Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Wawancara Hasnan Habib: "Di ABRI Ada yang Aktif Berdagang Senjata"

12 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TELEPON di rumah Hasnan Habib selalu berdering saban ada peristiwa militer yang memicu opini publik: entah mutasi, isu depolitisasi TNI, atau sekadar peredaran senjata resmi militer secara gelap di masyarakat. Publik dan media massa—terutama—masih gemar menyambangi jenderal purnawirawan berbintang tiga ini untuk meminta analisis atau pendapatnya, kendati ia sudah menanggalkan baju dinas sejak 20 tahun silam. Hasnan adalah satu dari sedikit tentara yang pemikiran dan intelektualitasnya banyak disumbangkan kepada pendidikan dan perencanaan jangka panjang TNI. Ia pernah mendesain Konsep Strategi Jangka Panjang Indonesia—sebuah pemikiran yang ditulisnya sejak pertengahan 1970-an.

Hasnan lahir di Maninjau, Sumatra Barat, 3 Desember 1926. Ia pernah belajar di Fakultas Ekonomi Universitas Parahyangan, Bandung. Namun, militer adalah dunia Hasnan yang sesungguhnya. Ia masuk Akademi Militer Yogyakarta (1945-1946) dalam usia muda, 19 tahun. Selepas kuliah, ayah empat anak ini berdinas lima tahun selama revolusi fisik di Sumatra Timur.

Dari Sumatra, ia pindah ke Cimahi, Jawa Barat. Di sana ia menjadi Komandan Instruktur dan Kepala Bidang Pendidikan dan Latihan Perwira Infanteri (1951-1957). Pada 1962, ia berangkat ke Yugoslavia, belajar di War College Yugoslavia (1962-1964). Pengalaman di bidang pendidikan membuat Hasnan, yang lahir dari sebuah keluarga guru, dikenal pula sebagai pendidik. Ia ikut mendesain kurikulum pendidikan tinggi militer. Salah satu anjurannya—kemudian ditolak pimpinan ABRI—adalah sosialiasi dan diskusi para taruna Akabri dengan para mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan Universitas Airlangga, Surabaya.

Jenderal yang aktif berbicara di seminar ini termasuk perwira tinggi militer yang well-rounded, mengenyam penugasan ke berbagai tempat. Ia pernah ditempatkan sebagai anggota MPR (1973-1978), dan kemudian menjadi duta besar RI Kerajaan Thailand hingga 1982. Ia juga merangkap wakil tetap RI di ESCAP (Economic and Social Commission for Asia Pacific), sebuah komisi sosial ekonomi untuk kawasan Asia Pasifik. Dari Bangkok, ia pindah ke 2020 Massachusetts Avenue NW, sebuah kawasan elite di Washington, DC. Di sini, Hasnan dan keluarganya berdiam semasa ia menjabat duta besar RI untuk Amerika Serikat, merangkap Direktur Eksekutif IMF (1982-1983).

Berbagai pengalaman hidup melahirkan sosok Hasnan sebagai tentara, guru, pemikir, perencana, dan diplomat yang mahir. Dan hingga usia 74 tahun, ia tidak pernah berhenti berpikir. Di kediamannya di kawasan elite Pondok Indah, Jakarta, ia sering tenggelam di depan layar komputer dalam sebuah ruang kerja penuh buku. Di kediaman itu pula, ia menerima wartawan TEMPO Edy Budiyarso, Johan Budi S.P., dan Hermien Y. Kleden untuk sebuah wawancara khusus.

Petikannya:


Bagaimana Anda melihat mutasi di tubuh TNI pekan lalu, yang berlangsung dalam waktu relatif singkat?

Mutasi TNI sekarang menggambarkan pimpinan TNI sedang mencari-cari format dan memasang orang-orang yang pas. Ini akibat desakan reformasi yang kuat dari dalam maupun luar negeri.

Format yang pas itu kira-kira seperti apa?

Dalam mencari format, TNI berhubungan dengan dua lembaga penting, yaitu Asisten Perencanaan Umum (Asrenum) yang dipegang Agus Wirahadikusumah dan Sekolah Staf dan Komando (Sesko) TNI di bawah Letjen Agus Widjaja. Asrenum, bekerja sama dengan asisten perencanaan angkatan lain, memberikan cetak biru menyeluruh. Sedangkan Sesko TNI sebagai lembaga think tank membuat program dan perencanaan. Kedua lembaga ini menjadi lokomotif di tubuh TNI. Jadi, kalau tidak ada kedua orang ini, saya tidak tahu bagaimana jalannya reformasi di tubuh TNI.

Apakah pergeseran itu ada hubungannya dengan pernyataan Agus Wira yang kontroversial tentang pembubaran kodam?

Makanya, Agus dijadikan Pangdam Wirabuana untuk merasakan pentingnya kodam. Agar dia tutup mulutlah. Sekarang dia menjadi Pangkostrad. Kalau Agus Widjaja diletakkan di jabatan Kepala Staf Teritorial (Kaster), itu agar dia tahu apakah betul jabatan asisten teritorial itu perlu dihapus.

Agus Wira baru dua bulan menjabat Pangdam (Wirabuana) sebelum menjadi Pangkostrad, menggantikan Letjen Djaja Suparman yang juga baru beberapa pekan menduduki jabatan itu. Apakah ini pola mutasi yang efektif?

Sejak periode Wiranto, ada pejabat yang bisa dimutasi sampai lima kali dalam setahun. Letjen Johny Lumintang, misalnya. Dari Asisten Operasi Pangab ia menjadi Pangkostrad. Tapi hanya beberapa jam. Setelah itu ia menjadi Wakasad, sebelum beralih ke kursi Gubernur Lemhannas. Dari dulu, mutasi harus berdasarkan tour of duty dan tour of area. Nah, mutasi yang sangat cepat itu membuat otak saya tidak mengerti.

Apakah benar, berbagai pergeseran ini adalah semacam upaya dewirantoisasi?

Tidak ada lagi mutasi berdasarkan perasaan suka atau tidak suka di TNI. Masa itu sudah dilewati ABRI sejak 1974, ketika kita dapat mengintegrasikan ABRI.

Jadi, Anda tidak percaya ada klik dan perkoncoan di antara para perwira TNI, khususnya kelompok Wiranto?

Bapakisme semacam itu sudah tidak ada. Kalaupun ada perwira tinggi yang diuntungkan oleh Wiranto, bukan berarti dia bisa melawan (untuk membela Wiranto). Yang paling berpengaruh di TNI sekarang, ya, Panglima TNI Laksamana Widodo. Jadi, kalau ada yang masih bertanya apakah Wiranto masih punya orang, saya katakan Wiranto has finished. Dia sudah selesai.

Seberapa jauh kasus Tim-Tim mempercepat selesainya Wiranto?

Sejak kerusuhan di Tim-Tim pascajajak pendapat, TNI sudah tidak mungkin dapat menjaga keamanan di sana. Tetapi hal itu tidak disampaikan oleh Wiranto, sampai kemudian ia mengatakan prajurit tak bisa lagi mengatasi keadaan karena masalah psikologis. Itu bukan alasan profesional. Nah, ia juga tidak mengambil alih komando sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI dalam peristiwa yang sudah jadi masalah internasional itu. Sebuah peristiwa yang tanggung jawabnya tak bisa diserahkan ke komandan lokal.

Agus Wira pernah melontarkan ucapan agar Wiranto mundur sehubungan dengan tanggung jawabnya dalam kasus Tim-Tim. Apa komentar Anda?

Pada dasarnya tidak ada perbedaan pendapat antara Wiranto dan Agus Wira.

Tentang modernisasi di TNI, Anda masuk salah satu penggagas modernisasi di tubuh militer kita melalui kurikulum militer yang Anda susun bersama para kolega Anda. Apa saja idenya?

Kurikulum formalnya adalah di luar masalah militer, para perwira kita harus mempelajari masalah sosiologi, hukum, ekonomi, politik, serta kebudayaan dan adat-istiadat negara lain. Mereka harus bisa bergaul dengan para intelektual di luar kampus militer. Antara lain, saya menganjurkan ada orientasi diskusi dan pengenalan dengan para mahasiswa dari universitas, misalnya antara perwira Akabri dan mahasiswa UGM serta Unair. Sayang, ide ini tak bisa diteruskan karena pimpinan ABRI tidak setuju.

Sejak kapan isu modernisasi ini dikembangkan?

Ide modernisasi dalam tubuh militer kita sudah dimulai sejak pengakuan kedaulatan RI tahun 1950. Saat itu, Pak (Jenderal) Nasution mulai memodernisasi angkatan perang. Pada waktu itu Belanda memberikan bantuan militer Nederlandse Militaire Missie (NMM) untuk memodernisasi angkatan perang, dari gerilyawan menjadi tentara reguler.

Kini TNI mengakui supremasi sipil. Apakah hal ini bisa berlangsung terus? Atau justru potensial mengundang semacam peristiwa 17 Oktober 1952, saat sejumlah tentara, termasuk Jenderal Nasution, meminta Sukarno mundur dari jabatan presiden?

Dari dulu angkatan perang kita sudah menghormati supremasi sipil. Setelah clash kedua (1949) pemerintahan RI di Jawa adalah pemerintahan militer: ada gubernur, bupati, dan camat militer. Sedangkan di Sumatra orang sipil yang menjadi gubernur militer. Sehingga, walaupun ada perbedaan pendapat antara tentara dan politisi sipil—misalnya antara Bung Karno dan Pak Dirman—pada saat terakhir Bung Karno selalu menang. Pak Dirman selalu tunduk kepada pemerintahan sipil.

Tapi bukankah supremasi sipil lantas diambil alih oleh militer selama berpuluh-puluh tahun?

Karena supremasi sipil gagal. Para politisi tidak berhasil membentuk pemerintahan yang kuat. Setiap hari mereka berkelahi terus dan pernah pemerintahan tidak berjalan sampai delapan bulan, disusul pecah pemberontakan di daerah-daerah. Eksperimen ini gagal dan kita kembali ke UUD 1945 pada 1959. Padahal, UUD 1945 mengandung dimensi otoritarian yang sebetulnya disadari oleh Bung Karno sendiri. Hal ini berlanjut dan memuncak dalam pemerintahan Orde Baru. Soal supremasi sipil, saya bukan cuma setuju, tapi juga sudah saya katakan sejak dulu.

Apakah itu berarti tentara akan sungguh-sungguh kembali ke barak?

Istilah kembali ke barak itu menyakitkan, seakan-akan TNI adalah tentara bayaran. TNI selalu bangga sebagai tentara rakyat. Dan tentara rakyat itu pulangnya ke rumah.

Tentang persenjataan, Anda pernah menjadi negosiator senjata ABRI. Adakah celah yang menyebabkan senjata organik ABRI bisa tersebar di kalangan sipil, seperti dalam kasus anak mantan Kabakin, Harjogi Maulani?

Saya tidak pernah tahu jalur perdagangan senjata gelap. Tapi, kalau tentara yang nakal, mestinya ada saja. AK-47 yang dipegang anak Maulani itu senjata buatan Rusia yang khusus untuk tempur jarak dekat.

Jenis senjata apa yang paling menarik diperdagangkan?

Bahan peledak dan mesiu. Kita memiliki pabrik bahan peledak di Tasikmalaya, Jawa Barat. Selain itu, banyak jenis senjata rakitan, karena di beberapa daerah di Indonesia dikenal sejak zaman baheula bisa membuat senjata.

Bagaimana cerita negosiasi jual-beli senjata yang pernah Anda lakukan?

Umumnya dalam skala besar. Negosiasi awal dilakukan antarpemerintah. Pihak militer menyertakan Departemen Keuangan dan Bappenas. Kami hanya paham jenis dan spesifikasi yang dibutuhkan tentara, tapi mereka yang ahli tawar-menawar. Belakangan, ada orang yang masuk ke bisnis ini. Mereka menjual suku cadang dan menyediakan perbengkelan. Tapi saya tidak mau menyebut namanya. Di ABRI, ada juga orang yang aktif berdagang senjata.

Pernahkah ada penawaran penjualan senjata ''di bawah meja" dari Adnan Khasogi, misalnya?

Ada juga. Banyak, malah. Umpamanya, dulu kita akan membeli pesawat tempur Amerika yang sudah dimodifikasi Israel.

Kenapa harus Israel?

Sebab, dalam beberapa contoh, sistem persenjataan Israel jauh lebih canggih. Itu terjadi pada 1979, ketika saya menjadi duta besar RI di Thailand. Suatu hari saya ditelepon mantan Panglima AU, Pak Saleh Basarah, yang menjadi duta besar RI di London. Dia tanya, ''Has, apa kamu sudah baca tulisan di Washington Post. Katanya, kita mau membeli Sky Hawk dari Israel?" Saya langsung berpikir, wah, ini gawat. Indonesia kan pro-Arab, nanti bisa dianggap main mata dengan Israel.

Lalu apa yang Anda lakukan?

Saya menghubungi Jakarta dan saya katakan ini berbahaya. Kalau hal itu ketahuan, dampak internasionalnya terhadap Indonesia akan besar. Jalan keluarnya? Kita ubah rencana itu, dengan membeli senjata dari Amerika. Tapi pesawat AS yang sudah dimodifikasi itu ternyata juga tidak efektif. Proses pembelian dilakukan langsung oleh dua orang perwira ABRI. Anak saya, seorang kadet penerbang, menjadi korban. Dia meninggal dalam kecelakaan pesawat itu, dalam penerbangan Biak-Ujungpandang.

Benarkah Anda pernah menceritakan pembelian pesawat Amerika ini kepada Habibie?

Betul. Dia sangat marah dan mengatakan pembelian pesawat rongsokan adalah perbuatan ilegal. Ia lantas menyampaikan hal itu ke Pak Harto. Apa jawaban Pak Harto? ''Ya, kecelakaan adalah hal biasa." Jadi, Pak Harto tahu proses pembelian senjata dan pesawat itu. Jadi, memang ada jalur pembelian senjata di luar prosedur.

Siapa yang membayar belanja senjata di luar jalur resmi itu?

Jelas, uangnya tidak berasal dari kantong Pak Harto. Dia selalu memiliki dana khusus. Pak Harto memang superman, bisa memerintahkan seorang perwira tinggi tanpa diketahui atasan si perwira.

Anda kerap ke luar negeri untuk berbelanja senjata?

Saya lebih banyak di dalam negeri. Tapi, sebagai Asrenum Dephankam (1970-1973), saya merencanakan semua perlengkapan tentara. Dalam kapasitas ini, saya pernah ke Washington untuk negosiasi perencanaan persenjataan ABRI yang mungkin bisa didapatkan dari AS. Saya membawa serta perencanaan 25 tahun (1975-2000). Di sana saya bertemu dengan Menteri Luar Negeri Henry Kissinger dan Senator Alexander Haig. Itu terjadi sekitar tahun 1973. Dan mereka antusias membantu.

Mengapa? Itu kan menyangkut jumlah senjata yang besar?

Sebab, mereka melihat bahwa rezim militer berkuasa tapi anggaran pembangunan Indonesia yang paling besar tidak untuk militer melainkan ekonomi. Pada Repelita I, anggaran militer di APBN malah tidak sampai satu persen.

Tapi yang paling sulit kan meyakinkan Kongres Amerika. Anda berhasil melakukannya?

Justru itu. Yang berkuasa memang Kongres. Salah satu anggotanya bertanya untuk apa membangun angkatan bersenjata kalau di Indonesia tidak ada lagi musuh. Saya katakan, kami kan perlu senjata juga untuk memodernisasi perlengkapan militer. Jadi, kalau boleh kami minta pesawat-pesawat AS sisa Perang Vietnam ketimbang tidak terpakai. Tapi Kongres menolak. Pesawat itu kemudian diambil Vietnam Utara.

Kabarnya, Anda pernah berhasil meyakinkan Nixon untuk membeli kapal perang murah?

Betul. Itu ''kongkalikong" dengan Presiden Nixon. Jadi, begini, kita mau membeli empat kapal perusak sisa Perang Dunia II. Kalau melalui Kongres, sudah pasti sulit. Maka, dalam suatu kesempatan saya berbicara dengan Presiden Nixon tentang hal ini. Dia tanya, ''Berapa kamu punya uang?". Lalu dia bilang lagi, ''Begini saja. Kamu cukup bayar US$ 200 ribu." Ternyata, kita tidak perlu benar-benar membayar. Kapal itu kita terima gratis. Nixon hanya berpesan, kalau saya ditanya, bilang saja semuanya sudah dibayar.

Berapa harganya pada waktu itu?

Satu kapal perusak untuk tipe itu harganya sekitar US$ 75 juta. Katanya ia melakukan itu karena senang kepada Indonesia (yang antikomunis).

Masa, tidak ada barter apa-apa untuk ''hadiah" semahal itu?

Tidak ada. Betul-betul hanya karena Nixon (dan Amerika) senang kepada Indonesia. Menurut mereka, kita mampu menjaga keamanan di dalam negeri dan menjalankan progam ekonomi dengan baik. Jadi, tidak ada hubungannya dengan konsesi tertentu atau ketangguhan diplomasi apa pun.

Kapan kapal itu dikirim ke Indonesia?

Saya lupa tahunnya. Tapi kapal itu dikirim setahun setelah saya dan Nixon bertemu. Pak Harto, sih, setuju-setuju saja. Apalagi kan kita tidak perlu keluar uang. Waktu itu Pak Harto masih banyak bertanya kepada orang lain tentang hal yang tak diketahuinya, termasuk soal senjata.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus