Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Kalau Data Tak Lengkap, Saya Kena Perkara

Gubernur Jawa Barat Mochamad Ridwan Kamil mengajukan pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar untuk seluruh wilayah Jawa Barat per 6 Mei 2020. Keputusan itu diambil setelah melihat keberhasilan penerapan PSBB di kawasan Bogor-Depok-Bekasi dan Bandung Raya. Akibat pandemi yang tak kunjung berakhir, jumlah orang miskin baru di Jawa Barat melonjak sekitar 7 juta keluarga. Pintu bantuan pemerintah yang bercabang dan kekacauan data menjadi problem baru dalam penyaluran bantuan sosial.

9 Mei 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Mochamad Ridwan Kamil. TEMPO/Prima mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Setelah sukses menekan jumlah kasus positif Covid-19 di Bodebek dan Bandung Raya, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menerapkan pembatasan sosial tingkat provinsi.

  • Jawa Barat menjadi provinsi ketiga setelah DKI Jakarta dan Sumatera Barat yang memberlakukan PSBB dalam cakupan wilayah yang luas.

  • Penyaluran bantuan sosial bagi warga Jawa Barat yang terkena dampak ekonomi Covid-19 sempat ruwet karena banyaknya pintu bantuan dan data yang tidak akurat.

PEMERINTAH Jawa Barat tak melonggarkan pembatasan sosial berskala besar meski jumlah kasus positif Covid-19 di kawasan Bogor, Depok, dan Bekasi serta Bandung Raya menurun. Gubernur Jawa Barat Mochamad Ridwan Kamil justru memperluas cakupan PSBB hingga provinsi untuk menekan penyebaran virus corona.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dan Sumatera Barat, Jawa Barat menjadi provinsi ketiga yang menjalankan PSBB sejak Rabu, 6 Mei lalu. “Mudah-mudahan ada berita baik dari Jawa Barat karena Jawa Barat ini mewakili Indonesia,” kata Emil—sapaan akrab Ridwan Kamil—dalam wawancara khusus dengan Tempo melalui video konferensi, Kamis, 30 April lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelumnya, Kota dan Kabupaten Bogor, Kota Depok, serta Kota dan Kabupaten Bekasi—kawasan penyangga Jakarta yang disingkat Bodebek—memberlakukan PSBB mulai 15 April lalu. Menurut Emil, sejak itu, angka kasus Covid-19 di wilayah tersebut turun 38,5 persen. Ia juga menyebutkan kasus pasien positif berkurang setelah PSBB diterapkan di Bandung Raya—mencakup lima kabupaten dan kota—sejak 22 April lalu.

Emil, 48 tahun, tak hanya memperluas pembatasan pergerakan warga Jawa Barat, yang populasinya mencapai 50 juta jiwa atau nyaris setara dengan Korea Selatan. Karut-marut data penerima dan banyaknya pintu bantuan juga membuat mantan Wali Kota Bandung ini berinisiatif menyalurkan bahan kebutuhan pokok kepada 30 ribu keluarga tak mampu. “Kalau menunggu semua beres, saya kehilangan 15 hari untuk menolong mereka,” katanya.

Kepada Tempo, Emil menjelaskan sejumlah hal, dari dampak penerapan PSBB, kekacauan data penerima bantuan sosial di Jawa Barat, hingga melonjaknya jumlah warga miskin akibat Covid-19. Ia memberikan keterangan tambahan melalui anggota stafnya pada Senin, 4 Mei lalu.

 

Seberapa efektif penerapan PSBB di Bodebek dan Bandung Raya dalam menurunkan jumlah kasus positif Covid-19?

Kami mendapati bahwa PSBB ini positif. Kurva penambahan kasusnya sudah relatif flat. Kecepatan (penambahan kasus) di Jawa Barat itu rata-rata hanya 40 kasus per hari. Jadi tidak ada yang persentasenya membesar. Kami mendapati yang melakukan PSBB di Bodebek ada penurunan. Di Bandung Raya juga ada penurunan, kecuali di Kota Cimahi.

Mengapa jumlah kasus di Cimahi meningkat?

Ada persebaran yang meluas karena orang mudik. Jadi kasus kami terbagi dua, yaitu infeksi lokal dan infeksi impor. Dalam proses PSBB ini kan baru dimulai larangan mudik. Itulah yang menambah persebaran, yang tadinya terfokus di daerah kerumunan tiba-tiba melebar ke desa-desa yang sebelumnya tidak ada kasus. Karena kedatangan orang-orang yang memanfaatkan detik-detik larangan mudik padahal dia positif. Tapi saya menduga, setelah 14 hari dari 30 April ini, pelebaran itu enggak akan terjadi lagi karena sudah dikunci. Orang-orang sudah enggak boleh mudik. Kami suruh balik kanan di Karawang dan Puncak.

Apakah PSBB ampuh untuk menekan pergerakan warga?

Penurunan dari social distancing hanya 10 persen. Saat social distancing itu mungkin sekitar 60 persen warga masih bergerak. Setelah PSBB, rata-rata pergerakan manusia masih mendekati 50 persen. Padahal idealnya PSBB berhasil kalau pergeseran manusia hanya di angka 30 persen.

Bagaimana solusinya?

Kami evaluasi untuk mengingatkan kepala daerah agar menurunkan mobilitas warganya sampai 30 persen. Kalau berhasil, PSBB secara ilmiah bisa dipertanggungjawabkan sambil kami melakukan tes masif. Tapi ada hal menarik. Saat sebelum PSBB, angka reproduksi, kecepatan penambahan kasus di Bodebek ranking satu, Jawa Barat secara umum ranking dua, Bandung Raya ranking tiga, wilayah non-PSBB ranking empat. Setelah itu, wilayah yang tak menerapkan PSBB kini kecepatan infeksinya tertinggi, Jawa Barat kedua, Bandung Raya tetap ranking tiga, Bodebek jadi ranking empat. Supresi kecepatannya membaik.

Bukankah orang-orang yang masuk dari zona PSBB berkurang?

Bodebek yang awalnya tertinggi setelah PSBB turun jadi ranking terbawah. Ini karena PSBB menolak orang mudik. Pintu-pintu ditutup, tidak ada imported case. Sedangkan 17 kota/kabupaten di Jawa Barat yang tidak menjalankan PSBB yang tadinya infeksinya ranking terakhir sekarang jadi nomor satu karena imported case. Itulah kenapa hari ini saya mengajukan surat ke Menteri Kesehatan untuk menerapkan PSBB skala provinsi. Kemarin saya melakukan video konferensi dengan bupati dan wali kota, semua sepakat imported case ini sumber bahayaKalau dengan PSBB nanti kami hanya melokalisasi kasus-kasus infeksi lokal.

Menurut Anda, penerapan PSBB skala provinsi akan mampu mengurangi jumlah kasus positif?

Keberhasilan tren flat atau turun di Bodebek dan Bandung Raya mudah-mudahan bisa ditiru oleh 17 kota/kabupaten sisanya. Salah satu ukuran keberhasilan PSBB adalah menurunnya kecepatan reproduksi Covid. Kalau ini berhasil serempak se-Jawa Barat, seharusnya Jawa Barat bisa mengendalikan dengan baik.

Anda menyatakan PSBB terancam gagal setelah tiga penumpang kereta rel listrik rute Bogor-Jakarta diketahui positif Covid-19 pada 27 April lalu. Apakah Anda akan mendesak penghentian operasi KRL?

Dari awal, Covid adalah penyakit kerumunan. Dia bisa datang di pasar yang ramai, pengajian yang ramai, kebaktian yang ramai, ataupun di KRL yang ramai. Kuncinya bukan di KRL-nya, tapi kepadatan penumpangnya. Karena KRL diputuskan tidak dihentikan, minimal kepadatannya harus diatur. Kemarin kami uji acak 300-an penumpang. Kami berharap tidak ada yang positif, ternyata ada tiga penumpang positif. Bayangkan kalau yang dites 10 ribu. Dengan teori 1 persen terinfeksi, berarti ditemukan 100 orang yang positif. Kami telah menyampaikan informasi ini ke Kementerian Perhubungan. Kalau KRL tidak bisa dihentikan, tolong pastikan jaga jarak 1-2 meter diberlakukan.

Mudik berperan cukup besar dalam penyebaran Covid-19. Berapa orang yang telanjur pulang kampung ke Jawa Barat sebelum pemerintah mengeluarkan larangan mudik?

Pemudik Jawa Barat itu biasanya 3,8 juta per tahun. Kemarin yang mencuri-curi mudik lewat jalan tikus dan sebagainya tercatat sekitar 300 ribu orang. Semoga tidak ada tambahan lagi. Sekarang momentum emas karena, pertama, bulan Ramadan, orang-orang insya Allah lebih sabar dan taat, kualitas keimanannya lebih baik. Kedua, mudik sudah dilarang. Jadi, sudah bulan puasa, mudik dilarang, kami terapkan PSBB dan tes masif. Jika empat indikator ini diimplementasikan, saya berharap saat Lebaran seharusnya kami memanen berita baik.

Apakah pemerintah daerah sudah memantau kantong-kantong pemudik?

Laporan sudah masuk dari bupati-bupati, rata-rata memang banyak kasus di desa-desa. Kasus di Sumedang, ada kepala desa positif Covid karena terkena dampak oleh pemudik yang dia data. Ini sekadar menunjukkan bahayanya mudik. Di Ciamis, ada orang tua kena, di Bandung dan Cianjur juga kena. Poinnya adalah, ya sudahlah, 300 ribu sudah bocor, akan kami terapkan protokol isolasi dan lakukan PSBB provinsi. Seharusnya enggak ada imported case lagi. Kami kejar, kami lacak, kami tes. Dengan mengunci dua metropolitan saja, Bodebek dan Bandung Raya, kenaikan jumlah kasus di Jawa Barat relatif stabil. Apalagi kalau kami mengunci seprovinsi, seharusnya jauh lebih baik.

Sejauh mana kesiapan rumah sakit menghadapi potensi melonjaknya jumlah pasien dari para perantau yang mudik lewat jalan tikus?

Kabar baiknya, dari kapasitas rumah sakit yang kami siapkan, per hari ini hanya 55 persen yang dipakai. Jadi masih memadai. Ini belum dengan mengkonversi gedung-gedung non-rumah sakit menjadi rumah sakit. Apalagi kalau nanti ventilator buatan PT Pindad dan PT Dirgantara Indonesia yang harganya murah sudah diproduksi, kesulitan ventilator yang selama ini tipikal di rumah sakit bisa kami kendalikan.

Dengan PSBB diperluas dan tingkat penyebaran melandai, kapan kurva jumlah kasus positif di Jawa Barat diprediksi turun?

Kami melakukan studi dari berbagai universitas. Kemungkinan puncak wabah Jawa Barat pada minggu pertama Juni. Setelah itu, trennya turun. Soal ekonomi, kepada yang setelah PSBB provinsi bisa membuktikan tidak ada penambahan kasus, akan saya deklarasikan sebagai wilayah yang relatif bisa dilonggarkan social distancing-nya. Sekolah mungkin dibuka secara terbatas, pergerakan masih dibatasi, tapi tidak dalam kondisi kedaruratan lagi. Mudah-mudahan ada berita baik dari Jawa Barat karena Jawa Barat ini mewakili Indonesia. Ada desanya, lintas kota, lintas wilayah. Jadi tidak apple to apple dengan Jakarta. Jakarta itu bagi saya pas kalau dibandingkan dengan Surabaya atau Bandung. Dalam pandangan saya, Jakarta adalah kota yang dikasih judul provinsi. Maka kendalinya lebih mudah dan lebih dekat. Tantangan Jawa Barat memang lebih besar.

Berapa total anggaran bantuan sosial yang dialokasikan Pemerintah Provinsi Jawa Barat?

Anggaran Covid Jawa Barat dibagi tiga, yaitu untuk bantuan sosial, belanja alat kesehatan, serta belanja operasional gugus tugas dan lainnya. Digabung dengan dana-dana kota/kabupaten, total Rp 10,6 triliun. Kalau nanti Juli beres, masuk program padat karya sebesar Rp 13 triliun untuk memaksimalkan para penganggur ikut dalam proyek-proyek pemerintah.

Berapa banyak warga Jawa Barat yang terkena dampak ekonomi dari wabah Covid-19?

Terjadi komplikasi situasi. Masyarakat kan sudah masuk ke darurat ekonomi. Nah, dalam darurat ekonomi, mereka berharap mendapat bantuan pemerintah. Kami kemarin berteori bahwa sebelum Covid-19, yang dibantu pemerintah adalah 25 persen terbawah. Di atas 25 persen orang masih hidup pas-pasan, tapi mandiri dan tidak memerlukan subsidi pemerintah. Akibat Covid, si kelompok di atas 25 persen tiba-tiba berjatuhan masuk ke golongan rawan miskin. Masih secara teori, kami menduga maksimal 40 persen. Kenyataannya, per Senin, 27 April lalu, yang mendaftar sebagai warga kelas bawah mencapai 63-67 persen. Jadi bisa dibayangkan hampir dua pertiga penduduk Jawa Barat sekarang tangannya di bawah, meminta bantuan pemerintah. Sungguh berat luar biasa buat kami.

Mekanisme penyaluran bantuan sosial untuk mereka seperti apa?

Sebelum Covid, bantuan hanya dua, yaitu kartu Program Keluarga Harapan dan Kartu Sembako. Setelah Covid ada tambahan enam. Inilah yang membuat komplikasi itu. Enam ini bergerak berdasarkan pintu masing-masing, skemanya sendiri, caranya sendiri, jadwalnya sendiri. Ada yang namanya bantuan sosial tunai dari Kementerian Sosial yang dimulai 20 April. Lalu dana desa dengan regulasi versi Kementerian Desa yang mulai dibagikan 27 April. Ada sembako dari Presiden Jokowi untuk menahan orang agar tidak mudik, itu baru dibagikan 4 Mei. Tiap kementerian punya cara dan waktunya sendiri, termasuk program Kartu Prakerja yang bagi kami agak membingungkan karena dipakai untuk bansos Covid juga. Semua dengan jadwal dan tata cara sendiri yang membuat pemerintah daerah tidak punya banyak suara.

Bagaimana Anda menyikapi keadaan itu?

Pemerintah provinsi punya dua pilihan, yaitu bergerak cepat atau menunggu semua beres dulu. Inilah yang menjadi dinamika karena kami memutuskan di mana ada kesempatan pertama, ya sudah, kami bantu. Makanya kami sudah membantu sejak 15 April untuk 30 ribuan keluarga.

Gubernur Ridwan Kamil memimpin proses pemantauan data yang masuk di Pusat Informasi & Koordinasi Covid-19 di Bandung, Jawa Barat, Selasa (10/3). TEMPO/Prima Mulia

Mengapa ada warga yang menolak bantuan dari pemerintah provinsi tersebut?

Terjadi dinamika di bawah. Ada yang mendapat bantuan lebih dulu dari provinsi, tapi tetangganya belum. Nah, si tetangga ini menyangka, karena belum dapat, dia seolah-olah tidak akan mendapat bantuan sehingga warga kompak menolak. Padahal yang belum mendapat bantuan hari itu bukannya tidak dapat, tapi dia terjadwal untuk bantuan lain di waktu berbeda. Jika komplikasi seperti ini terus terjadi, akan ada masalah sosial di bawah karena pemahaman masyarakat berbeda. Pintu pemerintah tidak satu, itu problemnya. Ada delapan pintu secara resmi. Karena itu, saya usulkan di rapat kabinet, karena masih ada tiga-empat bulan ke depan, tolong bantuannya satu pintu. Kalau tidak bisa satu pintu, minimal satu waktu sehingga warga tidak saling curiga.

Seberapa meresahkan keadaan di masyarakat saat penyaluran bantuan?

Data dari bawah itu juga tidak lengkap. Kami menemukan 1,7 juta data error dan ngaco. Ada namanya, enggak ada kartu tanda penduduknya. Ada nama, menulis nomor induk kependudukannya enggak lengkap, dicek ke server Kementerian Dalam Negeri enggak cocok. Bantuan ini kan dana negara. Kalau datanya saja tidak lengkap, salah nulis, asal nulis, nanti kami kena perkara juga. Jadi lama lagi update datanya. Sampai 29 April lalu, ada 14 kota dan kabupaten yang belum mengembalikan revisi data. Bisa dibayangkan ributnya itu soal data dan timing bantuan. Kami yang sudah siap punya pilihan sulit, antara menunggu data beres tapi lama atau mengirim duluan bantuannya. Seburuk-buruknya kami, kami sudah memberikan bantuan. Kami, tanda kutip, dikritik karena kerjanya terlalu cepat. Bukan dikritik karena enggak kerja dan berpangku tangan atau lelet.

Anda menyatakan pemerintah provinsi sudah menyalurkan bantuan sosial untuk data yang sudah clean and clear. Maksudnya bagaimana?

Mereka yang miskin lama namanya masuk Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang sudah ada resmi. Itu dari dulu selalu disurvei sebagai kelompok miskin lama. Nah, si miskin baru, kelompok di atas 25 persen itu, didefinisikan sebagai non-DTKS. Di data yang baru ada perdebatan apakah dia masuk DTKS. Pemerintah provinsi mengambil kebijakan, kami terima aspirasinya asalkan memberikan surat tanggung jawab mutlak bahwa aspirasi yang disampaikan harus ada tanggung jawab hukum juga supaya enggak ngaco.

Apakah pembaruan data diterima dari kabupaten dan kota?

Iya. Bayangkan, yang biasa dibantu pemerintah provinsi itu 2,4 juta keluarga atau sekitar 9 juta jiwa. Sekarang melompat datanya menjadi 9,4 juta keluarga atau 38 juta jiwa. Jadi 38 juta dari 50 juta jiwa warga Jawa Barat sekarang meminta tanggungan negara. Nah, data yang clear itu adalah data yang disebut DTKS. Itu yang kami kirim. Orang miskin baru datanya sampai kemarin masih di-update, direvisi, diverifikasi. Bayangkan dilema saya. Kalau menunggu semua beres, saya kehilangan 15 hari untuk menolong mereka. Mending saya kirim bantuan kepada data yang sudah clean dulu. Minimal dengan hampir 30 ribu paket bahan kebutuhan pokok yang sudah terkirim dari saya ada 30 ribu keluarga terselamatkan.

Dengan gelombang pemutusan hubungan kerja yang bertambah, berapa kira-kira penambahan jumlah orang miskin baru di Jawa Barat?

Saya hanya bisa mengukur dari data yang diajukan ketua rukun tetangga-rukun warga dan kepala desa. Kami definisikan korban PHK, orang yang tidak dapat penghasilan dan sebagainya, dari 2,4 juta melompat ke 9,4 juta keluarga. Jadi ada 7 juta keluarga yang terkena dampak ekonomi. Nah, di dalamnya ada persentase karyawan di-PHK, usaha kecil-menengah yang kehilangan penghasilan, mereka yang kehilangan bisnisnya. Kalau pakai data yang kami punya, ada kenaikan 7 juta keluarga yang kini jatuh ke rawan miskin.



MOCHAMAD RIDWAN KAMIL
 | Tempat dan tanggal lahir: Bandung, Jawa Barat, 4 Oktober 1971 | Pendidikan: S-1 Teknik Arsitektur Institut Teknologi Bandung (1990-1995); S-2 Master of Urban Design University of California, Berkeley, Amerika Serikat (1999-2001) | Karier: Arsitek (sejak 2001), Pendiri Firma Arsitek Urbane Indonesia (2004), Dosen Tidak Tetap Jurusan Arsitektur ITB, Wali Kota Bandung (2013-2018), Gubernur Jawa Barat (2018-2023) | Penghargaan: Juara International Young Design Entrepreneur of the Year dari British Council Indonesia (2012), Pikiran Rakyat Award 2012 untuk Tokoh Muda Kreatif (2012), Urban Leadership Award dari University of Pennsylvania, Amerika Serikat (2013)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus