Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Angan-angan Bioskop Siuman

Bisnis perfilman nasional belum pulih setelah terpukul dampak pandemi Covid-19. Gerakan kembali menonton di bioskop digalakkan agar industri menggeliat.

10 April 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pengunjung saat menunggu penayangan film di bioskop KCM Jatiasih di Bekasi, JNovember 2020. TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Produksi film baru tersendat oleh lesunya bioskop sebagai kanal distribusi utama.

  • Insan perfilman ramai-ramai meminta bantuan.

  • Para pembantu Jokowi mulai ikut mengkampanyekan gerakan

SHANTY Harmayn memilih berpikir dua kali untuk merencanakan pembuatan film baru. Pandemi Covid-19 tak hanya menuntut protokol kesehatan di lokasi produksi. Di mata Shanty, Chief Executive Officer Base Entertainment, ada masalah lain yang lebih besar di sisi hilir industri akibat mandeknya saluran distribusi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak aturan pembatasan sosial berskala besar diberlakukan pada 16 Maret 2020, pemerintah membatasi operasi tempat hiburan. Bioskop, yang selama ini menopang 90 persen pendapatan film, tutup. Sedangkan saluran distribusi digital yang menggeliat di masa pandemi tak banyak menolong. “Ini bottleneck terbesar dalam industri perfilman,” kata Shanty kepada Tempo, Kamis, 8 April lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masalah di hilir itu membayangi setiap rencana bisnis Base Entertainment. Apalagi perusahaan film yang berbasis di Jakarta dan Singapura itu masih punya beberapa simpanan film, seperti Akhirat: A Love Story, yang baru kelar dibikin dan tengah memasuki tahap pascaproduksi, serta Lara Ati, yang kini dalam penggarapan.

Base Entertainment tak sendirian. Menurut Shanty, terdapat lebih dari 50 film produksi berbagai studio pada 2019 atau baru selesai dibikin pada 2020 yang belum bisa didistribusikan. Rumah-rumah produksi kelimpungan gara-gara sederet film buatannya itu tak bisa tayang di layar lebar. Dari segi bisnis, banyak investasi yang menumpuk, belum bisa dituai hasilnya. Padahal umumnya biaya produksi per judul film berkisar Rp 8-30 miliar.

Beberapa produksi film saat ini masih berlanjut karena memang sudah masuk perencanaan produser sejak jauh hari. Pembuatan Lara Ati, yang diagendakan dimulai pada awal 2021, sempat tertunda beberapa bulan. Itu sebabnya Shanty tak berani merancang produksi film baru. “Saya masih ada tabungan dua film. Ini aja belum bisa ditayangkan. Kalau bikin film berikutnya, bagaimana?” ujarnya.

•••

SEBELUM pandemi menyerang, industri perfilman sebenarnya sangat produktif. Sepanjang 2019, jumlah film yang dirilis di bioskop mencapai 129. Kondisi berbalik saat wabah datang. Hanya tujuh judul film yang dirilis di bioskop pada 2020.

Merosotnya kinerja industri perfilman itu menjadi bagian pembahasan dalam audiensi antara sejumlah insan perfilman dan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto yang digelar di Loka Kertagama, Kementerian Koordinator Perekonomian, 19 Maret lalu. Pertemuan yang juga dihadiri Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita itu mencatat jumlah bioskop yang masih beroperasi saat ini hanya sekitar 190 dari total sebanyak 420.

Kondisi tersebut berimbas pada besarnya jumlah pekerja yang kehilangan ladang nafkah di sektor ini. Secara keseluruhan, hingga 2016, terdapat 2.418 unit usaha di subsektor industri film, animasi, dan video. Hingga 2019, industri film Tanah Air, yang memiliki kapitalisasi pasar sekitar US$ 500 juta atau lebih dari Rp 7 triliun—masuk sepuluh besar di dunia—diperkirakan menghidupi lebih dari 50 ribu orang. Kementerian Pariwisata mencatat sektor ini berkontribusi terhadap produk domestik bruto nasional sebesar Rp 15 triliun pada 2019.

Besarnya kontribusi industri terhadap perekonomian nasional itulah yang mendorong para insan perfilman bergerak. Pertemuan dengan Menteri Airlangga tersebut sebenarnya merupakan kelanjutan dari serangkaian upaya mereka meminta dukungan pemerintah di tengah kesulitan bisnis di masa pandemi.

Sebelumnya, pada 4 Maret lalu, mereka memaparkan kondisi teranyar industri perfilman di hadapan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno. Keesokan harinya, para pekerja industri kreatif ini beramai-ramai mengunggah “Surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo” di media sosial, yang direspons Jokowi dengan undangan pertemuan di Istana Kepresidenan, 9 Maret lalu.

Direktur Utama PT MD Pictures Tbk Manoj Dhamoo Punjabi serta aktor Reza Rahadian dan Marcella Zalianty tampak di antara tamu undangan. "Jadi kami dari produser ini punya film-film yang besar sekarang. Kapan kita berani rilis di bioskop?" kata Manoj, 9 Maret lalu. "Ada tantangan bagi kami semua di sini dan selalu mulai dari atas. Jadi, kalau Pak Presiden mendukung kita, merasa kita nyaman ke bioskop, ini jadi menular ke bawah."

Dalam pertemuan itu, para perwakilan pelaku industri perfilman tersebut memang meminta dukungan pemerintah berupa kampanye "Kembali Menonton di Bioskop". Pembukaan kembali bioskop dilakukan di bawah koordinasi Kementerian Kesehatan dan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 untuk menghilangkan stigma negatif menonton bioskop di masa pandemi.

Selain itu, mereka berharap ada stimulus untuk distribusi film lewat dana Pemulihan Ekonomi Nasional. Pemerintah juga diminta meringankan ketentuan pajak hiburan pada bisnis film Indonesia, memberantas pembajakan film secara tegas, dan mempercepat vaksinasi bagi para pekerja industri film.

•••

PRESIDEN Joko Widodo memang belum menonton film langsung di bioskop. Tapi suara para pelaku bisnis perfilman yang meminta Istana ikut menghapus kekhawatiran publik atas keamanan bioskop di masa pandemi mulai dijawab sejumlah pembantu Presiden.

Pada Rabu, 31 Maret lalu, rombongan Menteri Airlangga, Menteri Agus Gumiwang, dan Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga datang ke bioskop Cinema XXI Plaza Senayan, Jakarta. Ketiga politikus Partai Golkar itu menonton Habibie & Ainun 3, film besutan sutradara Hanung Bramantyo, yang tengah diputar kembali di jaringan bioskop Cinema XXI dalam acara nonton bareng.

Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto (kedua kanan) seusai menonton film Ainun & Habibie 3 di Bioskop XXI Plaza Senayan, Jakarta, 31 Maret lalu. Foto: Twitter @golkar_id

Acara itu digelar Partai Golkar untuk memperingati Hari Film Nasional. Golkar mengadakan acara serupa di 26 kota dan kabupaten di seluruh Indonesia yang diikuti kader partai. “Pak Presiden titip, mencarikan jalan untuk restart industri film,” kata Airlangga di sela acara tersebut.

Airlangga berharap, dengan mengajak masyarakat ke bioskop, industri perfilman nasional bisa segera pulih. Gerakan kembali ke bioskop juga dikampanyekan dinas pariwisata dan ekonomi kreatif. “Sudah tereksekusi di beberapa daerah. Bioskop sudah kembali buka dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat dan disiplin,” ujar Airlangga dalam keterangan tertulis, Sabtu, 3 April lalu.

Pemerintah sebenarnya telah mengizinkan bioskop beroperasi kembali sejak Oktober 2020 dengan rekomendasi dari pemerintah daerah. Kementerian Pariwisata juga telah merilis panduan pelaksanaan kebersihan, kesehatan, keselamatan, dan kelestarian lingkungan (CHSE) untuk sektor bioskop.

Sejak saat itu, jaringan Cinema XXI telah membuka separuh dari total 221 bioskop mereka. Kapasitas maksimum penonton untuk setiap pertunjukan dalam studio beragam, mengikuti rekomendasi dan instruksi pemerintah daerah. “Ada yang 50, 40, dan 30 persen,” ucap Dewinta Hutagaol, Head of Corporate Communications and Brand Management Cinema XXI.

Namun jumlah pengunjung masih minim. Sejak bioskop dibuka kembali, film Indonesia baru dinikmati sekitar 445 ribu penonton. Adapun jumlah film yang ditayangkan hingga Maret 2021 baru 12. Angka itu bisa dibilang terjun bebas dibanding data sebelum pandemi, ketika jumlah penonton hampir mencapai 52 juta dengan 129 pilihan judul film.

Dewinta menegaskan, Cinema XXI telah memenuhi berbagai protokol keamanan menonton di ruang teater. “Kami memastikan suplai udara bersih di ruang bioskop, dilengkapi dengan sinar UV-C untuk mengoptimalkan proses disinfeksi terhadap bakteri, virus, dan kuman,” tutur Dewinta.

Jejaring bioskop di bawah PT Nusantara Sejahtera Raya ini juga berkolaborasi dengan perusahaan rintisan (startup) bioteknologi Nusantics untuk mendeteksi kemungkinan adanya virus SARS CoV-2 penyebab Covid-19 dalam udara di studio bioskop. Penelitian bersama pada 23-27 Maret lalu di lima lokasi bioskop Cinema XXI itu dilakukan dalam peringatan Hari Film Nasional demi meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk kembali ke bioskop. “Hasilnya, tidak ditemukan partikel virus SARS CoV-2 atau mutasinya seperti B.1.1.7, B.1.351, E484K, dan D614G di bioskop XXI yang diteliti,” kata Dewinta.

RETNO SULISTYOWATI, FRANCISCA CHRISTY ROSANA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Retno Sulistyowati

Retno Sulistyowati

Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo pada 2001 dengan meliput topik ekonomi, khususnya energi. Menjuarai pelbagai lomba penulisan artikel. Liputannya yang berdampak pada perubahan skema impor daging adalah investigasi "daging berjanggut" di Kementerian Pertanian.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus