Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Jangan Jadikan Ulama Pemadam Kebakaran

Rais Syuriah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Australia dan Selandia Baru, Nadirsyah Hosen, berbagi pandangannya tentang bagaimana umat muslim, khususnya di Indonesia, bersikap dalam menghadapi pandemi Covid-19. Dosen ilmu hukum dan fiqih di Monash University, Australia, ini memanfaatkan media sosial untuk berdakwah. Pria yang akrab disapa Gus Nadir ini menyerukan mayoritas muslim di Tanah Air untuk lebih bersuara dalam menentang paham radikal dan ide khilafah. Ia juga mendesak pemerintah bertindak serius dalam menangkal penyebaran radikalisme.

23 Mei 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Nadirsyah Hosen di Australia, 6 Mei 2020./Dok. Pribadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Intelektual muda Nahdlatul Ulam Nadirsyah Hosen mengatakan komunitas beragama di penjuru dunia terbelah dalam menyikapi pandemi Covid-19.

  • Menurut Nadirsyah, pemerintah sejak awal seharusnya melibatkan para ulama sehingga sosialisasi kebijakan penanganan wabah corona bisa lebih efektif diterima umat.

  • Nadirsyah Hosen mengatakan perkembangan Internet dan media sosial telah mengubah pola interaksi antara pemuka agama dengan umatnya.

NADIRSYAH Hosen memandang masyarakat terbelah menjadi dua kelompok besar selama masa pandemi Covid-19. Menurut intelektual muda Nahdlatul Ulama itu, kelompok pertama adalah mereka yang menganggap virus corona tak perlu ditakuti. Ketakutan semata hanya kepada Tuhan. Di mata orang-orang ini, larangan menjalankan ritual beragama di tempat ibadah tak beralasan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adapun kelompok kedua adalah mereka yang mendahulukan pendekatan kemanusiaan dalam beragama. Bagi mereka, Tuhan menginginkan manusia beragama dengan aman, nyaman, dan sehat sehingga mereka tidak alergi terhadap, misalnya, larangan salat berjemaah di masjid. “Fenomena ini terjadi di semua agama dan di seluruh dunia,” kata Nadirsyah dalam wawancara khusus dengan Tempo, Rabu, 6 Mei lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nadirsyah, 46 tahun, mengatakan pandemi Covid-19 menunjukkan bagaimana ketegasan pemerintah sangat mempengaruhi sikap warganya. Di negara tempatnya bermukim, Australia, pemerintah menegakkan aturan di segala bidang. “Masjid, gereja, kuil, mal, kasino, bar, klub, hingga tempat prostitusi ditutup dan diterapkan ke semua penjuru Australia sehingga fair,” ujar Rais Syuriah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Australia dan Selandia Baru itu.

Pria yang akrab disapa Gus Nadir ini tumbuh dari latar belakang pesantren sekaligus menggeluti dunia akademis Barat. Ia orang Indonesia pertama dan satu-satunya yang menjadi dosen tetap di Fakultas Hukum Monash University. Sejak pertengahan 2015, ia mengajar ilmu hukum umum dan fikih di kampus tersebut. Ia menjadikan media sosial sebagai wadah berdakwah, menyebarkan Islam damai dan nilai kemajemukan kepada generasi muda. Pandangannya yang menentang ide khilafah tak jarang membuatnya dicap liberal, sekuler, bahkan sesat.

Dari kediamannya di Melbourne, Nadirsyah berbincang dengan wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi, melalui konferensi video. Selama hampir dua jam ia menjelaskan pentingnya peran pemuka agama dalam menghadapi pandemi, tarik-ulur soal mudik, hingga tantangan meladeni umat di era maraknya media sosial.

 

Anda menyebutkan masyarakat terbelah menjadi dua kelompok dalam menyikapi pandemi. Apakah fenomena ini sudah mengkhawatirkan karena banyak orang berkukuh beribadah berjemaah?

Kalau kita mau fair, ternyata dua pola pemahaman itu juga ada di setiap kelompok atau organisasi kemasyarakatan Islam. Misalnya di kalangan Jamaah Tabligh, ternyata mereka terpecah. Ada pimpinan jemaah yang mengeluarkan fatwa tidak melakukan aktivitas di masjid, tapi ada yang masih membolehkan. Di NU juga seperti itu, masih ada sejumlah kiai di daerah yang tetap melaksanakan salat berjemaah di masjid. Kalau mau fair memang tidak menunjuk pada satu kelompok ataupun agama tertentu.

Apa yang seharusnya dilakukan para pemuka agama?

Pandemi corona ini persoalan kesehatan. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para pendeta, pastor, biksu, kiai, ustad, mereka harus menyadari batas dirinya. Mereka berwenang dalam wilayah agama. Mereka paham sekali kitab suci. Tapi, begitu melintasi persoalan kesehatan, mereka seharusnya bersikap lebih rasional dan menerima saran dan nasihat dari para dokter. Yang kita khawatirkan ada sikap egoisme dalam beribadah, bahwa yang penting beribadah, yang penting selamat ke surga, selesai urusan. Perkara orang lain terkena dampaknya, ya itu urusannya dengan Tuhan. Sedangkan menurut kelompok kedua tadi, ajaran agama mengatakan tidak boleh membikin mudarat kepada diri kita, apalagi orang lain.

Dari sudut pandang fikih, bagaimana seharusnya umat bersikap terhadap anjuran atau larangan dari pemerintah?

Bukan hanya dari pemerintah, sejumlah ulama juga mengeluarkan fatwa. Tapi, lagi-lagi, ibadah itu sangat personal. Ada sekelompok orang yang menganggap ibadah adalah relasi dengan Tuhan. Karena itu, tidak bisa diintervensi orang lain atau pemerintah. Padahal agama membuka ruang untuk fleksibel. Misalnya salat Jumat, menurut agama memang bisa diganti dengan salat zuhur ketika ada pertimbangan tertentu. Salat berjemaah juga bisa di rumah dengan keluarga, yang pahalanya juga sama. Lalu soal saf, misalnya, yang dibikin berjarak satu meter. Kalau soal saf saja bisa fleksibel, padahal di aturan agama saf itu seharusnya rapat, kenapa mereka tidak mau fleksibel salatnya di rumah saja? Pemerintah tidak boleh melanggar urusan personal dengan melarang salat sama sekali. Tapi, menurut saya, pemerintah belum mengintervensi karena yang dilarang kumpul-kumpulnya, bukan salatnya.

Adakah prinsip-prinsip dalam hukum Islam yang relevan dengan kondisi saat ini?

Ada yang dinamakan maqashid syariah, tujuan pensyariatan hukum Islam. Ada lima tujuannya, yaitu menjaga agama, diri, harta, keturunan, dan akal. Ulama sepakat soal ini. Yang dipersoalkan adalah urutannya. Ada yang mengatakan urutan pertama adalah agama. Jika empat hal lain dianggap bertentangan dengan agama, agama dimenangkan. Tapi ada pendapat yang mengatakan yang pertama justru menjaga diri, bukan agama. Jadi kalau aturan agama bertentangan dengan menjaga diri, menjaga diri diutamakan.

Penerapannya seperti apa?

Kalau kata dokter sebaiknya Anda tidak berpuasa berdasarkan alasan medis, dalam agama dibenarkan tidak berpuasa karena sakit. Ini menunjukkan aturan menjaga diri lebih diutamakan ketimbang menjaga agama. Agama membuka ruang bagi manusia untuk menjaga dirinya. Karena itu, keluarlah satu kaidah dari para ulama, yaitu sihhatul abdan muqoddimatun ‘ala shihhatil adyan. Kesehatan badan kita diutamakan daripada kesehatan agama. Artinya, badan kita sehat dulu baru bisa beribadah.

Umat Islam menjadi minoritas di Australia. Seperti apa masyarakat di sana menyikapi pandemi?

Sama saja. Fenomena dua pola tadi itu ada di semua negara dan semua agama. Sekarang yang membedakan adalah ketegasan pemerintahnya. Masjid, gereja, kuil, mal, kasino, bar, klub, dan tempat prostitusi di sini ditutup. Pasar yang menjual bahan kebutuhan pokok tetap dibuka dan diatur jaraknya. Ini diterapkan ke semua penjuru Australia sehingga fair.

Bagaimana Anda melihat penerapan aturan serupa di Indonesia?

Komunikasi pemerintah harus diperbaiki. Aktivitas di masjid dilarang, sementara orang-orang masih berjubel di pasar tradisional. Beberapa hari lalu ada berita tentang 500 tenaga kerja asing akan masuk Sulawesi Tenggara, sampai gubernurnya menolak. Ini kan menodai perasaan umat. Kita dilarang mudik, tidak boleh ke masjid, tapi tenaga kerja asing bisa masuk bebas. Ini memberi sinyal tidak baik. Akhirnya orang bilang, ya sudahlah, kita melanggar saja aturan pemerintah, wong pemerintah melanggar aturannya sendiri.

Bagaimana Anda menilai peran pemuka agama dalam penanganan pandemi?

Pemerintah sering membutuhkan ulama ataupun tokoh agama kalau sudah terjadi “kebakaran”. Jadi fungsi ulama hanyalah pemadam kebakaran. Ibaratnya, kalau kata para kiai, para ulama itu seperti diminta mendorong mobil mogok. Begitu mobilnya sudah bisa jalan, kami ditinggal.

Apa yang semestinya dilakukan pemerintah?

Seharusnya ulama dilibatkan sejak awal. Misalnya soal mudik. Mudik itu bukan aturan agama. Tidak ada di Al-Quran, hadis, dan kitab fikih. Tapi mudik adalah tradisi yang berkenaan dengan perayaan besar umat Islam, yaitu Idul Fitri. Ada 20 juta orang yang ingin mudik. Tanpa aturan dari pemerintah, ulama tidak bisa melarang karena itu bukan wilayahnya. Tapi kalau pemerintah sejak awal melarang mudik, ulama bisa menenangkan umat agar mematuhi larangan mudik dengan bahasa “berdasarkan kemaslahatan”, “agar menghindari kemudaratan”. Jangan sampai setelah ricuh dan gaduh baru ulamanya dipanggil.

Sebagai Rais Syuriah Pengurus Cabang Istimewa NU di Australia dan Selandia Baru, bagaimana Anda memberi tahu warga nahdliyin soal mudik?

Tidak perlu diberi tahu karena sudah ada larangan terbang. Pemerintah Australia enggak tahu mudik. Mereka bilangnya begini: “Kami tidak melarang kalian pulang, silakan, masih ada pesawat terbang. Tapi nanti kalau mau pulang lagi ke Australia, belum tentu bisa. Bisa jadi bandar udara kami tutup atau harus ada isolasi.” Jadinya ribet. Karena itu, tugas saya sebagai Rais Syuriah lebih mudah mengatakan kepada umat untuk tidak mudik.

Nadirsyah Hosen bersama Yenny Wahid dalam acara diskusi buku karyanya di Pesantren Takhasus Institut Ilmu Al Quran, Jakarta, Oktober 2019./Dok. Pribadi

 

Mengapa Anda memilih mendalami ilmu hukum umum dan fikih?

Saya tertarik mempelajari ilmu hukum karena abah saya (mendiang Ibrahim Hosen) guru besar hukum Islam dan pernah menjadi Ketua MUI sekaligus Ketua Komisi Fatwa MUI sebelum era Kiai Ma’ruf Amin. Saya memang didesain mengikuti jejak langkahnya. Hanya, berbeda dengan beliau, saya juga belajar ilmu hukum umum. Saya merasa harus ada yang menjembatani kedua disiplin ilmu ini. Antara para kiai yang ahli fikih dan para pakar hukum sering terjadi diskusi akibat perbedaan konsep. Makanya, saya kuliah dobel sejak S-1 dan direstui abah saya.

Mengapa Anda memilih mengajar ilmu hukum dan fikih di Australia?

Abah berpesan agar saya menjadi khadimul ilmi atau pelayan ilmu. Beliau pernah mengatakan, “Abah hanya khadimul fiqh atau pelayan fikih, hanya tahu soal fikih. Kamu harus belajar ilmu lain.” Maka saya belajar ilmu hukum umum. Kedua, abah saya berpesan agar saya menaklukkan dunia Barat. Jadi, dengan mengajar di Australia, saya punya kesempatan menjelaskan Islam secara benar, dengan perspektif keilmuan yang benar. Saya harus menulis buku dan artikel tentang hukum Islam untuk meluruskan kesalahpahaman orang-orang Barat tentang Islam.

Mengapa tidak meneruskan mengajar di Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta dan Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an yang didirikan ayah Anda?

Kata orang-orang, saya ibarat putra mahkota yang kabur, he-he-he…. Ada peninggalan orang tua, tapi saya tidak meneruskannya dan malah ke Australia. Yang saya ajarkan di Australia tentang hukum Islam adalah apa yang saya pelajari dari abah saya. Saya melanjutkan perjuangan beliau dengan cara berbeda. Saya mengajarkan pemahaman hukum Islam yang fleksibel dan mudah kepada orang-orang Australia. Di sini, pakar yang menguasai hukum Islam dan hukum syariah tidak banyak.

Apa kesalahpahaman tentang Islam yang kerap muncul di kalangan orang Barat?

Mereka menganggap hukum Islam tidak berperikemanusiaan, melanggar hak asasi manusia, merendahkan wanita, melegitimasi orang untuk membunuh siapa saja. Anggapan ini yang perlu diluruskan. Tapi, pada saat yang sama, kita harus akui kesalahpahaman itu juga terjadi di kalangan umat Islam. Mereka yang merasa hukum Islam itu memang merendahkan perempuan, menganggap orang Islam boleh berperang kapan saja, ingin mendirikan kembali khilafah. Lewat media sosial dan mengajar di kampus di luar negeri, saya mencoba meluruskan kesalahpahaman kedua belah pihak.

Seperti apa tantangannya?

Tidak mudah memang. Saya alami yang banyak protes kepada saya adalah umat Islam sendiri. Sedangkan orang Barat justru lebih bisa menerima penjelasan saya. Respons mereka lebih terbuka karena saya menjelaskan dengan logika, rasional, dan argumentasi yang kukuh. Sedangkan di kalangan umat Islam, mau saya beri argumen sebagus apa pun, diberi rujukan satu truk kitab klasik, dari kitab tafsir dan kitab fikih, tapi kalau dasarnya ada kebencian dan perbedaan sikap politik, sangat susah.

Anda aktif berdakwah lewat media sosial. Bagaimana Anda melihat dampak Internet dan media sosial terhadap relasi antara umat dan pemuka agama?

Dulu umat itu pengajiannya lebih satu arah, baik di majelis taklim, pondok pesantren, maupun madrasah. Sekarang mereka yang ada di Amerika, India, ataupun di Tanah Abang dan Jepara bisa bertanya langsung kepada para ulama lewat medsos sehingga terjadi perbedaan pola komunikasi dan pola dakwah ulama. Akibatnya, kalau dulu ada umat bertanya ke ulama lalu diberi tahu, misalnya menurut mazhab Syafii hukumnya begini, itu selesai. Sekarang enggak. Bahkan ketika saya tunjukkan tangkapan layar kitab kuningnya, kitab tafsirnya, kitab fikihnya, masih mau dibantah dan dipersoalkan. Jadi para ulama yang hadir di medsos harus menyiapkan diri untuk di-bully dan ditanyai macam-macam oleh umat.

Selain media sosial dan tatap muka, media apa saja yang Anda gunakan untuk berdakwah?

Dalam tiga tahun terakhir, lima menit menjelang berbuka puasa waktu Jakarta, tiap hari saya menyampaikan tausiyah di Brava Radio, Jakarta. Programnya Wisdom of Ramadhan. Itu live streaming, jadi bisa didengarkan di negara mana pun. Lalu di TV9 punya NU, saya tiap Minggu sore juga tampil memberikan tausiyah.

Di Australia Anda masih mengisi pengajian?

Kami ada majelis khataman Al-Quran tiap bulan di Melbourne dan kota-kota lainnya. Kami khataman bareng, lalu saya memberikan pengajian tafsir. Kami berpindah-pindah rumah. Hanya, sekarang jadi online karena larangan berkumpul.

 


 

NADIRSYAH HOSEN

• Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 8 Desember 1973 • Pendidikan: Sarjana Agama dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; Graduate Diploma in Islamic Studies dan Master of Arts with Honours dari University of New England, Australia; Master of Laws dari Charles Darwin University, Australia; PhD bidang hukum dari University of Wollongong, PhD bidang hukum Islam dari National University of Singapore • Karier: Postdoctoral Fellow di University of Queensland, Australia (2005-2007); Associate Professor di University of Wollongong, Australia (2007-2015); Senior Lecturer di Monash University, Australia (sejak 2015) • Organisasi: Rais Syuriah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Australia dan Selandia Baru (sejak 2005)

 


 

 

Anda juga kerap mengkampanyekan kemajemukan, Islam damai, serta melawan ide khilafah dan radikalisme. Seperti apa kondisi umat Islam di Tanah Air?

Masalah ide khilafah itu sangat meresahkan. Ini akibat sebelumnya kelompok Hizbut Tahrir dibiarkan begitu saja sehingga paham ini masuk ke mana-mana, termasuk ke buku-buku pelajaran. Ini berbahaya karena akan bisa meruntuhkan perjuangan para pendiri bangsa. Kita tidak ingin Indonesia hancur lebur seperti negara-negara di Timur Tengah yang dilanda konflik berkepanjangan akibat persoalan politik. Persoalan ideologi negara sudah selesai. Kita sudah menerima Pancasila dan UUD 1945. Kita bisa bicara masalah kesejahteraan, ketimpangan sosial, kemandirian ekonomi umat, pendidikan, kesehatan, bukan lagi mengutak-atik dasar negara.

Bagaimana Anda melihat upaya pemerintah Indonesia dalam menangkal menyebarnya paham radikal?

Saya tidak melihat pemerintah serius. Seolah-olah pemerintah mati gaya menghadapi kelompok-kelompok radikal, tidak tahu bagaimana memanfaatkan pihak-pihak yang selama ini bertarung menentang kelompok-kelompok itu dan menganggap radikalisme hanya persoalan politik sehingga pendekatannya murni politik. Sedangkan saya melihatnya ini pertarungan ideologi dan akan mengancam kelangsungan negara. Saya menerbitkan dua jilid buku Islam Yes, Khilafah No! secara patungan. Tidak ada dukungan dari pemerintah, misalnya, memborong buku saya dan membagikannya ke masjid-masjid, sekolah, dan madrasah. Saya bertarung sendiri sampai dimaki kanan-kiri dan diancam dibunuh. Kalau datang ke Tanah Air, saya sampai harus didampingi teman-teman Banser.

Bagaimana peran NU dalam mencegah menyebarnya paham radikal?

Umat Islam yang mayoritas harus didorong untuk sadar bahwa ini bukan semata-mata persoalan NU berhadapan dengan kelompok-kelompok radikal ataupun fundamentalis. Ini juga persoalan bangsa. NU membutuhkan dukungan masyarakat. Kalau pemahaman keagamaan yang konservatif dan radikal itu menjadi mayoritas, tentu ini akan mengubah wajah Indonesia. Justru para pengusaha, profesional, kelas menengah yang selama ini diam saja yang akan terkena getahnya kalau wacana konservatif dan radikal menjadi mayoritas di Indonesia. Kalau NU, sudah ada ribuan pesantren dan jutaan santri. Jadi, misalnya NU diam saja, para santri dan Banser tidak ikut ribut soal menghadapi kelompok radikal, ya enggak ada masalah buat NU. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus