Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TANDA pagar #PecatBudiKarya bergaung di Twitter dua pekan lalu. Warganet ramai-ramai memprotes keputusan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menaikkan tarif ojek online per awal bulan ini. Kedongkolan penghuni jagat maya makin berlipat saat menyinggung lonjakan harga tiket pesawat rute domestik sejak akhir tahun lalu.
Budi Karya pun bergerak. Bukan akibat trending topic tersebut, melainkan permintaan Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution dalam rapat koordinasi pada Senin, 6 Mei lalu. Selama sepekan, Budi Karya menggelar rapat maraton di kantornya di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, untuk mencari formulasi pemangkasan batas atas tarif penerbangan. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbang-an, Kementerian Perhubungan berwenang menetapkan tarif batas atas (TBA) kelas ekonomi angkutan udara niaga berjadwal -untuk melindungi konsumen dan badan usaha dari persaingan tak sehat.
Pada rapat Senin, 13 Mei lalu, tercapai kesepakatan untuk memangkas batas atas tarif penerbangan 12-16 persen bagi kelas ekonomi pesawat niaga tipe jet. Maskapai hanya diperbolehkan menetapkan tarif jarak maksimal sebesar 100 persen dari batas atas, di luar pajak dan biaya tambahan (tuslah), bagi penerbang-an full service; 90 persen bagi penerbangan medium service; dan 85 persen bagi low-cost carrier. “Itu adalah perjumpaan antara keinginan kami memberikan tarif yang lebih terjangkau, tapi tetap menjaga keselamatan,” kata Budi, 62 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo, Rabu, 15 Mei lalu.
Kelar urusan udara, Budi Karya berfokus mempersiapkan sarana mudik, dari jalan tol baru di Lampung dan Sumatera Selatan, penyeberangan antarpulau, sampai rekayasa lalu lintas di jalan tol Trans Jawa. Menurut dia, kenaikan harga tiket pesawat tidak akan berpengaruh banyak pada kepadatan angkutan darat. “Pemudik lewat jalan tol akan masif, tapi lebih karena antusiasme masyarakat terhadap jalan tol baru,” ujar mantan Direktur Utama PT Angkasa Pura II itu.
Di tengah kegiatannya yang nyaris tak berjeda hingga usai Lebaran, Budi Karya menerima wartawan Tempo, Reza Maulana, Khairul Anam, dan Angelina Anjar, di ruang kerjanya. Seusai wawancara dan pemotretan, dia meneken Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 106 Tahun 2019 tentang Tarif Batas Atas.
Apa pertimbangan Anda menurunkan batas atas tarif tiket pesawat?
Ini adalah suatu perjumpaan antara keinginan kami untuk memberikan tarif yang lebih terjangkau oleh masyarakat dengan tetap menjaga keselamatan penerbangan. Satu hal yang harus masyarakat ketahui, walaupun ini bukan berita yang enak didengar, selama ini maskapai kita berada dalam sebuah kompetisi yang tidak menguntungkan mereka sehingga mereka rugi. Sebagai regulator, kami harus berpikir jangan sampai mereka bertarung dalam suasana yang keras seperti itu sehingga rugi dan berujung pada kebangkrutan atau mengorbankan keselamatan penerbangan. Jadi, kalau kami menurunkan TBA lebih dari 15 persen, rasanya kami tidak bertanggung jawab.
Apa jaminan penurunan rata-rata 15 persen itu tidak merugikan maskapai?
Kalau okupansinya di atas 65 persen, feasible. Jadi, kalau okupansinya 70 persen, untung. Itu yang menjadi pertimbangan kami dalam menentukan tarif.
Berapa okupansi penerbangan domestik saat ini?
Berdasarkan observasi kami, okupansi rata-rata di atas 70 persen. Bahkan ada yang 90 persen. Di luar negeri malah tidak ada TBA dan TBB (tarif batas bawah). Jadi, kalau banyak yang tidak puas terhadap penurunan TBA rata-rata 15 persen, itulah faktanya. Kami juga harus memberikan ruang kepada maskapai untuk tetap survive.
Bagaimana tarif pesawat di luar negeri dengan tidak adanya TBA dan TBB?
Coba cek, misalnya di Jepang, Osaka-Tokyo, atau di Thailand, Bangkok-Chiang Mai. Pasti mahal. India juga bisa menjadi contoh yang bagus.
Tapi mereka memiliki moda transportasi darat yang lebih bagus, sehingga konsumen punya pilihan.…
India lebih buruk dari kita.
(Lewat situs Trip Advisor, Jumat pagi, 17 Mei lalu, Tempo membandingkan tarif penerbangan domestik dengan waktu terbang sekitar dua jam, yaitu Jakarta-Makassar yang dibanderol mulai sekitar Rp 1,7 juta. Sedangkan New Delhi-Mumbai di India sekitar Rp 700 ribu dan Hanoi-Ho Chi Minh City di Vietnam sekitar Rp 780 ribu. Adapun Lion Air menjual tiket Jakarta-Singapura sekitar Rp 800 ribu dan Jakarta-Pekanbaru sekitar Rp 1,6 juta.)
Mengapa sebelumnya maskapai tidak kunjung menjalani anjuran Kementerian Perhubungan untuk menurunkan tarif?
Saya tidak mau menjustifikasi mereka nurut atau tidak nurut. Saya ingin kami sebagai regulator setara dengan maskapai, tidak merasa punya kekuasaan. Ini saya buktikan dengan menurunkan TBA setelah tiga bulan kami melakukan persuasi kepada mereka. Nah, perjalanan ini saya laporkan dalam rapat koordinasi dengan Pak Menko Perekonomian. Dalam rapat, saya diberi tahu bahwa ini sudah mengganggu inflasi serta sektor pariwisata dan perhotelan. Ya sudah, diputuskan dalam rapat.
Sesusah itukah mengatur harga tiket pesawat?
Tidak susah. Biasalah, swasta kan selalu berusaha memenangi persaingan. Caranya berbeda-beda. Saya bisa mengerti karena saya pernah di swasta. Tapi, ya, jangan begitulah, he-he-he....
Batas tarif penerbangan adalah kewenangan Anda. Mengapa menunggu diminta oleh rapat koordinasi untuk menurunkannya?
Saya tidak ingin sewenang-wenang memutuskan sesuatu hanya karena saya mendapatkan laporan atau tekanan soal harga. Saya ingin sektor lain juga menyampaikan sesuatu tentang ini sehingga keputusan ini memang benar-benar dirasa perlu. Saya hanya bisa mengamati penurunan jumlah penumpang. Melalui rapat itu, saya bisa tahu ada empat hal lain yang bisa menjadi pertimbangan, yaitu keluhan masyarakat, inflasi, pariwisata, dan perhotelan.
Keluhan apa yang paling Anda ingat?
Pak Sekretaris Kabinet Pramono Anung kan keliling Indonesia bersama Pak Presiden. Salah satu komplain masyarakat adalah tarif pesawat. Ternyata tidak ada daerah yang tidak komplain itu. Dulu hanya ada dua daerah yang membahas tiket pesawat. Kalau Lebaran, di Sumatera Barat. Kalau Imlek, di Kalimantan Barat. Sekarang rata semuanya. Mau ke Makassar ngomong itu, mau pulang ke rumah ngomong itu, mau ke tetangga ngomongnya juga itu, ha-ha-ha....
Sampai-sampai muncul #PecatBudiKarya.…
Ha-ha-ha.... Saya tetap mau kerja saja. Saya mendapatkan amanah, ya saya kerjakan.
Betulkah Anda khawatir menyinggung Kementerian Badan Usaha Milik Negara kalau memutuskan sendiri batas atas tarif karena akan mengganggu keuangan Garuda Indonesia?
Saya bukannya tidak memikirkan Garuda. Sejak menjadi Direktur Utama Angkasa Pura II, saya tahu Garuda adalah penerbangan kebanggaan kita. Jadi kita harus mendukung mereka. Saya kasih mereka Terminal 3 di Bandara Soekarno-Hatta karena memberikan kehormatan bagi Garuda. Itu yang membuat saya berhati-hati dalam memutuskan penurunan TBA. Saya berdiskusi dengan banyak pihak. Ternyata sektor lain juga memiliki kepentingan. Jadi ini bukan masalah takut enggak takut. Keputusan ini pasti membuat Garuda punya masalah yang harus diselesaikan. Tapi kami sudah mengukur, dengan okupansi mereka saat ini, Garuda tetap bisa untung.
Dengan penurunan harga tiket Garuda Indonesia, harga tiket low-cost carrier pasti ikut turun?
Ya. Mekanisme pasarlah yang berlaku. Mau tidak mau, suka tidak suka, harga tiket low-cost carrier pasti di bawah penerbangan full service.
Anda berdiskusi dengan Menteri BUMN Rini Soemarno sebelum memutuskan penurunan batas atas tarif?
Kami berdiskusi dalam rapat koordinasi dengan Pak Menko Perekonomian. Bu Rini menyerahkannya kepada kami. Ya sudah, kami putar otak bagaimana supaya penurunan TBA tidak membuat Garuda rugi.
Anda bertemu dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan Ombudsman. Apa yang dibicarakan?
Saya harus berkonsultasi dengan semua pihak, seperti KPPU, Ombudsman RI, dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. Walaupun pendapat-pendapatnya belum tentu sejalan dengan keputusan kami, paling tidak kami tahu sensitivitasnya. Penurunan TBA rata-rata 15 persen memang belum tentu menyelesaikan masalah karena ada yang berekspektasi lebih. Tapi itu sudah kami ukur.
Ada yang menilai Anda ragu-ragu dalam keputusan ini....
Rapat dengan berbagai pihak kan bagus juga. Begini saja masih ada orang yang marah, apalagi kalau saya enggak tanya-tanya orang.
Adakah peluang batas atas tarif diturunkan kembali?
Janganlah. Kasihan maskapai. Kalau penurunannya di bawah 30 persen, sudah tidak bisa.
Maskapai akan jual rugi?
Ya. Kalau rugi, komponen nomor satu yang diambil pasti maintenance. Semestinya maintenance setiap satu bulan, jadi dua bulan. Komponen nomor dua adalah jam kerja. Semestinya jam kerja 8 jam, jadi 10 jam. Itu akan berdampak pada keselamatan penerbangan.
Bagaimana jika maskapai mempertahankan harga tiketnya?
Karena di dunia internasional tidak ada aturan mengenai TBA dan TBB, kami harus menerapkan aturan ini dengan suatu kedewasaan. Maskapai meminta waktu untuk mengganti sistem reservasinya. Kami memberikan batas maksimal 2 x 24 jam bagi mereka untuk menerapkan aturan ini. Kalau melanggar, sanksinya dari teguran sampai pencabutan izin rute penerbangan.
Apakah tingginya harga tiket pesawat membuat pemudik jalur udara berkurang drastis?
Kalau berkurang, ya. Sampai saat ini belum ada maskapai yang meminta tambahan penerbangan. Tapi, kalau sangat berkurang, tidak. Penumpang pesawat itu relatif memiliki dana. Feeling saya, berkurangnya tidak sampai 10 persen dibanding tahun lalu. Sebab, saat nyadran di awal Ramadan ini, angkanya juga mentok di situ, terutama di Bandara Soekarno-Hatta dan Bandara Halim Perdanakusuma. Biasanya tingkah laku penumpang saat nyadran dan Lebaran hampir sama.
Akan ada peralihan pemudik jalur udara ke darat?
Kelihatannya seperti itu. Tapi, menurut saya, itu lebih disebabkan oleh antusiasme masyarakat terhadap jalan tol. Penurunan jumlah pemudik dengan pesawat mungkin justru terjadi pada mereka yang akan ke luar pulau, seperti dari Jakarta ke Pontianak atau dari Semarang ke Kumai, Kalimantan Tengah. Karena itu, kami mendatangkan kapal dari wilayah timur Indonesia untuk rute tersebut.
Bagaimana pemerintah mengantisipasi lonjakan pemudik jalur darat?
Kami menerapkan sistem satu arah di jalan tol Trans Jawa dari kilometer 29 atau pintu tol Cikarang Utama, Jawa Barat, sampai kilometer 262 atau pintu tol Brebes Barat, Jawa Tengah. Kami akan memberlakukannya pada 30 Mei-2 Juni dan selama 24 jam. Mereka yang menuju ke barat diarahkan lewat jalan pantura. Ini berdasarkan catatan dari Pak Presiden dalam rapat terbatas. Pak Presiden mengatakan, “Itu kan ada jalan pantura. Tolong dimanfaatkan.” Minggu ini kami akan membuat simulasi supaya lebih clear. Ini bisa menampung flow yang sangat besar, baik bus maupun kendaraan pribadi.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi memantau pemeriksaan kelaikan bus angkutan lebaran di Terminal Leuwi Panjang, Bandung, Jawa Barat, Selasa, 7 Mei 2019. TEMPO/Prima Mulia
Apa antisipasi bagi pemudik bersepeda motor?
Kami mengimbau, kalau bisa, jangan memakai kendaraan pribadi, apalagi sepeda motor. Saya berulang-ulang mengatakan jangan mudik dengan motor karena sangat berbahaya. Sekitar 70 persen kecelakaan saat arus mudik itu karena naik motor. Tahun lalu bagus karena pemudik dengan motor berkurang 30 persen, kecelakaan juga berkurang 30 persen.
Bagaimana dengan arus kendaraan dari Jakarta menuju Sumatera?
Yang krusial di sekitar Merak. Ketika arus mudik, saya memprediksi itu akan terjadi kenaikan load drastis pada 31 Mei nanti. Biasanya mereka yang menuju Merak berangkat tiga hari sebelum Lebaran. Karena itu, kami akan memberikan tarif murah pada hari-hari sebelumnya. Lalu kami akan menerapkan sistem ganjil-genap. Saya juga mengusulkan agar dibuat disparitas harga antara siang dan malam.
Apa pertimbangannya?
Biasanya mereka berangkat menuju Merak malam hari supaya tidak melewati sekitar Palembang saat malam hari. Kalau lewat sana saat malam hari, banyak yang mengajak berantem. Saya mengusulkan agar memberikan diskon pada siang dan menaikkan harga waktu malam.
Ancaman begal di kampung halaman Anda, ya?
Sebenarnya lebih dekat ke Lampung, ha-ha-ha....
Pelabuhan Merak akan tertutup bagi angkutan barang selama mudik?
Kami pindahkan truk-truk angkutan barang ke pelabuhan lain, seperti Pelabuhan Bojonegara, Serang, dan Pelabuhan Indonesia II, Banten. Kami pun menyediakan kapal TNI Angkatan Laut untuk mengangkut pemudik dengan sepeda motor dari Pelabuhan Tanjung Priok ke Pelabuhan Panjang, Bandar Lampung. Kapasitasnya sekitar 500 motor dan 700 orang dan bisa sepuluh kali bolak-balik sejak H-10 Lebaran.
Jalan tol Bakauheni-Palembang sudah bisa digunakan?
Sudah bisa dipakai secara fungsional karena sudah disemen. Kami meminta rest area-nya dirampungkan.
Anda sampai menggelar rapat dengan kepala dinas perhubungan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Tahun lalu rapat itu dilakukan Direktur Jenderal Perhubungan Darat. Mengapa Anda sampai turun langsung?
Terkait dengan jalan tol itu tadi. Karena jalan tol sudah jadi, pergerakan pemudik melalui jalur darat pasti besar. Saya sendiri, kalau tidak ada tugas, akan mudik lewat jalur darat juga. Pengalaman mudik lebih menyenangkan lewat darat. Jadi, kalau saya tidak bertemu dengan mereka, mungkin mereka tidak aware. Saya kan juga akan keliling saat arus mudik nanti, ke Tegal, Pemalang, dan sebagainya. Karena saya sudah pernah ke sana dan bertemu dengan mereka, hubungan emosionalnya pasti berbeda.
Kapan Anda mulai turun ke lapangan?
Dua minggu sebelum Lebaran, kami akan inspeksi ke beberapa tempat. Saya juga akan menempatkan pejabat eselon I saya di wilayah-wilayah yang kritis. Di Cirebon dan sekitarnya, saya akan menempatkan Direktur Jenderal Perhubungan Darat. Di Banten, saya akan menempatkan Sekretaris Jenderal. Sementara itu, di Jawa Timur, saya akan menempatkan Direktur Jenderal Perhubungan Laut. Di wilayah-wilayah yang kritis itu, saya juga akan meminta Badan SAR Nasional menaruh helikopternya. Jadi, kalau ada apa-apa, kami bisa bereaksi dengan cepat.
Anda berjaga di mana?
Sebelum Lebaran sampai H-1, saya berkeliling. Cirebon, Semarang, dan seterusnya. Setelah hari-H juga berkeliling. Jadi saya berlebaran di hari pertama Idul Fitri saja. Mau ke Istana Presiden, open house.
Tidak berlebaran bersama keluarga?
Keluarga saya ajak. Jadi siangnya saya berkeliling, malamnya bisa berkumpul di hotel, he-he-he....
Budi Karya Sumadi
Tempat dan tanggal lahir: Palembang, 18 Desember 1956
Pendidikan: SMP Negeri 1 Palembang (1972), SMA Xaverius Palembang (1975), Sarjana Teknik Arsitektur Universitas Gadjah Mada (1981)
Karier: Menteri Perhubungan (2016-sekarang), Direktur Utama PT Angkasa Pura II (2015-2016), Direktur Utama PT Jakarta Propertindo (2004-2013), Direktur Utama PT Pembangunan Jaya Ancol (2004-2013), Komisaris PT Philindo (2001-2013), Direktur Keuangan PT Pembangunan Jaya Ancol (2001-2004), Direktur Keuangan PT Taman Impian Jaya Ancol (2001-2004), Presiden Direktur PT Wisma Jaya Artek (1996-2001)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo