Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUKULAN wabah Covid-19 terhadap ekonomi Indonesia ternyata jauh lebih berat ketimbang perkiraan banyak kalangan. Pada kuartal I 2020, ekonomi hanya tumbuh sebesar 2,97 persen secara tahunan. Sedangkan pemerintah sebelumnya mematok estimasi pertumbuhan hingga 4,6 persen. Realisasi pertumbuhan serendah itu amat di luar dugaan. Sebab, Indonesia baru terkena gebukan langsung Covid-19 pada Maret, bulan terakhir kuartal I 2020.
Itu jelas sinyal buruk. Dampak negatif Covid-19 pada ekonomi selama kuartal II ini jelas akan makin dalam. Hingga pekan lalu, sudah 4 provinsi dan 22 kabupaten/kota yang menerapkan pembatasan sosial berskala besar demi menghambat meluasnya wabah. Sektor informal sampai mal sementara harus menghentikan aktivitas. Akibatnya, produktivitas ekonomi secara keseluruhan menurun tajam, banyak orang kehilangan penghasilan, dan pada gilirannya pertumbuhan ekonomi akan merosot. Pemerintah bahkan memperkirakan, pada skenario terburuk, ekonomi bisa mengerut sebesar minus 0,4 persen pada 2020.
Sedapat mungkin pemerintah tentu sekuat tenaga menahan agar ekonomi tak terperosok sedalam itu. Respons yang sudah berjalan adalah menggelontorkan dana besar-besaran. Ada alokasi anggaran Rp 405 triliun yang mengalir lewat berbagai program.
Pemerintah sudah memberikan berbagai stimulus kepada dunia usaha. Ada pula persiapan dana untuk mencegah ambruknya industri keuangan. Banyak usaha yang gagal bisa saja melambungkan kredit macet. Melonjaknya tingkat pengangguran juga berpotensi menyebabkan berbagai kredit konsumsi, seperti kredit rumah ataupun kendaraan, seret.
Ada juga berbagai program jaring pengaman sosial bagi warga kurang mampu. Bantuan sosial dapat menyuntik daya beli warga agar tetap mampu memenuhi kebutuhan pokok. Walhasil, tingkat konsumsi masyarakat tidak jatuh terlampau dalam. Selama ini, konsumsi rumah tangga merupakan komponen penting pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jika pemerintah dapat mendongkraknya, ada dorongan bagi ekonomi sehingga tetap bergulir.
Persoalannya, stimulus saja sepertinya tak akan cukup mendongkrak ekonomi. Banyak program bantuan yang pelaksanaan ataupun efektivitasnya masih jauh dari optimal. Sementara itu, kemampuan keuangan pemerintah juga terbatas. Tambahan pemberian stimulus berarti tambahan utang pemerintah. Jika utang pemerintah melejit tak terkendali, justru akan muncul masalah yang lebih berat pada ekonomi. Kredibilitas pemerintah bisa jatuh di mata investor, peringkat utang Indonesia merosot, dan pada gilirannya ekonomi bisa makin terbebani.
Itu sebabnya sekarang pemerintah sedang merancang “jalan tikus” untuk memintas kemacetan ini: segera membuka ekonomi kembali normal, kendati tak senormal sebelum wabah. Pemerintah sudah merancang skenario. Mulai awal Juni mendatang, secara berangsur-angsur berbagai usaha buka kembali.
Idealnya, keputusan membuka kembali ekonomi haruslah didasari data dan fakta bahwa wabah memang sudah mereda. Tapi kondisi ideal itu sulit terpenuhi. Memang, sudah ada upaya untuk meningkatkan jumlah tes. Namun itu tetap belum cukup untuk mendukung lahirnya kebijakan yang tak terbantahkan berdasarkan data.
Di seluruh dunia juga berlangsung perdebatan serupa. Semua ingin ekonomi segera kembali bergerak. Pasar finansial yang tak sabar juga yakin banyak negara akan segera membuka kembali ekonominya. Itu sebabnya di mana-mana pasar tak lagi lesu merana. Ada optimisme.
Pemerintah Indonesia kini harus segera mengambil keputusan. Tentu, ada risiko besar jika normalisasi ekonomi malah meledakkan wabah. Sebaliknya, membiarkan ekonomi terpasung juga mengandung risiko tak terperikan. Begitulah. Inti pembuatan kebijakan publik memang menimbang dengan saksama mana yang lebih besar, risiko atau manfaat. Kali ini, pemerintah harus melakukannya dalam ketidakpastian yang amat dalam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo