Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada perubahan interior di ruang kerja Menteri Agama. Kamar itu tetap didominasi warna putih tulang dan cokelat, dengan beberapa lukisan kaligrafi di kanan-kiri tembok. Satu-satunya perubahan adalah orang yang menempati ruangan itu. "Saya tidak sempat ganti-ganti interior. Duduk saja jarang," kata Lukman Hakim Saifuddin, yang baru tiga pekan menggantikan Suryadharma Ali-yang jadi tersangka kasus dana haji.
Jadwal yang padat dan berkas dokumen yang harus ditandatangani yang menumpuk di mejanya membuat Lukman merasa diperas waktu. "Rasanya tahu-tahu sudah sore atau malam," ujarnya. Masa tugasnya yang hanya empat bulan dia anggap tidak mudah. Lukman mengibaratkan dirinya masuk hutan belantara yang semrawut dan sedang membabat pohon demi pohon untuk mencari jalan keluar.
Salah satu kesemrawutan itu adalah penyelenggaraan haji. Sudah bukan rahasia bahwa pengelolaan ibadah haji, dari penggunaan dana setoran awal jemaah hingga pemilihan pemondokan dan katering di Tanah Suci, jadi lahan bisnis basah para pemburu rente. Jumlah dana haji yang dikelola kementerian ini memang menggiurkan, Rp 70 triliun. Belum ditambah Dana Abadi Umat Rp 2,4 triliun. Kementerian Agama juga tercatat sebagai kementerian dengan anggaran terbesar ketiga, yaitu Rp 49,582 triliun. Setelah dua kali menolak pinangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk bergabung dengan kabinet, kali ini Lukman merasa tak bisa menghindar. "Kalau saya tolak, mudaratnya lebih besar," katanya.
Pada hari-hari awal menjabat, Lukman berinisiatif berkunjung ke berbagai instansi dan orang yang dia hormati, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi serta tokoh agama, seperti Kiai Haji Ahmad Mustofa Bisri, Kiai Haji Salahuddin Wahid, dan Kiai Haji Maimun Zuber. "Saya meminta masukan," ucapnya.
Di sela jadwal yang ketat, Selasa pagi pekan lalu, Lukman meluangkan waktu menemui Nugroho Dewanto, Heru Triyono, dan fotografer Wisnu Agung Prasetyo dari Tempo. Mengenakan batik lengan panjang, dia menjawab pertanyaan dengan runtut dan lugas.
Apa yang bisa Anda kerjakan dalam waktu hanya empat bulan di Kementerian Agama?
Presiden minta saya berfokus di penyelenggaraan haji karena waktunya mepet. Setelah saya masuk beberapa hari, ternyata persoalannya tidak hanya di haji. Ada masalah lain, seperti kerukunan antarumat beragama dan pendidikan.
Lalu apa yang Anda lakukan?
Pertama, saya memotivasi pegawai yang kini mengalami demoralisasi. Saya menggelar rapat koordinasi untuk semua pejabat eselon I dan II. Saya ingatkan bahwa publik menyoroti. Penekanan itu agar mereka amanah. Jangan mengecewakan masyarakat lagi-yang selama ini menganggap pegawai di sini adalah manusia sempurna.
Apa maksud manusia sempurna?
Persepsi publik telanjur terbentuk yang ada di sini adalah manusia sempurna karena ada agama melekat di situ. Publik anggap kami mengerti agama-dan percaya pegawai tidak mungkin melakukan perbuatan tercela. Karena itu, ketika ada kesalahan terjadi, kekecewaan publik menjadi berlipat karena bertolak belakang dengan anggapan mereka. Sekarang kepercayaan masyarakat mungkin ada di titik terendah dalam sejarah Kementerian Agama.
Kabarnya Anda sempat menghindar agar tidak ditawari jabatan ini. Mengapa?
Iya. Pada dasarnya saya merasa kalau masih ada yang lebih tepat untuk sebuah jabatan sebaiknya jangan saya.
Kok, akhirnya menerima?
Karena saya berada dalam posisi yang tidak mungkin lagi menolak. Setelah ditimbang, mudaratnya lebih besar kalau saya tolak.
Sebelumnya Anda pernah ditawari jadi menteri?
Pada 2009 dan saat reshuffle kabinet. Tapi kalau dulu enak menolak, tanpa beban, karena ada pilihan lain yang lebih pas. Kali ini darurat dalam kondisi yang tidak normal.
Kembali ke soal haji. Langkah perbaikan apa yang sudah Anda lakukan?
Pada hari kedua menjabat, saya datangi Komisi Pemberantasan Korupsi karena mereka punya temuan dan intensif mendalami kasus haji. Pekan depan saya juga akan ke Indonesia Corruption Watch untuk meminta masukan. Pengawasan haji di bawah saya akan lebih ketat. Saya menegaskan itu juga ke Inspektorat Jenderal untuk mengembalikan kepercayaan publik. Kebetulan Pak Jasin (Inspektur Jenderal Kementerian Agama) memiliki semangat yang sama.
Kesemrawutan pengelolaan haji begitu masif, dari pengelolaan dana haji, penempatan uang haji di bank, pengangkutan jemaah, pemondokan, sampai katering....
Syukurnya, saya pernah lima tahun di komisi yang membidangi agama. Saya juga pernah menjadi petugas haji non-kloter pada 1990. Saya dua bulan di sana. Pernah juga jadi jemaah biasa dan tim pengawas haji di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Jadi alhamdulillah, terkait dengan haji, saya cukup mengerti.
Kenapa setiap tahun selalu muncul persoalan pemondokan?
Jangan dibayangkan seperti kita menyewa rumah di sini, yang langsung bisa bertemu dengan pemiliknya. Di sana tidak bisa. Rumah dalam bentuk hotel dan bangunan yang terdiri atas ratusan kamar itu dikuasai para broker. Mereka profesi resmi dan terhormat karena berlisensi. Pemiliknya sendiri tinggal di London atau Dubai. Orang kaya di sana sudah tidak tinggal di situ lagi.
Jadi mau tidak mau penyelenggara haji harus berhubungan dengan broker?
Itu tidak terhindarkan. Karena si pemilik sudah memberi kuasa ke broker itu. Dan para broker ini, ketika menawarkan pemondokan, tidak satu per satu, tapi paket. Misalnya 30 rumah. Yang jadi masalah, dari 30 rumah itu, ada 4-5 rumah yang ditawarkan di luar zona markaziyah (hotel atau pemondokan di ring satu dekat Masjidil Haram atau Masjid Nabawi), yang jadi bagian dari paket itu. Memang murah, tapi jauh. Ini jadi dilema tim perumahan kami. Kalau paket ini diambil, akan ada jemaah yang jauh. Kalau tidak, ada negara lain yang mengambil. Kita berebut dengan negara yang jemaahnya juga besar, seperti Iran, Pakistan, dan India.
Seperti mekanisme pasar, ada supply dan demand....
Betul. Broker ini pintar-pintar, tidak mau rugi. Tapi ini yang kemudian oleh Komisi Pemberantasan Korupsi jadi temuan bahwa ada selisih harga-yang diduga penyimpangan.
Bagaimana dengan pemondokan haji 2014? Apakah sudah ada perbaikan dari sebelumnya?
Sekarang mau saya benahi. Itu kan temuan KPK pada 2013. Semoga 2014 tidak akan terulang. Saya minta ke Irjen untuk benar-benar melakukan pengawasan, meski di lapangan tidak mudah. Tapi kita harus kerja lebih untuk mencari pemondokan yang baik.
Mungkinkah di masa depan, dengan dana haji yang besar, Indonesia membeli atau membangun sendiri pemondokan jemaah?
Itu ide lama, yang sampai sekarang tidak bisa direalisasi, karena pemerintah Arab Saudi tidak mengizinkan. Tidak ada satu pun negara yang diizinkan memiliki bangunan sendiri di sana.
Tidak juga dengan kontrak jangka panjang untuk sewa gedung atau rumah?
Sulit. Mau kita, ya, lima tahun sehingga tidak setiap tahun harus negosiasi. Urusan dagang ini, orang Arab lebih pintar. Mereka juga tidak mau diikat jangka panjang. Ada beberapa yang dicoba untuk jangka panjang, tapi jumlah atau daya muatnya kecil sekali. Broker tahu bahwa, terkait dengan biaya, itu fluktuatif, jelas mempengaruhi para broker di sana untuk tidak mau diikat jangka panjang.
Tidak bisakah dilakukan lobi G to G sehingga tidak lagi berhubungan dengan para broker itu?
Tidak.
Bukankah banyak juga hotel internasional bisa berdiri di Madinah dan Mekah? Kenapa kita tidak bisa?
Faktanya seperti itu. Tidak ada negara yang diperkenankan mendirikan bangunan di sana. Kecuali kalau mau modelnya seperti Ali Baba. Artinya ada orang Indonesia yang harus jadi warga negara Saudi dulu, kemudian membeli dan menjadi pemilik sebuah gedung atau hotel. Terus nanti kita pakai untuk jemaah. Tapi konsekuensinya nanti adalah landasan hukum dan lain sebagainya jadi masalah.
Kenapa Indonesia tidak bisa seperti Malaysia, yang mengelola haji dengan tertib, pemondokannya jangka panjang, dan begitu dekat dengan Masjidil Haram dan Nabawi?
Kalau mengkomparasi, harus apple to apple. Jemaah Malaysia hanya 23 ribu jiwa, 10 persen dari jemaah Indonesia. Jadi memang mengurus orang banyak dengan orang sedikit itu berbeda. Tidak ada satu pun negara, militer Amerika sekalipun, punya pengalaman memindahkan jumlah sebanyak jemaah haji Indonesia dari satu negara ke negara lain dalam waktu relatif singkat.
Bagaimana Anda menyikapi temuan Komisi Pemberantasan Korupsi soal dugaan penyelewengan penyelenggaraan haji 2012?
Haji itu dimensi duniawi dan ukhrawi-nya sama tinggi. Misalnya jemaah merasa persoalan haji adalah ujian, dan ini dipersepsi adalah bentuk kepasrahan kepada Tuhan. Maka kalau kita menghadapi masalah ini, ya, sabar, karena bagian dari ujian. Hak kontrol jemaah tidak seperti dalam kondisi normal. Tapi juga, jangan lupa, dimensi duniawinya juga tinggi. Karena semua persoalan haji, mau urusan apa saja, pasti ada uang di situ. Ketika bicara uang, kita tahulah, kemudian sayatin-nya lebih besar daripada malaikatnya.
Bagaimana dengan rencana membentuk lembaga atau badan baru untuk mengelola keuangan haji?
Selama puluhan tahun, penyelenggaraan haji dengan pengelolaan keuangan haji dilakukan di bawah satu direktorat jenderal. Penyelenggaraan haji yang hutan belantara permasalahannya sudah seperti itu, dicampur pula dengan keuangan haji yang hampir Rp 70 triliun. Didasari persoalan itu, pemerintah merasa perlu ada pemisahan supaya ditangani dengan lebih akuntabel dan transparan. Itulah kenapa kemarin, dalam rapat kerja dengan DPR, saya menyampaikan Undang-Undang Pengelolaan Keuangan Haji dan, alhamdulillah, semua fraksi setuju.
Kapan badan baru itu akan terbentuk?
Saya sudah komitmen dengan DPR bisa diselesaikan pada periode saya. Ini ada waktu sekitar tiga bulan.
Siapa orang-orang yang akan ditempatkan di sana?
Pertama, sistem perekrutannya harus transparan-yang sudah diatur dalam undang-undang itu. Sebentar lagi juga akan dibentuk panitia seleksi yang independen untuk memilih orang-orang yang profesional dan kompeten. Bisa akuntan atau ekonom. Badan ini semacam badan layanan umum yang memiliki otonomi sendiri serta ada dewan pelaksana dan pengawasnya. Selain mengatur keuangan haji, badan ini punya kewajiban menginvestasikan dana yang luar biasa besar itu agar manfaat dana tersebut bisa lebih optimal bagi jemaah haji sendiri.
Setiap tahun sisa kuota haji dijadikan rebutan pejabat negara atau pimpinan organisasi kemasyarakatan dan jumlahnya mencapai ribuan kursi....
Sisa kuota selama ini dikembalikan lagi ke provinsi yang bersangkutan. Jumlahnya secara nasional mencapai 2.000-3.000 kursi. Tapi di beberapa provinsi tidak bisa secara optimal terserap habis. Berdasarkan urut kacang, belum tentu yang urutan berikutnya siap juga karena waktunya pendek. Ketika jemaah di urutan berikutnya dihubungi untuk menggantikan, dia belum bisa melunasi uangnya. Maka harus dibawa ke level nasional. Sementara itu, waktu terus berjalan. Akhirnya selama ini oleh Menteri Agama digunakan untuk memenuhi permohonan dari lembaga-lembaga. Dari DPR, ormas Islam, termasuk dari teman-teman pers, banyak juga. Kami punya datanya semua.
Penentuan siapa yang mendapat sisa kuota itu kan rentan melanggar aturan?
Pertimbangannya kalau ini kosong dan tidak digunakan, padahal jumlahnya banyak. Kan, sayang. Padahal pemondokan, katering, dan transportasi sudah dibayar semua. Kalau tidak dipakai, ini jadi inefisiensi. Maka, karena permintaan sangat tinggi, akhirnya diberikan untuk pemohon itu. Toh, mereka juga bayar, tidak gratis. Mereka hanya menggunakan kuota yang kosong.
Mengapa tak dibuat sistem yang transparan lewat televisi atau Internet? Mungkin banyak anggota jemaah yang sanggup melunasi tapi tak tahu karena informasinya tertutup.
Prinsipnya memang harus ada transparansi. Sudah kami buat ketentuannya mengenai prioritas yang berangkat. Selain nomor urut kacang, kami mengutamakan yang lansia (lanjut usia) dan pendampingnya. Jadi ada beberapa kriteria, selain urut kacang itu. Tapi faktanya seperti tadi, belum tentu urutan berikutnya itu siap. Ya, sudah, akhirnya digunakan saja untuk yang minta-minta itu. Tapi kemudian oleh KPK dinilai terjadi penyalahgunaan dan penyimpangan. Padahal saya bisa kok menolak permintaan presiden sekalipun, menteri, dan DPR. Saya akan tetap mendahulukan urutan antrean. Yang jadi masalah, kalau sisa jumlahnya sampai ribuan, saya dituduh inefisiensi nanti.
Kerukunan beragama di Indonesia mengalami rongrongan dari kaum takfiri (kelompok yang gampang mengkafirkan kelompok lain). Apa yang akan Anda lakukan terhadap kelompok ini?
Ini dampak globalisasi. Di Indonesia sendiri Islam lahir dengan warna keindonesiaannya. Itulah kenapa organisasi besar Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah lebih membudaya karena Wali Songo juga seperti itu. Masuknya paham spesifik seperti itu akan menimbulkan benturan. Kami mengajak mereka berdialog. Kita jangan saling menegasikan karena perbedaan mazhab dan pemikiran. Saya yakin di Indonesia masih lebih banyak titik persamaannya ketimbang perbedaannya. Kenapa yang ditonjolkan perbedaannya?
Apa upaya yang bisa dilakukan untuk memoderasi kelompok ini?
Pemuka agama harus bisa menyebarluaskan ajarannya ke hal-hal yang substantif pada esensi agama, yaitu kedamaian dan keselamatan, yang intinya memanusiakan manusia. Perbedaan itu sesuatu yang fitrah, yang memang maunya Tuhan. Sebagai manusia, jangan bertindak melebihi Tuhan dengan ingin menyatukan kita semua. Ini melawan sunatullah.
Apa catatan Anda mengenai kerukunan beragama di Indonesia?
Saya bersyukur relatif baik, meskipun kita tidak boleh menutup mata masih ada percikan di beberapa daerah. Ada Syiah di lingkup internal Islam sendiri, ada juga Ahmadiyah. Toleransi itu harus mengedepankan upaya untuk memahami. Sering kali, kalau kita berbicara toleransi, lebih banyak menuntut agar dipahami. Bagaimana kalau dibalik: kita yang proaktif untuk memahami orang lain.
Kasus-kasus kekerasan lintas agama masih terus terjadi, termasuk soal rumah ibadah....
Agama itu sifatnya keyakinan. Kalau cara pemahamannya berlebihan, bisa menimbulkan persoalan. Namun, bagaimanapun, aturan bermain dalam kehidupan bersama harus dilihat juga. Misalnya terkait dengan rumah ibadah. Muncul persepsi yang tidak sama antara rumah ibadah dan tempat ibadah, sehingga selalu jadi persoalan. Negara tentu mengatur yang rumah ibadah.
Mengapa negara harus mengatur?
Karena dalam rumah ibadah itu ada hal-hal yang memang tidak terelakkan negara harus ikut campur tangan. Sebab, menyangkut tata ruang, tata kota, dan lainnya. Tapi, kalau tempat ibadah, silakan, di mana saja Anda bisa beribadah. Tapi kalau sudah rumah ibadah itu konsepnya beda lagi.
Mengapa Anda menolak menjadi anggota tim sukses Prabowo-Hatta?
Tidak etislah kalau Menteri Agama jadi anggota tim sukses. Saya ingin berfokus sebagai menteri. Saya sedang mewakafkan waktu saya sebagai Menteri Agama. Jangan disibukkan lagi oleh urusan partai. Nanti membuat saya jadi tidak fokus dan tidak obyektif.
LUKMAN HAKIM SAIFUDDIN Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 25 November 1962 Pendidikan: Sarjana (S-1) Universitas Islam As-Syafi'iyah, Jakarta (1990) | Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur (1983) | Sekolah Menengah Pertama Negeri 11, Jakarta (1979) |Sekolah Dasar Blok D II Pagi, Kebayoran Baru, Jakarta (1975) Karier: Menteri Agama Republik Indonesia (2014) | Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (2009-2014) | Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (2011-2015) | Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (2007-2009) | Sekretaris Forum Konstitusi (2004-sekarang) | Project Manager Helen Keller International, Jakarta (1995-1997) | Wakil Ketua Bidang Pengembangan Program Yayasan Saifuddin Zuhri (1994-sekarang) | Ketua Badan Pengurus Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (1992-1995) |Sekretaris Umum Youth Islamic Study Club Al-Azhar (1985-1988) |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo