Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Siapa Alpa di AirAsia

Sejumlah peralatan penting pesawat AirAsia terindikasi rusak sebelum jatuh. Akibat lemahnya pengawasan.

26 Januari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH selayaknya Komite Nasional Keselamatan Transportasi menelisik semua kemungkinan penyebab kecelakaan pesawat AirAsia PK-AXC QZ8501, yang jatuh di Selat Karimata, 28 Desember tahun lalu. Kotak hitam yang berisi rekaman pembicaraan di kokpit pesawat selama penerbangan sudah ditemukan. Patut pula ditelusuri seperti apa kondisi pesawat Airbus 320 yang diproduksi pada 2008 itu dalam sebulan terakhir.

Temuan majalah ini menunjukkan telah terjadi kerusakan sejumlah komponen penting pesawat. Dokumen pemeriksaan rutin yang dilaporkan pilot mencatat sistem kemudi otomatis pada bagian belakang pesawat (auto-flight rudder travel limiter) bermasalah sejak 12 Desember 2014.

Kerusakan lain terjadi pada bagian alat kemudi naik-turun pesawat (elevator actuator model). Indikasi kerusakan diperoleh dari data yang dicatat radar air traffic control. Radar merekam pesawat AirAsia sempat naik 5.700 kaki dalam 45 detik sebelum turun lagi. Kecepatan naik ini tidak normal karena melebihi kemampuan pesawat tempur, yang membutuhkan waktu satu menit untuk naik ke ketinggian 6.000 kaki.

Dengan sejumlah temuan penting itu, seharusnya pesawat AirAsia tidak diizinkan terbang. Kenyataannya, maskapai bertarif murah ini tetap mendapat sertifikat terbang dari petugas pengawas Direktorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara. Tak ada catatan yang memastikan perlunya perbaikan peralatan yang rusak.

Dalam menjalankan tugasnya, Direktorat Kelaikan Udara menempatkan dua pegawainya, masing-masing sebagai pengawas operasi (principal operation inspector) dan pengawas mekanik (principal maintenance inspector), di setiap maskapai penerbangan. Apa lacur, dua personel ini diketahui tak becus bekerja. Karena kekurangan pegawai, Direktorat mempekerjakan petugas yang tidak memenuhi klasifikasi teknis yang dipersyaratkan.

Bukan hanya soal sumber daya manusia, hasil pengawasan kerap penuh tipu-tipu. Praktek sulap hasil pengawasan lazim dilakukan. Sejumlah insiden yang terjadi dalam penerbangan Indonesia selama ini bisa menjadi petunjuk betapa permainan gelap itu sudah lama terjadi. Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) dalam auditnya pada Mei 2014 memberikan skor merah karena tingginya tingkat ketidaksesuaian regulasi dengan pelaksanaan pengawasan kelaikan pesawat di Indonesia.

Menteri Perhubungan Ignasius Jonan harus menjatuhkan sanksi keras jika hasil investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi nantinya menemukan unsur kelalaian pengawas AirAsia. Selanjutnya, Menteri Jonan harus total membenahi Direktorat Perhubungan Udara. Posisi strategis di bidang pengawasan kelaikan pesawat mesti diisi orang-orang yang berpengalaman dan memiliki latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang yang dikerjakan. Tanpa hal itu, kecelakaan penerbangan bukan tidak mungkin terulang kembali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus