Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
POLEMIK kembali ke Trunojoyo, Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia. Mirip peristiwa pada 2001 ketika Presiden Abdurrahman Wahid memaksakan pelantikan Komisaris Jenderal Chaerudin Ismail menjadi Kepala Polri tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan tanpa disertai acara penyerahan tongkat komando. Tapi kali ini lebih membingungkan. Komisaris Jenderal Badrodin Haiti menggantikan Kepala Polri Jenderal Sutarman tanpa acara penyerahan tongkat komando, tapi dia bukan sebagai Kepala Polri, bukan juga sebagai pelaksana tugas. "Kepresnya bukan plt (pelaksana tugas), melainkan menugasi Wakil Kepala Kepolisian untuk melaksanakan wewenang Kepala Kepolisian," kata Badrodin.
Penugasan Badrodin dilakukan karena Presiden Joko Widodo menunda pengangkatan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Polri. Penundaan diputuskan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Budi sebagai tersangka dalam kasus dugaan penerimaan gratifikasi ketika menjabat Kepala Biro Pembina Karier Markas Besar Polri pada 2003-2006.
Kini Badrodin menghadapi dua tantangan besar. Yang pertama adalah konsolidasi internal kepolisian yang sedang porak-poranda dan yang kedua ialah mendampingi koleganya, Budi Gunawan, yang sedang terbelit masalah hukum. Ada ketakutan bahwa peristiwa dramatis berikutnya adalah terulangnya kejadian "cicak versus buaya": polisi akan kembali mengkriminalkan pemimpin KPK sebagai tindakan balas dendam.
Dalam wawancara dengan tim Tempo di ruang kerjanya di lantai dua Gedung Rupatama Markas Besar Polri, Rabu pekan lalu, Badrodin menjamin bahwa ia bersih dari dugaan transaksi mencurigakan di rekeningnya. Pada 2010, namanya masuk laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai salah satu petinggi Polri pemilik rekening mencurigakan. "Dalam penyelidikan Badan Reserse Kriminal, rekening saya tidak bermasalah," ujarnya.
Badrodin terlihat sedikit lesu. Dia sesekali mengembuskan napas berat. Ia seperti memikirkan sesuatu yang sangat penting sehingga kadang terlihat seperti termenung tanpa ekspresi. "Berat. Saya jarang istirahat. Jam dua pagi tidur, jam empat sudah bangun. Saya lebih memilih ke Poso lagi saja," katanya.
Kabarnya, pencalonan Anda sebagai pengemban tugas Kepala Kepolisian RI adalah keinginan Ketua Umum Partai Nasional Demokrat Surya Paloh?
Saya tidak tahu. Kalau ada yang mensponsori, bisa saja begitu. Saya pensiun tahun depan. Kompolnas (Komisi Kepolisian Nasional) bilang yang diajukan menjadi calon Kepala Kepolisian itu yang sisa pensiunnya masih dua tahun.
Pernah bertemu khusus dengan Surya Paloh dalam waktu dekat ini?
Saya bertemu dengan dia di acara pelantikan Watimpres (Dewan Pertimbangan Presiden). Tidak pernah ada sesi khusus.
Anda kurang ngetop dibanding Budi Gunawan, yang memiliki kedekatan dengan tokoh politik sekaliber Megawati Soekarnoputri (Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan). Anda sebenarnya dekat dengan tokoh politik yang mana?
Saya dekatnya dengan Tuhan, he-he-he. Sehari lima kali hubungan saya ke Tuhan. Dengan istri saja belum tentu lima kali menelepon dalam sehari.
Enggak minder melihat anak buah (Budi Gunawan) memiliki sokongan Presiden dan ketua umum partai besar?
Apanya yang harus dipermasalahkan? Bagus, dong. Malah bisa kami manfaatkan. Misalnya kalau kami kurang anggaran, ha-ha-ha. Namanya juga usahe. Kan, boleh saja. Apa salah?
Polisi tidak merasa sedang diobrak-abrik oleh partai politik?
Kita tidak tahu latar belakang situasi ini apa. Yang pasti, penetapan Kepala Kepolisian adalah hak Presiden. Pak Tarman sudah dipanggil Presiden untuk diberi tahu bahwa dia akan diganti. Kemudian ia ditawari menjadi duta besar. Namun Pak Tarman memilih bertani.
Sebenarnya status Anda apa: pelaksana tugas atau apa?
Di dalam tugas, Wakil Kepala Kepolisian melaksanakan tugas Kepala Kepolisian manakala Kapolri berhalangan. Itu tugas rutinnya. Maka kalau tidak ada kepres (Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2015) pun sebenarnya bisa jalan. Namun, supaya tidak ada keraguan dan tidak ada salah penafsiran, dibuat kepres itu. Isinya penugasan Wakil Kepala Kepolisian untuk melaksanakan tugas dan wewenang Kepala Kepolisian, bukan pengangkatan.
Artinya bukan pelaksana tugas?
Kalau dibuat plt (pelaksana tugas) malah tidak ada penjabaran tugasnya. Memang di Undang-Undang Kepolisian ada pengaturan tentang plt, tapi seberapa besar tugasnya tidak ada ketentuan yang mengatur. Nah, biar tidak simpang-siur dan tugasnya sama dengan tugas Kepala Kepolisian, dikeluarkanlah kepres ini.
Jadi ini semacam Wakil Kepala Kepolisian yang diperkuat?
Iya. Kalau Kepala Kepolisian sedang sakit atau tugas dinas yang lama, otomatis wakilnya yang mengemban tugasnya. Wewenang saya saat ini 100 persen sama dengan Kepala Polisi.
Tapi Anda menjadi Kepala Kepolisian yang tanpa tongkat komando dan pangkat bintang empat?
Enggak ada tongkat, memang. Mirip Pak Chaerudin (Ismail). Meski tanpa tongkat komando, saya bisa melakukan penggantian orang, termasuk mengerahkan pasukan. Dengan bintang tiga saja cukup.
Menurut kepres, sampai kapan masa tugas Anda?
Berlaku sampai dilantiknya Kepala Kepolisian definitif. Kalau besok misalnya Pak Budi (Gunawan) dilantik, selesai tugas saya dan kembali lagi menjadi Wakil Kepala Kepolisian biasa.
Kapan Anda tahu bahwa Anda akan mengemban tugas Kapolri?
Tanggal 16 Januari 2015, hari Jumat. Pada Kamis, sehari sebelumnya, saya ikut berdiskusi apa jalan yang harus digunakan, apakah dengan menetapkan plt Kapolri yang harus mendapat persetujuan ke Dewan atau cara yang lain. Saat itu diambil jalan tengahnya, yaitu tidak menggunakan istilah plt dan memberhentikan Kepala Kepolisian yang lama sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI.
Itu diskusi antara Anda dan siapa?
Bukan diskusi sebenarnya, melainkan ditanya oleh Presiden dan Wakil Presiden. Ketika itu juga ada Pak Budi Gunawan.
Sebenarnya apa pangkal masalah pengangkatan Kapolri menjadi ruwet?
Kalau ada Kapolrinya, sebenarnya saya tidak ruwet. Mau yang lama atau yang baru, tak jadi masalah. Sebetulnya ini terkait dengan politik, ya terkait dengan hukum. Politik pasti sarat kepentingan. Kalau hukum sarat penafsiran, sehingga ini jadi polemik.
Normalnya proses pencalonan Kapolri bagaimana?
Sesuai dengan undang-undang, Komisi Kepolisian memberi saran dan pertimbangan tentang pengangkatan dan pemberhentian Kepala Kepolisian. Kapolri sendiri bisa diajak konsultasi, kemudian mengusulkan satu-dua nama. Dulu Pak Timur (Pradopo) dan Pak BHD (Bambang Hendarso Danuri) juga mengajukan nama. Walaupun Presiden belum tentu memilih pilihan mereka.
Apakah ada rekomendasi dari Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti) Polri untuk nama-nama calon Kepala Kepolisian?
Untuk nama calon Kepala Kepolisian tidak datang dari Wanjakti. Itu hak prerogatif presiden. Hanya, pada pemilihan Kepolisian 2013, memang Kompolnas menanyakannya. Kalau yang kemarin (Budi Gunawan) tidak ada tahapan seperti itu.
Jadi siapa yang mempercepat proses ini sampai ada beberapa tahapan yang biasanya dilalui tapi kali ini tidak dilakukan?
Sebetulnya tahapan-tahapan itu bukan satu keharusan karena memang belum ada perpres (peraturan presiden) tentang prosedur dan mekanisme pengangkatan Kepala Kepolisian.
Kapan Wanjakti mengusulkan Budi Waseso sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal?
Dua hari lalu (Selasa, 20 Januari 2015). Paginya proses di Wanjakti, sorenya diputuskan. Suhardi (Alius) sendiri menghendaki cepat. Dia bilang di luar sudah ramai. Media bahkan sudah memberitakan ada serah-terima segala, sehingga dia minta supaya dipercepat saja.
Anehnya, kenapa Suhardi sendiri yang meminta dicopot?
Ya, tanyakan saja ke dia. Kenapa Anda bertanya ke saya?
Apakah pernah ada sebelumnya proses penggantian sebuah jabatan di Kepolisian RI secepat itu?
Pernah. Bahkan dilakukan di ruangan Kapolri.
Apa yang membuat Budi Waseso dianggap layak menjadi Kepala Bareskrim?
Tentu ada pertimbangannya. Sebetulnya semua bintang dua layak. Cuma, mana yang lebih proper (kinerjanya) kita pertimbangkan. Sangat tergantung juga dari tanggapan di Wanjakti.
Tapi bukankah ada peraturan yang mensyaratkan Kepala Bareskrim harus pernah mengepalai kepolisian daerah tipe A, sementara Budi Waseso belum?
Tidak ada. Dulu malah ada Kepala Kepolisian yang belum pernah jadi kapolda.
Publik bertanya-tanya karena Budi Waseso adalah anak buah Budi Gunawan di Lembaga Pendidikan Polri. Apakah ini menjadi jalan tengah atau kebetulan saja dia diangkat menjadi Kepala Bareskrim?
Tidak juga. Sebetulnya ada beberapa bintang dua yang jadi pertimbangan. Tapi kami melihat mana yang bisa diterima.
Soal penggantian Suhardi Alius dikaitkan dengan pengkhianatan. Budi Waseso sendiri yang mengatakan itu.
Informasi itu sudah ditindaklanjuti dan sedang diselidiki oleh Propam (Profesi dan Pengamanan). Kalau memang betul, akan ada mekanisme untuk diminta pertanggungjawabannya (Suhardi).
Pengkhianatan itu seperti apa?
Justru itu. Nanti hasil penyelidikan Propam yang menentukan. Kami juga menanyakan ke Budi Waseso apa bentuk pengkhianatannya. Suhardi Alius juga hari ini sudah dimintai keterangan oleh Propam.
Apa sih yang dianggap pengkhianatan Suhardi?
Ada data rahasia yang mungkin bocor keluar. Data ini dilindungi undang-undang, sehingga tidak bisa data itu keluar. Kalau sampai keluar, itu artinya ada pelanggaran hukum.
Data apa?
Data hasil penyelidikan.
Itu penyebab utama Suhardi Alius dicopot dari jabatannya?
Bukan. Kalau soal penggantian, memang karena kami memerlukan dia di Lemhannas (Lembaga Ketahanan Nasional). Karena yang di Lemhannas itu mau kami carikan tempat yang lain.
Benarkah ada perang bintang di lingkup internal Polri?
Saya tidak tahu yang dimaksud perang bintang yang bagaimana.
Persaingan antarjenderal.
Di dalam tidak terasa. Di media saja yang ramai.
Bukankah solidaritas per angkatan di kepolisian begitu kuat-sehingga wajar menimbulkan persaingan?
Hanya solidaritas. Tapi masih tetap mengutamakan profesionalitas.
Menurut Anda, apakah Budi Gunawan bisa lolos dari jerat hukum?
Kami akan menghormati proses hukum. Sebagai polisi, Pak Budi akan diberi bantuan hukum oleh Kepolisian RI. Intinya, langkah yang ditempuh dan pembelaannya harus sesuai dengan koridor hukum. Tidak boleh melakukan tindakan di luar itu. Perintah saya jelas. Ke semua anggota, saya sampaikan seperti itu.
Memangnya apa kekhawatiran Anda sampai menggarisbawahi soal itu?
Pasukan polisi itu banyak, jadi kami harus memberi penegasan.
Yang melayangkan gugatan praperadilan terkait dengan penetapan status tersangka itu murni dari Budi Gunawan?
Itu hak dia sebagai tersangka, bukan institusi. Saya bingung, di media kok terkesan institusi yang mengajukan?
Ketika Budi Gunawan menjalankan haknya sebagai individu, apakah pengacara dari Kepolisian akan mendampingi juga?
Tetap mendampingi. Selama itu dalam koridor hukum, ya, wajib.
Kalau Budi melaporkan dua pemimpin KPK-Abraham Samad dan Bambang Widjojanto-ke Kejaksaan Agung, itu termasuk bagian pendampingan Kepolisian RI?
Itu hak individu. Pasti didampingi. Selama dia melaksanakan hak-haknya dalam koridor hukum, ya, wajib didampingi.
Kenapa sih Budi Gunawan tidak dicopot saja dulu dari posisinya yang sekarang sebagai Kepala Lembaga Pendidikan?
Sudah kami pikirkan itu. Kalau proses hukumnya mengganggu pelaksanaan tugas, tentu akan kami rapatkan kembali.
Dari kacamata penegak hukum, apakah bukti yang menunjukkan bahwa Budi Gunawan menerima banyak setoran dari kolega, seperti kolonel, merupakan bukti kuat?
Lihat dulu hubungannya apa. Kalau hubungan keperdataan, misalnya pernah punya utang, terus bayar, itu tidak jadi masalah, tidak ada pidananya. Kita tidak bisa menduga-duga adanya gratifikasi hanya dengan melihat aliran uang itu. Bisa saja pinjam-meminjam uang sewaktu dia susah dulu, kemudian belakangan dia bayar.
Kalau perdata, lalu lintas uang Budi Gunawan itu kok bertubi-tubi, dan banyak sekali, dari berbagai macam orang, bahkan memakai identitas tidak asli?
Saya tidak tahu faktanya.
Aliran uang di rekening Budi Gunawan sebesar Rp 5,5 miliar bertepatan dengan perpindahan Inspektur Jenderal Firman Gani (Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur) ke Polda Metro Jakarta Raya. Diduga Firman meminta Budi merekomendasikan pemindahannya.
Persoalannya, apakah dia (Budi) orang yang menentukan? Kan, ada Wanjakti. Kepala Biro Pembinaan Karier itu salah satu saja. Ada yang lain-lain juga, yang pangkatnya bintang tiga dan dua. Dia (Budi) kan saat itu hanya bintang satu. Intinya, Budi bukan satu-satunya yang menentukan.
Ada kecemasan bahwa "cicak versus buaya" akan terjadi lagi jika Budi Gunawan dipanggil KPK. Bisa saja dia berkeras tidak datang atau bahkan melawan.
Saya pikir tidak akan ada "cicak versus buaya" lagi. Istilah itu kan dari media saja.
Bukannya istilah itu muncul dari bekas Kepala Bareskrim Susno Duadji?
Lha, barusan tadi Pandu (Adnan Pandu Praja, pemimpin KPK) datang ke sini (kantor) untuk mengantar surat panggilan. Tapi, pada saat yang sama, kami juga membicarakan kerja sama dan supervisi di daerah.
Surat panggilan untuk Budi Gunawan?
Untuk saksi-saksinya. Jadi sudah kami buat surat agar mereka (saksi) datang. Tapi kalau ada yang sakit kan tidak bisa dipaksa.
Jadi Anda menjamin tidak akan ada penghalangan dari polisi untuk kasus Budi Gunawan?
Secara dinas, tidak ada. Sudah kami buatkan surat yang memerintahkan mereka datang. Termasuk untuk Budi sendiri, kalau dia dipanggil KPK.
Kabarnya ada pembentukan tim Mabes Polri untuk mengkriminalkan pimpinan KPK?
Saya sih tidak membentuk tim itu. Di Bareskrim mungkin bisa saja terjadi. Tapi itu bukan kriminalisasi. Masak, mengadu ke Kejaksaan Agung dianggap kriminalisasi?
Tim ini bertujuan menyelidiki kesalahan pimpinan KPK?
Tidak ada. Saya jamin tidak ada. Bukan itu yang saya maksud tadi. Tim pembelaan Pak Budi memang ada. Dibentuk oleh siapa, saya tidak tahu. Kan, ada divisi hukum, yang mungkin melibatkan Bareskrim untuk pendukung, misalnya dalam hal dokumen.
Pada 2010, Bareskrim juga memeriksa Anda karena rekening yang mencurigakan. Prosesnya saat itu seperti apa?
Ada LHA (laporan hasil analisis) dari PPATK yang diserahkan ke Kepolisian. Dulu, menurut undang-undang, laporan itu diserahkan hanya kepada polisi dan jaksa. Belum ada aturan diserahkan ke KPK. Karena amanat undang-undang, polisi menyelidikinya. Apakah transaksi di dalamnya benar atau salah atau ada unsur pidananya, itu yang ditelaah penyidik.
Contoh, saya punya rekening yang sering disebut oleh Tempo (membeli polis asuransi PT Prudential Life Assurance dengan premi Rp 1,1 miliar; disebutkan dana tunai pembayaran premi berasal dari pihak ketiga). Saya beli polis asuransi, uang pembeliannya itu sebesar Rp 1,1 miliar. Pada 2008, istri saya habis sakit Stevens-Johnson syndrome, penyakit alergi obat berat. Nah, untuk jaga-jaga keluarga, akhirnya kami membeli asuransi yang bisa memproteksi semua anggota keluarga.
Polis asuransi itu dibayar oleh siapa?
Istri saya, yang baru mencairkan deposito. Untuk membayar polis suami, dia hanya tanda tangan dan menuliskan nomor telepon. Karena tidak disebutkan nama dan pengirimnya, orang menduga polis itu dari pihak ketiga. Saya pernah menunjukkannya ke KPK pada 2013 dan penyelidik polisi. Yang seperti ini kan tidak ada unsur pidana. LHA itu hanya mencurigai, belum tentu pidana.
Uang sebesar itu dari mana? Tabungan atau ....
Deposito istri. Ada kejelasannya. Jurnal pekerjaan dan laporan perusahaannya juga ada. Dulu istri saya bekerja sama dengan bank properti. Hasilnya clear, karena buktinya jelas.
Kekayaan Anda berapa sekarang?
Kan, sering ditulis di koran. Nanti dua tahun lagi saya lapor. Saya ini rajin, sudah lima kali membuat LHKPN (laporan harta kekayaan penyelenggara negara), sehingga semua bisa tahu.
Sebenarnya boleh tidak sih polisi aktif membantu tim sukses calon presiden sampai ikut menyusun visi dan misi?
Memangnya dia (Budi Gunawan) bantu?
Itu dinyatakan oleh Ketua DPP PDIP bidang hukum dan hak asasi manusia, Trimedya Panjaitan.
Kalau sumbangan pemikiran, boleh saja. Kalau terlibat aktif, tidaklah.
Di media sosial, ada foto Anda dengan Philip Surya alias Asiong, pemilik perusahaan eksportir timah bernama Serumpun Sebalai dan Tirus Putra Mandiri. Itu benar foto Anda?
Foto itu mungkin ketika pelantikan di Baharkam (Badan Pemeliharaan Keamanan) dulu (2013). Jadi waktu itu yang mengucapkan selamat banyak.
Ada juga foto Anda dengan anak Asiong, yang bernama Frederick Surya.
Saya tidak kenal dia (Asiong). Begitu juga anaknya.
Apakah Anda memiliki bisnis timah di Bangka Belitung?
Tidak. Saya belum pernah ke Bangka Belitung.
Sebagai pengemban tugas Kepala Polri, ada target tertentu kasus besar apa yang akan segera Anda ungkap sebagai gebrakan?
Komitmen kami memberantas korupsi, narkotik, dan terorisme. Itu prioritas. Akan kami adakan operasi pembersihan calo pada pelayanan polisi, seperti SIM (surat izin mengemudi). Kemudian saya akan melakukan konsolidasi internal untuk menghadapi situasi sekarang. Jangan sampai tugas rutin terganggu. Itu yang harus dijaga.
Omong-omong, saat perpisahan Kepala Polri Sutarman, kenapa Budi Gunawan tidak ada?
Dia sakit. Sampai diinfus, kabarnya. Saya tidak tahu sakitnya apa. Namanya berhari-hari kurang istirahat.
Badrodin Haiti Tempat dan tanggal lahir: Paleran, Umbulsari, Jember, Jawa Timur, 24 Juli 1958, Pendidikan: Lembaga Ketahanan NasionalRepublik Indonesia (2003), Sekolah Staf Pimpinan Polri (1998), Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (1989), Akademi Kepolisian (1982), Karier: Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia yang melaksanakan tugas Kepala Polri (2015), Wakil Kepala Polri (2014), Kepala Badan Pemelihara Keamanan Polri (2013-2014), Asisten Operasi Kepala Polri (2011-2013), Staf Ahli Kepala Polri (2011), Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur (2010-2011), KepalaDivisi Hukum Markas Besar Polri (2010), Kepala Polda Sumatera Utara (2009-2010), Direktorat Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Polri (2008-2009), Kepala Polda Sulawesi Tengah (2006), Sekretaris Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri (2005), Kepala Polda Banten (2004), Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Kepolisian Daerah Jawa Tengah (2004), Direktorat Reserse Kriminal Polda Jawa Timur (2003), Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Medan (2000), Kepala Kepolisian Resor Probolinggo, Malang, Jawa Timur (1999) |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo