Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMAKIN sulit memahami Presiden Joko Widodo dalam mengisi jabatan-jabatan strategis di pemerintahannya. Sebagai presiden, ia punya hak prerogatif. Pada masa kampanye, ia selalu mengatakan dalam memilih pembantunya tak akan ada transaksi. Ia juga berjanji akan lebih mementingkan kalangan profesional daripada partai.
Dalam kenyataannya, jauh panggang dari api. Pengangkatan menteri, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian RI, dan kini anggota Dewan Pertimbangan Presiden, sebagian besar titipan partai politik. Bahkan Kapolri, yang dicalonkan dan sudah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat, bermasalah sampai kini, membuat gaduh jagat politik.
Sesuai dengan undang-undang, Presiden punya waktu tiga bulan untuk memilih anggota Dewan Pertimbangan Presiden yang berjumlah sembilan orang. Jokowi baru mengumumkan pada saat-saat akhir, terkesan sangat berhati-hati dan seolah-olah menerima masukan dari berbagai pihak. Namun orang tersentak, ternyata dari sembilan orang yang dilantik, enam dari partai politik.
Tiga yang di luar partai politik adalah Sri Adiningsih, ekonom dari Universitas Gadjah Mada; Hasyim Muzadi, Wakil Ketua Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama; serta Abdul Malik Fadjar, Ketua Muhammadiyah yang pernah menjadi Menteri Agama dan Menteri Pendidikan. Sri Adiningsih, mantan anggota tim ekonomi PDI Perjuangan, terang-terangan diajukan oleh Megawati Soekarnoputri, sedangkan Hasyim Muzadi anggota tim sukses Jokowi ketika pemilihan presiden. Dengan demikian, hanya Malik Fadjar yang "tak punya jasa" pada pemilihan presiden yang lalu. Jadi, ada tujuh anggota titipan, satu untuk balas jasa, dan satu lagi untuk pemantas: kalau NU ada, Muhammadiyah sebaiknya ada.
Presiden Jokowi tak bisa berkutik menghadapi calon yang disodorkan partai pendukungnya. Ia pasrah dan menerima "nasi bungkus" apa adanya. Itu terlihat dari ikut dilantiknya Jan Darmadi, Ketua Majelis Tinggi Partai NasDem. Jan Darmadi lebih dikenal sebagai pengusaha properti yang kini tak begitu sukses. Tapi ia pernah sukses besar sebagai "Raja Judi" di masa Gubernur Ali Sadikin.
Cara Jokowi memilih anggota Dewan Pertimbangan ini menuai banyak protes. Meskipun tugas Dewan hanya memberikan pertimbangan—diminta atau tidak—dan kedudukannya di bawah presiden, seharusnya Jokowi memanfaatkan lembaga ini untuk lebih memantapkan kinerjanya. Jangan sampai lembaga yang dihasilkan oleh amendemen Undang-Undang Dasar 1945 ini hanya embel-embel. Jokowi seharusnya membuat lembaga ini berwibawa dan diisi oleh negarawan pemikir yang berwawasan.
Semestinya Jokowi meminta masukan berbagai pihak sehingga betul-betul mendapatkan tokoh yang mumpuni dan bisa memberi masukan baginya untuk menjalankan tugas kepresidenan, bukan tokoh asal-asalan untuk menyenangkan partai politik. Presiden seharusnya menempatkan pakar hukum dan pemerintahan dalam lembaga ini. Kehadiran pakar dari dua bidang itu sangat penting, apalagi dua bidang itu jadi titik lemah di Kabinet Kerja saat ini.
Memang agak sulit memahami mengapa Presiden Jokowi mudah melupakan janji-janji kampanyenya untuk mencari pembantu yang "tanpa syarat" dan "bukan bagi-bagi jatah". Apakah tekanan partai pendukung Jokowi demikian tajam? Apakah balas jasa harus dilakukan dengan memberi jabatan? Sudah berkali-kali Jokowi melakukan "salah pilih", tapi berkali-kali pula, baik lewat pembantunya maupun secara langsung, terkesan ngeyel untuk membelanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo