Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ayah delapan anak ini lahir di Jatipadang, Pasarminggu, Jakarta Selatan, pada 1938. Sejak remaja, ia sudah menunjukkan minat yang besar pada agama. Masa kecil dan remaja ia habiskan dengan berkelana dari masjid ke masjid. "Saya banyak tidur di masjid sembari belajar mengaji," ujarnya. Ustad yang dikenal radikal dalam prinsip-prinsip agama ini juga mendidik anak-anaknya dengan keras, terutama dalam hal agama. "Ia pukul anaknya yang tak mau salat," tutur Lis, istrinya, kepada TEMPO, sekali waktu.
Radikal dalam agama tidak hanya membuatnya kerap berbenturan dengan rezim yang berkuasa, tapi juga mengantarnya ke gerbang penjara. Pada 1960saat menjadi Ketua Umum Pelajar Islam Indonesia (PII) Jakartaia ditahan karena menyebar pamflet antikomunis selepas salat Idul Adha di Lapangan Ikada, Jakarta Pusat. Pada 1963, ia kembali masuk tahanan sampai meletus peristiwa G30S. Pada 1973, Abdul Quadir kembali lagi ke "hotel prodeo".
Saat itu, sebagai Ketua I Gerakan Pemuda Islam (GPI), ia memimpin demonstrasi menentang pelaksanaan Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang bersifat monogami. Ia sempat jadi buron selama empat bulan, hidup berpindah-pindah antara Garut, Cirebon, dan beberapa tempat lain. Kakek tujuh cucu ini kembali masuk penjara selama 2 tahun 6 bulan. Kali ini karena ia menentang masuknya aliran kepercayaan, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), dan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) ke dalam GBHN 1978.
Namanya kembali mencuat secara nasional ketika pecah peristiwa berdarah Tanjungpriok, 12 September 1984. Abdul Quadir mengaku tak terlibat secara langsung. "Saya orang yang dikorbankan dalam kasus Tanjungpriok," kata jebolan Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta ini. Toh, peristiwa itu pula yang mengantarnya ke penjara selama 13 tahun sejak 1985. Perguruan Tinggi Dakwah Islam (PTDI) yang ia pimpin ditutup pemerintahtapi dibuka kembali pada 1993menyusul kerusuhan tersebut karena dianggap menjadi "sarang pengacau".
Saat diadili dalam kasus Tanjungpriok pada 1985, Abdul Quadir membuat pembelaan setebal 500 halaman yang diberi judul "Musuh-Musuh Islam Melakukan Serangan Ofensif terhadap Islam". Pembelaannya ini kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku. Era reformasi mempercepat masa hukumannyaia menjalani "hanya" 13 tahun dari vonis hukuman penjara 18 tahun. Kini, di sela-sela kegiatan sebagai anggota DPR, Abdul Quadir tetap giat melakukan dakwah.
Dua pekan lalu, di Kompleks DPR RI Kalibata, Jakarta Selatan, ia menerima wartawan TEMPO, Setiyardi, untuk sebuah wawancara khusus. Petikannya:
Komisi Penyidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) untuk peristiwa Tanjungpriok dibentuk pekan silam. Apa komentar Anda?
Peristiwa itu (Tanjungpriok) sampai kini masih jadi tanda tanya buat saya. Tapi, kalau dimintai bantuan, saya sudah menyiapkan data cukup banyak, dari data jumlah korban sampai kemungkinan lokasi kuburan massal.
Anda punya data yang membuktikan kuburan massal?
Memang sangat sulit. Jasad mereka sudah jadi debu. Tapi kami bisa memberikan nama-nama saksi mata. Orang-orang ini melihat truk yang mengangkut mayat korban tembakan tentara dalam peristiwa Tanjungpriok, 12 September 1984. Secara pribadi, saya membuat investigasi tentang kerusuhan di Priok selama 13 tahun di penjara. Ini saya lakukan karena kedekatan saya dengan Amir Biki (tokoh di Tanjungpriok).
Apa saja yang Anda temukan dari investigasi tersebut?
Ada seorang korban bernama Yusron yang ikut tertembak. Oleh tentara, ia dikira sudah mati. Tubuhnya ditumpuk bersama mayat-mayat di atas truk, kemudian dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto. Saat akan dimasukkan ke kamar mayat oleh perawat, Yusron bangun. Ia dirawat dan tiga butir peluru di tubuhnya bisa dikeluarkan. Dari Yusron, saya tahu bahwa mayat-mayat korban tembakan dikubur di beberapa tempat seperti Cogrek (Kampungrambutan), Slipi, dan ada yang dibakar di krematorium Cilincing.
Penjelasan resmi Jenderal Benny MoerdaniPangab dan Pangkopkamtib ketika itupada 13 September 1984 menyebutkan "9 orang meninggal dan 53 luka-luka karena terkena tindakan tegas aparat maupun akibat kerusuhan itu sendiri..." (TEMPO, 22 September 1984). Sementara itu, penjelasan Anda memberi kesan banyak sekali yang meninggal?
Peristiwa Tanjungpriok tidak bisa dilepaskan dari rekayasa penguasa militer pada waktu ituyang dipimpin Jenderal Benny Moerdani. (Dalam bukunya, Benny Moerdani; Profil Prajurit Negarawan, halaman 503, Benny menegaskan bahwa tak pernah ada niat pemerintah memojokkan umat Islam. Sebaliknya, sejumlah oknum yang tidak bertanggung jawab, dengan mengatasnamakan umat, selalu berusaha memperuncing situasi dan membakar emosi.)
Anda punya alasan tertentu?
Laporan tentang rencana tablig akbar dan demonstrasi di TanjungpriokRabu, 12 September 1984itu sudah masuk ke pihak intelijen Kodam sebelumnya. Apalagi, kegiatan itu berlangsung malam hari. Jadi, seharusnya pihak keamanan mengambil tindakan preventifseperti yang pernah kami alami saat melakukan apel akbar soal jilbab di Lapangan Bomber, Rawasari, pada 1983.
Apa yang terjadi saat itu?
Rencana apel akbar itu bocor ke pihak Kodam Jaya sehingga semua panitia dan kiai yang akan memberikan ceramah diciduk pihak Kodam. Yang akan memberikan ceramah adalah saya, Idrus Jamalulail, dan Tony Ardie. Namun, lapangan lantas diblokir tank baja dan digunakan untuk tempat latihan tentara. Otomatis, massa tidak bisa masuk ke sana.
Apa relevansinya membandingkan kasus Lapangan Bomber dengan peristiwa Tanjungpriok?
Saya membandingkannya tatkala diadili dalam kasus Tanjungpriok. Saya kemukakan keheranan saya mengapa pihak keamanan tidak menerapkan tindakan yang sama terhadap kasus Tanjungpriok. Jadi, pihak keamanan memang sengaja "membiarkan" kasus Tanjungpriok itu terjadi. Seharusnya, kalau mau serius, tangkap saja tokoh-tokohnya seperti Amir Biki, Syarifin Maloko, Salim Qodar, dan lain-lain.
Lo, apa keuntungan pihak keamanan dengan membiarkan kerusuhan Tanjungpriok terjadi?
Mereka bisa memanfaatkan peristiwa Tanjungpriok untuk menghabisi orang-orang yang tidak disukai. Ceramah dilakukan pada pukul 10-12 malam. Saat itu, yang memberikan ceramah adalah Amir Biki, Syarifin Maloko, Yayan, dan Salim Qodar. Setelah ceramah, mereka melakukan demonstrasi dengan cara berjalan kaki menuju Kodim yang jaraknya sekitar 1,5 kilometer dari tempat ceramah. Baru sampai di depan kantor polisi di daerah itu, jamaah dicegat oleh pasukan keamanan. Penembakan terjadi setelah itu.
Di mana Anda berada ketika peristiwa itu terjadi?
Di rumah saya di Leuwiliang, Bogor. Saat itu, petugas dari Kodim menunggui saya di depan rumah. Malam saat terjadinya peristiwa, saya diciduk petugas Kodim di rumah saya di Leuwiliang.
Dengan alasan apa Anda ditangkap?
Pada zaman Orde Baru, setiap bulan saya ditangkap oleh aparat. Petugas Kodim yang datang ke rumah saya di Leuwiliang malam itu adalah petugas yang biasa menangkap saya. Dengan dia, saya bahkan sudah biasa ber-"elu-gue".
Apakah betul Anda menjadi salah satu "otak" peristiwa Tanjungpriok?
Itu yang ditulis media massa pada waktu itutermasuk TEMPO. Padahal, saya tidak terlibat secara langsung. Setelah ditangkap, saya langsung dibawa ke Guntur (Markas Pomdam Jaya). Mobil yang membawa saya sudah ada di depan rumah sejak pukul 22.00, sedangkan peristiwa Tanjungpriok kan terjadi pukul 23.00. Jadi, penangkapan itu benar-benar sudah direncanakan.
Bagaimana proses pemeriksaan di Guntur?
Kepala saya digunduli. Tiga orang prajurit Corps Polisi Militer (CPM) tidak bertanya apa-apa. Saya cuma ditendang ke sana kemari seperti bola. Padahal, mereka memakai sepatu lars. Aduh, prajurit-prajurit itu kan sedang gagah-gagahnya. Akibatnya, selama tiga bulan di Guntur saya tidak bisa tidur dengan posisi miring. Rasanya tulang rusuk saya hancur di dalam, walau di luarnya tidak berbekas.
Anda ditahan bersama siapa?
Dengan sekitar 400 orang lain dari Tanjungpriok. Pada malam hari, kami semua ditelanjangi, kemudian disuruh merangkak dan jalan jongkok di lapangan tanpa mengenakan pakaian. Peristiwa penganiayaanyang terjadi empat hari setelah saya ditangkapini pernah saya ungkapkan di pengadilan, tapi tak ada tanggapan apa-apa.
Apakah ada yang disiksa sampai mati?
Saya tidak tahu karena kemudian saya dipindahkan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) di Cimanggisyang dibangun sebagai pengganti RTM Boedi Oetomo, yang digusur. Saya adalah tahanan pertama yang merasakan RTM Cimanggis. Saya tinggal di sana selama sekitar satu tahun. Sepertinya, saya diisolasi dari kawan-kawan. Mungkin karena saya dianggap bisa memengaruhi mereka.
Dari tahanan, Anda diadili dan masuk bui. Apa alasan resmi pengadilan terhadap Anda?
Dalam berita acara pemeriksaan (BAP) dan juga di pengadilan, tidak ada secuil kalimat pun yang bicara soal Tanjungpriok. Media massa menyebut saya otak peristiwa Tanjungpriok. Padahal, saya diadili karena saya menolak asas tunggal Pancasila dalam Undang-Undang Keormasan. Aparat intelijen menyita 42 kaset rekaman ceramah saya di berbagai tempat.
Lantas, mengapa Anda dihubungkan dengan kasus Tanjungpriok?
Mungkin karena saya sangat dekat dengan Amir Biki. Dia kerap meminta saya memberi ceramah. Kami sahabat dan sudah seperti saudara. Dia tokoh yang sangat disegani di Tanjungpriok. Dia kenal banyak orang di pemerintahan, termasuk orang-orang Kodam. Menurut saya, pemerintah memanfaatkan kasus Tanjungpriok untuk menciduk dan menghukum orang-orang yang tidak disukai. Saya satu-satunya orang yang dituntut hukuman mati. Rupanya, pihak kejaksaan masih menunggu instruksi. Akhirnya, saya divonis 18 tahun penjara. Saya menjalaninya "cuma" 13 tahun.
Apa aktivitas Anda di penjara?
Saya dibui di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang. Di sana ada sekitar 1.500 tahanan. Tiap hari, saya mengajar para tahananterutama yang kriminaltentang salat, puasa, dan pengetahuan agama lainnya. Selain itu, saya menulis buku-buku agama Islam.
Bukankah Anda juga pernah dihukum karena ingin membakar Gedung Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Tanahabang?
Ya, saat itu tahun 1978. Saya memerintahkan 33 orang untuk membakar Gedung CSIS. Semua orang berikut bensinnya ditahan polisi. Kemudian, mereka dibebaskan karena saya yang bertanggung jawab. Dalam kasus ini, saya dihukum selama 2 tahun 6 bulan.
Memangnya ada perseteruan apa antara Anda dan CSIS?
Saya punya sejarah panjang dengan lembaga itu. Saya tahu "permainan" mereka, yang menganggap umat Islam sebagai penghalang pembangunan nasional.
Kembali ke soal Tanjungpriok. Jenderal Rudini pernah menyatakansaat itu sebagai KSADbahwa pelaku peristiwa Tanjungpriok adalah orang-orang PKI (TEMPO, 29 September 1984). Bagaimana pendapat Anda?
Itu komentar yang asal omong saja. Saat itu, tokoh-tokoh PKI masih ada di penjara. Bahkan, yang masuk golongan B (golongan pelaksana, bukan otak G30S) belum dibebaskan. Kalau Rudini menuduh orang-orang seperti saya, Amir Biki, dan Syarifin Maloko sebagai orang PKI, banyak orang tentu akan tertawa. Dalam sebuah pidato di Masjid Al-Furqon, Kramat Raya, Jakarta Pusat, saya tegas-tegas menolak tuduhan komunis itu.
Kabarnya, Anda cukup dekat dengan kalangan tentara pada masa ituantara lain Ali Moertopo?
Awal-awalnya saya memang melakukan kerja sama dengan Ali Moertopo. Saat itu dia masih berpangkat letnan kolonel. Dulu, untuk melawan komunis, tentara dan umat Islam bergabung. Waktu itu, saya sering mengadakan rapat dengan Ali Moertopo di Kantor Opsus, Jalan Raden Saleh, Jakarta. Sebetulnya, kantor itu miliknya Pater Beek. Namun, pada 1967, saya pisah dengan Ali Moertopo. Saya sadar, ia sangat berbahaya bagi Islam.
Menurut Anda, siapa yang harus bertanggung jawab dalam peristiwa Tanjungpriok?
Secara struktural, jelas Pangab L.B. Moerdani, Pangdam Jaya Try Sutrisno, dan Dandim Sibutar-butar. Saat itu, masih ada lembaga Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Jadi, polisi tidak bisa dimintai pertanggungjawaban.
Bagaimana Anda melihat militer, khususnya setelah peristiwa Tanjungpriok?
Secara institusi, saya tidak pernah dendam. Tapi orang-orang yang menyebabkan peristiwa Tanjungpriok harus diadili.
Sebetulnya bagaimana hubungan Anda dengan ABRI/TNI? Ibaratnya, Anda bolak-balik "dihajar" tapi terus membela ABRI/TNI?
Saya membedakan antara militer sebagai institusi dan orang-orang yang memimpin. Kalau sekarang saya membela, itu institusi militer yang saya bela. Tidak ada negara mana pun di dunia ini yang tidak butuh tentara. Dulu, yang saya lawan adalah orang-orang di tentara seperti Jenderal Benny Moerdani, Laksamana Sudomo, M. Panggabean.
Apa bedanya dengan para pimpinan TNI yang kemudian? Semua tentara bekerja dengan etos dan prinsip yang sama, kan?
Jelas beda. Panggabean, Benny Moerdani, dan Sudomo tidak suka dengan kelompok Islam. Pada zaman mereka, demonstrasi langsung berhadapan dengan moncong senjata, seperti kasus Tanjungpriok itu. Sedangkan pada zaman Feisal Tanjung dan Wiranto, demonstrasi dihadapi dengan tameng.
Masa? Waktu peristiwa Semanggi tahun silam, mahasiswa kan ditembaki tentara yang bersenjata?
Pernah saya diajak diskusi oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di Kantor PBNU. Ternyata pesertanya kebanyakan dari Forum Kota (Forkot). Mereka bilang, tentara sama saja, mahasiswa ditembaki di Semanggi. Saya bilang, itu lain. Tentara menembak karena mahasiswa sendiri melawan dengan bom molotov.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo