Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Jika Tetap Mudik, Disuruh Balik

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mempertimbangkan pengajuan pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk wilayah Semarang Raya. Bersama Solo, Kota Semarang tercatat sebagai zona merah penyebaran virus Covid-19 di provinsi berpenduduk 34,5 juta jiwa itu. Dengan konsep membangun kesadaran masyarakat dari tingkat bawah, Ganjar memperkuat respons terhadap pandemi di setiap rukun warga dan desa.

25 April 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo/TEMPO/Budi Purwanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo belum menjadikan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sebagai strategi utama dalam penanganan Covid-19.

  • Ganjar Pranowo memilih pendekatan preventif dan promotif dengan membangun kesadaran mengenai protokol kesehatan dari level rukun warga dan desa.

  • Ganjar Pranowo meminta masyarakat tidak mudik pada Lebaran nanti.

KETIKA sejumlah kepala daerah mengajukan pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk mencegah penyebaran virus corona, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo punya pilihan berbeda. Ia memilih berfokus membangun kesadaran penduduk untuk menangkal penyebaran virus penyebab pandemi Coronavirus Disease (Covid-19) tersebut ketimbang PSBB. Data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menyebutkan, hingga Sabtu, 25 April lalu, terdapat 575 kasus positif di Jawa Tengah dengan 54 pasien meninggal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah menyiapkan pola respons pandemi berbasis masyarakat lewat pendekatan preventif dan promotif. Ganjar mengatakan, dalam dua pekan terakhir, para kepala desa menyiapkan tempat untuk karantina mandiri. Pemerintah provinsi pun mensosialisasi peraturan tentang larangan mudik yang berlaku sejak Jumat, 24 April lalu. Sosialisasi juga dilakukan kepada warga luar daerah yang tinggal di Jawa Tengah. “Kami sosialisasi agar mereka tidak usah mudik,” kata Ganjar, 51 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jawa Tengah adalah salah satu provinsi yang tiap tahun diserbu pemudik. Sebelum larangan mudik diterapkan, warga Jawa Tengah yang tinggal di Jabodetabek sudah berbondong-bondong kembali ke kampung halaman. “Mungkin sudah 600 ribu lebih,” ujar politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu. Menurut Ganjar, pada masa mudik Lebaran tahun lalu, sekitar 5,9 juta pemudik memadati Jawa Tengah.

Kepada wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi dan Jamal Abdun Nashr, Ganjar menjelaskan strategi Jawa Tengah menangani pemudik dari Jabodetabek, meredam penyebaran Covid-19, distribusi bantuan sosial, hingga upayanya mengumpulkan dana. Wawancara dilakukan melalui sambungan telepon pada Selasa, 21 April, dan Jumat, 24 April lalu.

Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan larangan mudik, disusul penghentian operasi semua moda transportasi untuk mudik. Bagaimana Anda menyikapinya?

Kami tinggal ikuti saja, wong sudah diputuskan, kok. Antar-dinas perhubungan juga sudah ada komunikasi, termasuk dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan dan kepolisian. Bahkan kami sudah rapat dengan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Luhut Binsar Pandjaitan) yang sekaligus pelaksana tugas Menteri Perhubungan.

Bagaimana pengawasan di perbatasan untuk mencegah kendaraan pribadi atau bus dari Jabodetabek lolos ke Jawa Tengah?

Pemeriksaan sudah dilakukan di Jakarta. Kami tidak ada perbatasan langsung dengan Jabodetabek. Kalau pengamanan di Jakarta dan Jawa Barat bagus, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur akan baik. Kecuali nanti yang dari Jawa Timur. Jika Surabaya Raya sudah memberlakukan PSBB, kami akan menyiapkan dua pos pemeriksaan tambahan di perbatasan wilayah timur.

Bagaimana dengan para perantau dari luar daerah yang tinggal di Jawa Tengah?

Kami sosialisasi agar mereka tidak usah mudik. Jika tetap mudik, mereka pasti akan terjaring di perbatasan. Nanti disuruh balik.

Bagaimana penanganan terhadap pemudik yang positif Covid-19?

Itu yang sebenarnya sulit. Apalagi mereka yang asimtomatik atau orang tanpa gejala. Yang positif kami rawat. Kami sekarang sedang “berburu” peserta Ijtima Ulama di Gowa, Sulawesi Selatan. Kami terus mencari karena mereka sudah satu bulan kembali dan beberapa di antaranya, ketika dites, ada yang positif.

Mereka menyebar ke daerah mana saja?

Hampir ada di semua kabupaten. Makanya ini tidak bisa disepelekan. Saya minta mereka “diburu”, ditanyain, atau saya minta kesadaran Bapak dan Ibu yang kemarin ke Gowa, tolong melapor dan memberi tahu sudah ke mana saja.

Sudah berapa banyak yang terdeteksi?

Banyak yang ketahuan. Saya tidak hafal di tiap kota. Tapi hampir setiap bupati menyampaikan kepada saya, “Pak, kami menemukan sekian dari sekian.” Oke, saya sampaikan kepada mereka untuk terus mencari.

Ancaman penyebaran virus corona bisa meningkat saat mudik Lebaran. Bagaimana kesiapan Jawa Tengah mengantisipasi arus pemudik?

Kami membuat posko di Jakarta. Kami menggerakkan paguyuban-paguyuban untuk mendata semuanya. Kira-kira ada 100 ribu yang sampai hari ini masih kami data. Kami perkuat sistemnya untuk semacam call center. Saya kontak para bupati agar menghitung berapa warganya yang ada di sana (Jabodetabek).

Berapa total perantau asal Jawa Tengah di Jabodetabek?

Katanya sih 7 jutaan. Tahun lalu saja yang mudik 5,9 juta jiwa.

Apakah orang-orang yang lebih dulu mudik sudah terdata?

Saya enggak tahu perkembangannya, mungkin sudah 600 ribu lebih.

Mereka kebanyakan mudik ke daerah mana?

Merata, banyak yang ke Banyumas, Wonogiri, Wonosobo. Sebelum ini, kami sudah mendata. Mereka yang kena pemutusan hubungan kerja pulang duluan. Kalau Anda ikuti akun Instagram saya, ada tukang batu dari Jakarta pulang ke Kabupaten Batang dikarantina. Saya angkat kisahnya. Itu contoh desa pertama yang membuat karantina dan masyarakatnya mau dikarantina. Semua sehat. Saya datang ke sana. Tempatnya di pucuk gunung, desa terakhir di kebun teh.

Anda sudah bertemu dengan kepala daerah se-Semarang Raya yang mengajukan PSBB. Apa hasil pertemuan itu?

Kami belum sampai ke PSBB. Kami akan mengambil tindakan lebih ketat, terutama di daerah atau tempat yang konsentrasinya tinggi, seperti pasar dan pabrik. Kami sudah merapatkannya pada Jumat, 24 April lalu. Ada Wali Kota Semarang, Wakil Wali Kota Salatiga, Bupati Demak, Bupati Grobogan, Bupati Kendal, Bupati Semarang. Mereka sepakat, dalam satu pekan ke depan, khusus untuk Kota Semarang, sebagian Kabupaten Semarang, sebagian Kabupaten Kendal dan Demak, akan mengontrol daerah konsentrasi massa untuk ditertibkan. Lalu ada patrolinya. Kami juga meminta mereka menghitung masyarakat yang terkena dampak, lalu menyelaraskan semua bantuan, dari sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi, APBD kabupaten dan kota, sampai dana desa.

Bagaimana jika pendekatan itu tidak efektif menekan angka penyebaran kasus?

Kalau dengan tindakan yang lebih serius ini masyarakat masih tenang-tenang dan tidak taat, tidak mustahil kami naikkan ke PSBB. Kami evaluasi dalam sepekan ke depan.

Mengapa Anda sejak awal tidak mendukung pengajuan PSBB?

Buat saya, PSBB bukan tujuan. Kami belajar dari PSBB Jabodetabek. Kami belajar dari Wali Kota Tegal, yang belum ada ketentuan tentang PSBB sudah mengajukan istilah “lockdown”. Dari Jabodetabek, kami belajar bahwa tidak mudah mengelola PSBB. Saya juga bertanya ke Wali Kota Tegal (Dedy Yon Supriyono), “Apakah Anda menyatakan diri lockdown waktu itu sudah dipersiapkan? Bagaimana relasi sosial, logistik, sistem transportasi, dan keamanan?” Ternyata belum. Dengan kurva yang terus meningkat, kami memakai cara preventif dan promotif agar terjadi pelandaian kurva. Kami tidak gegabah untuk mengajukan PSBB.

Bagaimana penjelasan Wali Kota Tegal tentang keputusan mengkarantina kotanya?

“Saya sebenarnya bingung, Pak, karena orang-orang ini tidak mau diatur.” Sesederhana itu jawabannya. Artinya, sebenarnya orang berteriak PSBB itu enggak ngerti. Banyak yang kemudian minta PSBB karena judek dan bludrek enggak bisa mengelola keadaan. Seolah-olah dengan PSBB itu semua baik-baik saja, padahal enggak. Nanti problem keamanan dan sosial muncul. Hati-hati. Kalau mau mengajukan PSBB, hitunglah dengan matang dulu.

Pengajuan PSBB Kota Tegal akhirnya disetujui selama satu bulan. Bagaimana tanggapan Anda?

Saya meminta (pemerintah kota) mengontrolnya. Perlu dibuatkan pusat panggilan agar masyarakat bisa berkomunikasi. Boleh WhatsApp, telepon, media sosial, sehingga, kalau ada warga kesulitan, negara atau pemerintah bisa melayani dengan baik.

Apa perbedaan pendekatan yang dilakukan Jawa Tengah itu dengan PSBB?

Dalam PSBB, hampir semua pembatasannya berskala besar. Coba kita sebutkan produk PSBB. Ngantor di rumah, sekolah di rumah, jaga jarak. Semua sudah dilakukan. Pembatasan transportasi, sekarang menurun dengan sendirinya. Sebenarnya, PSBB itu kondisi hari ini di Jawa Tengah plus sedikit lebih ketat. Beberapa hari lalu, ada kejadian di Pasar Cipulir (Jakarta) yang ramai banget. Itu PSBB, lho. Gubernur DKI Jakarta pasti merasa ini tidak mudah. Nah, kalau preventif enggak begitu. Prakondisi masyarakat menuju PSBB jauh lebih penting. Maka kami menyiapkan pola respons pandemi berbasis masyarakat dari tingkat rukun warga. Di Jawa Tengah banyak orang desa. Karena itu, para kepala desa dalam dua pekan terakhir menyiapkan tempat untuk isolasi atau karantina mandiri, mendata warga yang rentan, berpotensi miskin, baru pulang dari zona merah, hingga yang berhak mendapat bantuan.

Ganjar Pranowo memberikan keterangan pers terkait virus Corona kepada wartawan di rumah dinas Gubernur Jateng, Semarang, Jawa Tengah, 15 Maret lalu./ANTARA FOTO/Aji Setyawan

Dengan pemahaman masyarakat yang belum merata, bukankah pendekatan itu berisiko?

Pilihan apa pun ada risikonya. Tapi rasanya cara ini lebih baik. Jika perlu, lumbung pangan disiapkan, jimpitan dihidupkan lagi, pekarangan warga mulai ditanami warung hidup dan apotek hidup. Hal-hal sederhana saja. Yang mampu berbagi dengan yang kurang mampu. Kalau pengkondisian ini berjalan baik, begitu dipersiapkan naik sedikit ke PSBB, masyarakat sudah paham.

Mengapa Anda memilih membangun kesiapan masyarakat dari bawah?

Karena problemnya ada di sana. Problemnya bukan di rumah sakit, dokter, perawat. Sekarang kita benteng terdepannya, garda terdepan untuk melawan Covid. Caranya, ya, cuci tangan, jaga jarak, pakai masker, tidak kelayapan, ikut aturan.

Tidak dimulai dari tingkat rukun tetangga?

RT terlalu kecil. Berbeda dengan RW, yang bakal didampingi pendamping desa, tenaga kesejahteraan sosial kecamatan, pendamping PKH (Program Keluarga Harapan), ibu-ibu PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga), dan karang taruna. Kami sedang menyiapkan modelnya. Nanti saya harapkan di desa-desa ada patroli, dibantu bintara pembina desa serta bintara pembina keamanan dan ketertiban masyarakat sehingga lebih soft. Kami mengajak ulama, tokoh agama, tokoh masyarakat. Dan ini berbeda di setiap daerah, misalnya ada model Banyumasan, Semarang Raya, Solo Raya, Pekalongan, Kedu.

Anda yakin cara ini lebih efektif ketimbang PSBB?

Saya belum melihat ada yang menyatakan PSBB efektif, apakah dari survei atau penilaian lain. Yang saya lihat efektif adalah model Vietnam. Begitu ada satu kasus, langsung diberi garis polisi. Di Hubei dan Wuhan, begitu ada kasus langsung lockdown. Anda berani bicara PSBB Jabodetabek efektif sampai hari ini? Silakan memberikan statement. Enggak ada yang berani. Suruh pakar yang paling hebat ngomong sekarang.

 

Berapa dana yang disiapkan untuk penanganan Covid-19?

Kami sudah menyiapkan Rp 2,2 triliun untuk jaring pengaman sosial, ekonomi, dan kesehatan. Pos yang anggarannya besar dipotong, misalnya infrastruktur, kunjungan kerja, rapat, dan konsumsi. Semua rencana kerja kami review. Infrastruktur yang paling banyak ditunda karena duitnya paling gede, sekitar Rp 2 triliun dari APBD Rp 29 triliun. Saya sempat menanyakan kemungkinan gaji ke-13 dan tunjangan hari raya untuk pegawai negeri sipil enggak usah diberikan. Kira-kira dapat tambahan Rp 300-400 miliar. Kami potong dan simpan dulu, karena situasinya tidak menentu. Kami mau mencari satu triliun lagi, tapi sudah megap-megap.

Berapa sebenarnya kebutuhan dana untuk penanganan pandemi corona?

Kalau saya, sebenarnya ngomong kasarnya itu begini, “Coba dong, cadangkan sampai Rp 5 triliun.” Mungkin kami agak sedikit enak bermanuver. Tapi rasanya kok berat.

Bagaimana dengan dana dari pemerintah kota dan kabupaten?

Kota Semarang, misalnya, APBD-nya tertinggi se-Jawa Tengah, pemerintahnya menyiapkan Rp 30 miliar. Ya jangan, dong. Saya minta Rp 200 miliar. Wonogiri saja yang tidak kaya, banyak perantaunya, menyiapkan Rp 110-120 miliar. Kesungguhannya luar biasa. Maksud saya, jangan pelit-pelit kalau soal begini. Ini untuk rakyat. Hitung risiko keamanannya juga. Kami sudah menghitung risiko ekonomi nyungsep dan APBD tahun depan pasti mengecil.

Seberapa besar bantuan dari pemerintah pusat?

Ada bantuan PKH dari Kementerian Sosial. Ada atau tidak ada wabah corona itu berjalan. Sasarannya 182.565 keluarga. Lalu bantuan pangan nontunai (bahan kebutuhan pokok) juga begitu. Masing-masing Rp 200 ribu per bulan selama sembilan bulan, sasarannya 1.263.194 jiwa, angkanya Rp 2,27 triliun. Itu sudah dijamin untuk warga yang ada di desil 1 (sangat miskin) dan desil 2 (miskin). Dari Kementerian Koordinator Perekonomian ada program Kartu Prakerja yang duitnya Rp 3,55 juta untuk kuota 421.705 orang. Sekarang baru terdaftar 25-30 persen. Duitnya Rp 1,49 triliun. Kementerian Desa memberikan bantuan sembako senilai Rp 600 ribu dari dana desa.

Bagaimana kesiapan pemerintah provinsi menjalankan tes untuk deteksi Covid-19?

Rapid test itu untuk surveillance saja. Saya bukannya meragukan, tapi kalau mau akurat, ya model PCR (polymerase chain reaction), menggunakan swab. Meski tidak massal, kami melakukan tes kepada mereka yang termasuk orang dalam pemantauan. Ada yang melalui rumah sakit dan dinas kesehatan, kecuali ada sesuatu yang membutuhkan tindakan cepat, misalnya outbreak di Rumah Sakit Kariadi. Itu langsung ke mana-mana. Kami memperbaiki lagi sistem, prosedur, dan protokolnya. Saya malah kebanjiran tawaran dari pedagang alat tesnya.

 


 

GANJAR PRANOWO 

Tempat dan tanggal lahir: Karanganyar, Jawa Tengah, 28 Oktober 1968 Pendidikan: S-1 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1995), Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia (2013) Karier: Konsultan Sumber Daya Manusia PT Prakarsa (1995-1999), Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (2004-2009, 2009-2013), Gubernur Jawa Tengah (2013-2018, 2018-2023) Organisasi: Ketua Departemen Pemerintahan Nasional Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan (sejak 2010), Ketua Umum Keluarga Alumni Gadjah Mada (2014-2024)

 


 

Banyak yang menawarkan?

Sekarang semua ditawarkan, ada test kit, alat pelindung diri (APD), obat yang katanya stem cell yang harganya sekian puluh juta. Mereka kok tega, ya.

Bukankah sudah ada distribusi alat tes dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19?

Sudah, tapi kan pasti permintaan makin banyak.

Kapan Jawa Tengah terakhir kali menerima kiriman bantuan dari Gugus Tugas?

Minggu lalu, kalau enggak salah berupa APD. Kemarin ada yang menyumbang juga alat rapid test dan APD. Hampir setiap hari kami mendapat sumbangan dari masyarakat. Ada juga yang kami beli sendiri. Dengan kejadian ini, saya belajar betul, saya minta semua rumah sakit membuat sistem informasi logistik khusus berkaitan dengan respons pandemi corona.

Sistem informasi seperti apa?

Rumah-rumah sakit mendata logistiknya. Jadi saya secara offline punya datanya. Selama ini saya sudah punya data tentang desa mana yang masih hijau, sudah kuning, atau merah. Nah, sekarang saya sudah tahu rumah sakit mana punya stok berapa. Misalnya masker N95, baju hazmat, semuanya dihitung. Dengan pertumbuhan pasien sekian, kami bisa menghitung berapa yang dibutuhkan dan harus mencari ke mana. Asalkan datanya terus di-update.

Seberapa siap rumah sakit menampung pasien Covid-19 yang jumlahnya terus bertambah?

Kota Semarang yang paling merah. Lalu disusul Solo karena kasusnya cukup tinggi. Kalau cara berpikirnya kuratif di tingkat rumah sakit, celakalah kita. Maka saya sampaikan kepada masyarakat, kalau mau PSBB, harus siap. Anda enggak boleh ke luar rumah, nongkrong, akan tidak nyaman hidupnya. Pilih mana, tertib sekarang atau kami PSBB.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus