Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Uji coba peralatan untuk menerapkan teknologi solar geoengineering atau memantulkan kembali sebagian cahaya matahari ke antariksa dibatalkan karena ditentang ilmuwan, organisasi masyarakat sipil, dan suku asli yang tinggal di Arktik.
Solar geoengineering atau solar radiation management berupaya meniru fenomena efek letusan Gunung Tambora pada 1815 dan Gunung Pinatubo pada 1991 yang menyemburkan debu dan aerosol sampai ke stratosfer.
Perlu riset mengenai dampak penerapan solar radiation management terhadap kondisi cuaca dan iklim di masa depan, pengaruhnya bagi siklus hidrologi dan proses-proses alam, serta efek bagi makhluk hidup dan manusia secara global.
DUA bulan sebelum hari-H, Swedish Space Corporation (SSC) mengumumkan pembatalan rencana penerbangan balon udara untuk uji coba skala kecil solar geoengineering—metode melawan perubahan iklim dengan cara memantulkan kembali sinar matahari ke luar angkasa. Pengumuman itu terpampang di situs perusahaan antariksa milik pemerintah Swedia tersebut pada 31 Maret lalu dengan tajuk "Tidak ada uji terbang untuk SCoPEx dari Esrange".
SCoPEx adalah akronim dari Stratospheric Controlled Perturbation Experiment, yaitu proyek riset yang dilakukan Keutsch Group Harvard University. SCoPEx bermaksud menguji sejumlah peralatan, di antaranya sepasang kipas di gondola balon udara yang akan menciptakan “gelas kimia” dengan panjang 1 kilometer dan diameter 100 meter di ketinggian 20 kilometer sebagai wadah gas atau partikel pembentuk aerosol pemantul sinar matahari. Balon itu rencananya diluncurkan dari Esrange Space Center milik SSC di Kiruna, Lapland—1.236 kilometer di utara Stokholm—pada Juni 2021.
SSC memberikan penjelasan atas pembatalan uji coba penerbangan balon udara itu. “Penelitian di bidang perubahan iklim dan konsekuensinya penting. Namun komunitas ilmiah terbelah mengenai geoengineering,” demikian tertulis dalam siaran SSC. Komite Penasihat SCoPEx membuat pernyataan serupa di lamannya. “Konsensus terhadap penelitian geoengineering di Swedia kurang. Karena itu, Komite merekomendasikan ada keterlibatan masyarakat sebelum penelitian SCoPEx dilakukan di sana.”
Niclas Hällström, Direktur What Next, grup riset lingkungan berbasis di Uppsala, mengatakan penolakan geoengineering di Swedia disebabkan oleh kekhawatiran akan munculnya persoalan di masa depan. “Mobilisasi menentang proyek ini luar biasa, menyatukan ilmuwan, masyarakat sipil, dan suku Saami—penduduk asli Arktika—melawan bahaya sesat pikir dari normalisasi teknologi yang terlalu berbahaya untuk digunakan,” kata Hällström seperti dikutip The New York Times, Jumat, 2 April lalu.
Hällström menentang proyek ini sejak SCoPEx—bagian dari Solar Geoengineering Research Program yang didanai para filantropis, termasuk Bill Gates—menetapkan waktu peluncuran uji coba balon udara pada pertengahan Desember 2020. Menurut dia, masyarakat Swedia makin menyerukan solusi nyata dan segera untuk krisis iklim. “Seperti transformasi dari bahan bakar fosil menuju masyarakat nihil karbon,” ujarnya kepada Reuters. Menurut Hällström, proyek Harvard University berlawanan dengan keinginan masyarakat Swedia.
David Keith, fisikawan Harvard yang terlibat dalam SCoPEx, menyatakan ragu ada yang tahu seberapa luas penentangan di Swedia. Dia mengatakan survei di negara lain, termasuk beberapa di negara yang paling terpengaruh oleh perubahan iklim, menunjukkan dukungan untuk penelitian geoengineering. “Ada proses konsultatif yang sebenarnya di sana. Hal itu menunjukkan bahwa dukungan publik signifikan terhadap eksperimen ini,” ucapnya.
Heri Kuswanto, peneliti Pusat Penelitian Mitigasi Bencana dan Perubahan Iklim Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, yang tak terlibat dalam proyek SCoPEx, mengatakan ide solar geoengineering atau solar radiation management (SRM) memang datang dari para peneliti di negara maju. Menurut dia, negara-negara berkembang juga sangat terkena dampak perubahan iklim. “Semestinya negara berkembang dilibatkan, terutama dalam riset dampak yang ditimbulkan pada skala regional atau lokal,” tutur guru besar komputasi statistika Departemen Statistika Fakultas Sains dan Analitika Data ITS itu.
Pentingnya penelitian dampak SRM itu membuat Heri mengajukan diri terlibat dalam proyek Developing Country Impacts Modelling Analysis for SRM yang didanai The World Academy of Science serta Organisasi Pendidikan, Sains, dan Kebudayaan (UNESCO). "Latar belakang saya statistika dan memang sudah lama berfokus ke pemodelan cuaca dan iklim. Saya melihat banyak aspek statistika yang bisa dipakai untuk analisis dampak ini,” ujar Heri melalui surat elektronik kepada Tempo, Kamis, 8 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Heri mengadakan penelitian dengan menganalisis dampak percobaan SRM yang dilakukan Geoengineering Model Intercomparison Project (GeoMIP) di Rutgers University, Amerika Serikat. Fase pertama simulasi GeoMIP terdiri atas empat eksperimen: G1 dan G2 yang berhubungan dengan metode meredupkan matahari serta G3 dan G4 yang berkaitan dengan metode injeksi aerosol. “Kami meneliti dampak eksperimen GeoMIP yang G4,” kata Heri, yang menjabat Direktur Pascasarjana dan Pengembangan Akademik ITS.
Fokus penelitian Heri adalah dampak SRM terhadap suhu ekstrem (yang mengarah pada kekeringan) dan curah hujan ekstrem (yang mengarah pada banjir) di Indonesia. “Sudah dapat hasil untuk dampak SRM terhadap suhu ekstrem. Untuk curah hujan ekstrem masih berjalan,” ucapnya. Dia enggan mengungkapkan temuannya karena belum resmi dipublikasikan di International Journal of Climatology. “Sedang diperiksa jurnal. Sudah dua kali revisi, mudah-mudahan dalam tiga bulan sudah bisa diterima.”
Sedikit memberi bocoran, Heri mengatakan secara rata-rata SRM mampu memperlambat laju anomali suhu dibanding Representative Concentration Pathway 4.5—salah satu skenario yang digunakan untuk pemodelan dan riset iklim. Namun, dia menambahkan, bila dilihat lebih rinci ke level lokal, ada daerah yang cenderung menjadi makin panas dan beberapa daerah lain makin dingin. “Artinya, dampaknya tidak monoton. Sebab, karakteristik iklim daerah-daerah di Indonesia sangat heterogen,” tutur Heri.
Heri menegaskan, posisinya dalam isu SRM adalah netral. “Kami tidak terlibat langsung dalam penelitian terkait dengan simulasi dan eksperimen SRM. Kami menggunakan data hasil simulasi peneliti-peneliti tersebut untuk kami analisis lebih lanjut dampaknya,” ucapnya. “Jika nanti sudah ada bukti tentang dampaknya yang sudah kami validasi secara ilmiah, silakan kita memutuskan mendukung atau melawan SRM,” ujar doktor statistika Leibniz Universität, Jerman, itu.
Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Thomas Djamaluddin, yang menyatakan pihaknya tidak ikut meneliti SRM, mengatakan metode itu berupaya meniru efek pendinginan global akibat letusan Gunung Tambora pada 1815 dan Pinatubo pada 1991. “Letusan gunung tersebut menyemburkan debu dan aerosol sampai ke stratosfer dan bertahan beberapa tahun di ketinggian belasan kilometer. Debu dan aerosol di stratosfer memantulkan sebagian cahaya matahari kembali ke antariksa,” kata Thomas.
Untuk membentuk lapisan aerosol itu, Thomas melanjutkan, peneliti SRM menggunakan kapur bubuk (kalsium karbonat) yang disemprotkan ke stratosfer dengan bantuan balon udara. “Untuk menirukan letusan gunung api diperlukan jutaan ton kapur bubuk. Sebarannya juga harus luas, terutama di atas daratan,” tutur Thomas, Selasa, 6 April lalu. “Efek SRM ini sementara, seperti efek letusan gunung api. Pemanasan global hanya bisa diatasi dengan pengurangan emisi CO2 dan gas rumah kaca.”
DODY HIDAYAT, THE NEW YORK TIMES, REUTERS, SCOPEX ADVISORY COMMITTEE, SWEDISH SPACE CORPORATION, KEUTSCH GROUP, CARBONBRIEF
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo