahan Juli lalu.
Saat itu, di rumah dinasnya di Jalan Denpasar Raya, ia bercerita banyak. Dari program perampingan, pembentukan perusahaan induk beberapa BUMN, sampai rencana pembentukan kembali bank pembangunan. Berikut ini petikan wawancaranya.
Ada aroma kuningisasi, Golkarisasi, di Kementerian Negara BUMN sekarang. Muhammad Abduh jadi Komisaris PT Perkebunan Nusantara XIV, Susiati di Danareksa. Benar begitu?
Begini. Ibu Susiati itu dulu asisten wakil presiden, dan sebelumnya beliau juga Komisaris Pupuk Sriwijaya. Di Danareksa dia juga menjadi komisaris, juga direktur jenderal di Departemen Keuangan. Tapi itu tidak ada urusannya dengan Golkar, karena kebetulan dia itu birokrat. Dan semua di kantor wakil presiden.
Komisaris dalam birokrasi punya dua fungsi. Pertama, fungsi mengawasi dan membantu, dan yang kedua, fungsi tambahan income. Yang pejabat pegawai negeri diberi jabatan komisaris. Pak Abduh itu Komisaris Pertamina. Sekarang di PTPN XIV sedang ada masalah. Pak Abduh mengatakan bisa membereskan itu. Saya tanyakan bagaimana caranya. Dia bilang, ”Taruh saya di sana. Kalau kamu percaya, akan saya bereskan.” Gajinya di PTPN XIV cuma beberapa juta. Kalau mau jadi komisaris dalam artian mencari uang, bukan di situ tempatnya. Jadi nggak ada urusan itu dengan Golkar, dan saya cenderung netral.
Bukankah Anda sangat dekat dengan Jusuf Kalla?
Saya memang terlibat dalam tim sukses (Jusuf Kalla). Tapi ceritanya jauh ke belakang lagi. Pada 1998, Pak Tanri Abeng, yang saat itu menjabat Menteri Negara BUMN, sedang didemo. Beliau ngomong dengan Didik Rachbini dan Ekky Syachrudin, minta dicarikan orang yang bisa membantu. Jawaban Didik dan Ekky, ”Ada tapi aktivis.” Pak Tanri bilang justru itu yang dibutuhkan karena untuk menghadapi demo. Kemudian saya diperkenalkan dengan Pak Tanri, dan saya diangkat sebagai Asisten Komunikasi Menteri BUMN. Setelah Pak Tanri turun, saya kembali ke swasta, membuat perusahaan konsultan sendiri, konsultan good corporate governance.
Tapi kenapa sampai santer kabar kedekatan khusus Anda dengan Jusuf Kalla?
Sewaktu sistem pemilihan presiden langsung dipastikan akan dipakai, saya ingin memberikan kontribusi untuk sebuah perubahan dan ingin bekerja dengan siapa pun yang bisa melakukan perubahan. Saat saya ketemu dengan Pak Tanri, beliau bertanya, ”Mau membantu Pak Jusuf Kalla atau tidak?” Saya jawab dengan pertanyaan lagi, ”Bagaimana orangnya?” Saat itu saya kenal Pak Jusuf Kalla hanya dari jauh, tidak secara personal. Waktu itu Pak Jusuf Kalla mau ikut konvensi Partai Golkar. Kemudian saya datang ke Lembang 9, kediamannya. Rupanya, Pak Jusuf Kalla mengenal saya sebagai asisten Pak Tanri. Baru setelah mengikuti rapat itu, saya berpikir menarik sekali orang ini cara pandangnya. Saya merasa klik, dan bersedia bergabung dalam Tim Lembang 9. Ketuanya Pak Alwi Hamu, dan saya dijadikan wakil ketua. Proses itu berlangsung terus sampai terbinanya hubungan Pak SBY dan Jusuf Kalla sebagai pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Jadi yang saya lakukan sebetulnya lebih pada keinginan untuk melakukan perubahan.
Anda bisa jamin masuknya Muhammad Abduh bukanlah titipan Jusuf Kalla?
Tidak ada itu. Bagi saya, insya Allah, yang terpenting adalah keinginan membawa yang terbaik. Tapi BUMN itu bukan kepentingan swasta. Percayalah, tidak ada keputusan yang saya buat itu, apa pun bentuknya, yang muncul pure dari kalkulasi perkembangan politik. Ini soal lain.
Mengapa Anda bersemangat mengkampanyekan perlunya bank pembangunan?
Konsepnya bagus dan sesuai dengan policy bank, karena bank komersial itu by nature sebenarnya tidak bagus kalau membiayai pembangunan infrastruktur dalam jumlah besar. Bank komersial itu uangnya milik masyarakat, dana jangka pendek. Padahal proyek-proyek infrastruktur itu membutuhkan dana jangka panjang. Karena itu, di berbagai negara ada policy bank. Pertama bank pembangunan, yang kedua bank ekspor. Bapindo itu dulu bank pembangunan, tapi (penerapannya) ke mana-mana, sehingga orang menyebutnya ”bank pinjam doang”. Kita lihat pengalaman Jerman. KfW (Bankengruppe) itu bank pembangunan Jerman, tapi tidak bergantung pada pemerintah, sehingga rating-nya bagus sekali. Mereka bisa mencari dana jangka panjang di pasar dan mengeluarkan obligasi untuk membiayai infrastruktur. KfW berperan besar dalam restrukturisasi Jerman setelah Perang Dunia II, kemudian dalam mengintegrasikan ekonomi Jerman Timur ke dalam Jerman Barat.
Sudah sejauh mana realisasinya?
Saya sudah berbicara dengan Menteri Keuangan, membahas secara komprehensif seperti apa konsepnya. Dengan demikian, pressure terhadap bank komersial untuk memberikan kredit jangka panjang bisa berkurang. Tapi bukan berarti bank-bank yang lain tidak boleh (memberikan kredit) lagi. Portofolio bagi kredit jangka panjang itu harus balance dibandingkan dengan profil keuangan mereka. Modelnya mungkin seperti KfW.
Bagaimana reaksi Bank Indonesia?
BI juga senang. Saya sudah ngobrol dengan Burhanuddin Abdullah (Gubernur BI). Baru konsep awal, belum sampai jauh. Tapi BI pada prinsipnya sangat mendukung policy bank karena justru membantu kestabilan industri perbankan.
Dari mana dananya? Berapa besar?
Ada-lah…. Besarnya tergantung. Saya lebih setuju dengan kurva pembelajaran. Misalnya dengan modal Rp 5 triliun di awal, tapi kami buat governance yang bagus. Setelah itu, kalau sudah beroperasi dengan baik, bisa cari dana sendiri di pasar.
Mengapa tidak menggunakan dana pensiun di Kementerian Negara BUMN? Bukankah dananya besar dan bisa jangka panjang?
Betul. Tapi perlu ada institusi yang mengelola dan harus cukup kredibel. Maka harus good corporate governance. Ide ini masih terus kami godok menjadi rencana rinci. Nanti dipresentasikan di Menteri Koordinator Perekonomian dan Menteri Keuangan. Kemudian, untuk diputuskan, harus dalam kabinet lengkap.
Kapan konsep ini akan terealisasi?
Kalau enam bulan sampai satu tahun ke depan konsepnya bisa disetujui, dan dilanjutkan dengan pembuatan peraturan pemerintahnya, itu sudah bagus sekali.
Sebelum menjabat Menteri Komunikasi dan Informatika, Anda sempat diplot menjadi Menteri Negara BUMN dan menyatakan akan menggenjot privatisasi. Apa realisasinya sekarang?
Dengan privatisasi, jangan dipikir menjual aset negara. Bukan. Tujuannya adalah membuat BUMN lebih efisien. BNI segera masuk pasar, juga Jasa Marga dan Wijaya Karya. Untuk tahun depan, saya sudah minta Komite Privatisasi untuk menyetujui privatisasi BUMN lagi. Intinya begini, BUMN yang tidak memiliki kepentingan publik atau public policy yang banyak akan diprivatisasi. Tapi negara tetap bisa memegang 51 persen. Dengan demikian, BUMN akan lebih fleksibel.
Artinya bukan dijual seperti yang dilakukan Laksamana Sukardi di era Megawati?
Itu kondisional. Pada waktu itu, kondisi ekonomi sedang krisis. Pemerintah perlu menjual aset untuk menutup APBN. Saya tidak menyalahkan, misalnya, jika Indosat harus dijual. Bahwa prosedur dan prosesnya tidak optimal, itu urusan lain. Tapi, secara policy, seandainya saya ada dalam posisi itu, atau siapa pun yang berada pada posisi beliau, harus melakukan hal yang sama. Waktu itu keadaannya sulit sekali. Bolong APBN harus pemerintah tutup. Gaji pegawai negeri tidak terbayar kalau pemerintah tidak berutang atau menjual aset.
Kapan BNI masuk pasar?
Insya Allah, pertengahan Agustus. Road show mulai minggu depan (minggu ketiga Juli). Ada tim yang ke Eropa, ada yang ke Amerika dan Asia. Ke Eropa ada dua tim, yang dipimpin oleh Pak Sigit (Pramono, Direktur Utama BNI) dan tim yang dipimpin wakil direktur utama.
Bagaimana dengan anggapan bahwa kondisi BNI di pasar nanti tidak sebagus yang diharapkan?
Jangan (beranggapan) begitu dulu. Kondisi pasar saat ini cukup bagus.
Ada desas-desus bahwa orang lebih menanti Jasa Marga?
Begini. Semua investor saat ini sedang kelebihan duit, lho. Oleh sebab itu, mereka akan melakukan portofolio. Jasa Marga dia perlu, perbankan dia juga perlu, dan pertambangan perlu, dalam rangka mengurangi risiko. Itu yang dilakukan oleh para fund manager. Mereka tidak mau menaruh semua dalam satu keranjang.
Apakah waktu masuk pasar tidak berdekatan?
Pokoknya, tiga itu (BNI, Jasa Marga, dan Wijaya Karya) tahun ini harus masuk pasar.
Sudah siap menghadapi DPR?
Dua kali pertemuan dengan Komisi VI DPR (yang membidangi perindustrian dan perdagangan), menurut saya, hasilnya bagus sekali. Mereka sangat suportif. Satu kali pertemuan dengan Komisi XI (yang membidangi keuangan dan perbankan) juga bagus. Hubungan saya dengan Menteri Keuangan juga tak ada masalah, bahkan Agustus nanti kami akan mengadakan rapim (rapat pimpinan) bersama. Saya tidak apriori sama siapa pun. Kelebihan saya itu karena saya sangat fleksibel. Yang penting interpersonalship. Dengan Menteri Keuangan, sekarang ini, kami bisa telepon sehari dua kali. Sekarang saja kami mau rapat bersama, dari masalah RDI (rekening dana investasi), dividen, privatisasi, sampai restrukturisasi. Begitu banyak masalah yang sangat bergantung pada keputusan Menteri Keuangan. Kalau tidak cocok dengan Menteri Keuangan, bisa tidak jalan.
Soal Inhutani bagaimana? Kabarnya, Inhutani 1 sampai 5 akan dilebur ke dalam satu holding?
Saya belum ada perhatian khusus terhadap hal itu. Seperti juga Pelindo, sedang saya pikirkan apa perlu empat biji, dan Angkasa Pura apa perlu dua biji. Tapi ini perlu dibahas secara spesifik karena menyangkut banyak orang.
Itu juga bagian dari niat untuk merampingkan BUMN?
Betul. Mengurangi jumlah BUMN. Bentuknya bisa holding, bisa juga merger.
Apakah BUMN farmasi termasuk yang akan dirampingkan?
Harus dilihat dulu apakah holding farmasi akan menciptakan nilai tambah. Perlu studi yang bagus. Misalnya, Kimia Farma dan Indofarma apa perlu digabung atau tetap stand alone. Saya belum bisa memberikan kesimpulan. Tapi Bio Farma harusnya stand alone karena bisnisnya berbeda sekali. Walau namanya farma, sebenarnya bukan farma seperti dua lainnya. Yang jelas, belum saya putuskan apa pun mengenai masalah itu. Saya masih melihat struktur yang paling optimum.
Selain itu?
Anda tahu tidak, hotel BUMN itu banyak sekali. Ada Natour, HII, Rekayasa, dan Aero Wisata. Total hotel BUMN bisa lebih dari 50. Lokasinya bagus-bagus. Saya sedang memikirkan mencari investor strategis. Apakah itu Ritz-Carlton atau Shangri-La, kalau bisa dikelola, investasi luar biasa. Hotel-hotel itu sudah lama beroperasi, kalau bisa dijadikan bagian dari jaringan hotel yang besar, mengapa tidak?
Bagaimana dengan target 100 BUMN sebagai tahap awal perampingan di akhir semester dua ini?
Yang jelas pupuk, IRC (holding perusahaan tambang), BUMN Karya juga sudah, perkebunan, kemudian kawasan-kawasan industri.
Mana yang lebih berat tekanan politiknya, Menteri Negara BUMN atau Menteri Komunikasi san Informatika?
Oh, jelas yang sekarang. Sebab, sebagian besar aset negara, bahkan hampir seluruhnya, ada di BUMN.
Sofyan A. Djalil
Lahir:
- Perlak, Aceh, 23 September 1953
Pendidikan:
- The Fletcher School of Law and Diplomacy
- Tufts University (PhD, 1993)
Karier:
- Menteri Negara Komunikasi dan Informatika (2004-2007)
- Menteri Negara BUMN (2007-2009)
Kegiatan akademis:
- Dosen pada beberapa perguruan tinggi sampai sekarang (antara lain Fakultas Ekonomi UI, Pascasarjana Fakultas Hukum Unpad, dan Pascasarjana Fakultas Hukum UI)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo