Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Aktor kawakan Adi Kurdi meninggal pada usia 71 tahun.
Adi Kurdi mengawali karier sebagai pemain teater di Bengkel Teater pimpinan W.S. Rendra.
Nama Adi Kurdi dikenal luas lewat perannya sebagai Abah dalam sinetron Keluarga Cemara.
DI lokasi set rumah Abah—tokoh sinetron Keluarga Cemara yang diperankan aktor Adi Kurdi—di Subang Jaya, Sukabumi, Jawa Barat, sedang dilakukan persiapan pengambilan gambar. Ketika saya mengecek kembali skenario sambil menunggu kru lighting mengeset lampu, tiba-tiba terdengar salam dari luar, “Assalamualaikum. Punten...!”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suara Abah dengan artikulasi dan logat Sunda yang jelas mengucapkan salam yang dijawab serempak oleh kru, “Waalaikumsalam. Mangga, Bah, lebet.” Semua kru menghentikan pekerjaannya, lalu menghampiri Abah, yang langsung menyodorkan tas plastik hitam. Para kru mengambil tas plastik itu, kemudian membuka dan melihat isinya: ternyata leupeut kacang merah, sejenis lontong ketan yang diberi kacang merah. Itu makanan khas dari Jawa Barat, tepatnya Cimande, Bogor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semua mengambil dan menikmatinya dengan lahap. “Terima kasih, Abah,” kata dua petugas makeup sambil berjalan menuju kamar. “Hatur nuhun, Bah!” ujar salah seorang kru lighting dengan mulut penuh lontong.
Saya menghampiri Abah dan menyalami, “Wah, hebat Abah setiap datang bawa oleh-oleh.”
“Hei, jangan lupa sisain buat Agil, Ara, dan Euis,” Abah mengingatkan kru. Mereka menjawab serempak, “Siap, Bah! Sudah dipisahin.” Agil, Ara atau Cemara, dan Euis adalah anak-anak Abah dalam Keluarga Cemara, yang masing-masing diperankan oleh Puji Lestari, Anissa Fujianti, dan Cherrya Agustina Hendiawan.
Saya kembali berkata, “Wah, hebat Abah dari Jakarta ke Sukabumi masih sempat-sempatnya membeli oleh-oleh di Cimande. Emang Abah tidak tidur di mobil?”
Abah berujar bahwa ia tidur di mobil sejak berangkat dari Depok, tapi selalu terbangun ketika sampai di Cimande. Menurut dia, pernah satu kali ia ketiduran dan tidak beli oleh-oleh. Ia merasa berdosa dan kepikiran terus.
Ketika saya bertanya setengah serius apakah kru dan pemain merepotkan Abah, diselingi tawa lalu ia menjawab tidak merasa repot dan malah senang melihat mereka berebut oleh-oleh darinya. Dia merasa puas karena apa yang ia bawa memberikan kenikmatan kepada orang lain.
Di tengah perbincangan, terdengar teriakan Agil, Ara, dan Euis yang menaiki tangga rumah. Mereka memanggil nama Abah dan berhamburan, berebut untuk bersalaman. Agil bergelantungan di lengan Abah. “Abah, mana leupeut-nya?” Kru lighting, yang lewat membawa lampu di depan Abah, menjawab spontan, “Itu di meja makan.” Mereka berhamburan mengambil leupeut.
Sambil asyik mengobrol, mereka menyiapkan diri untuk syuting. Selesai urusan tata rias, Abah menghafal dialog bersama ketiga anaknya. Dalam sesi latihan sebelum syuting, Abah sempat mengingatkan Agil yang berakting seolah-olah membawa piring padahal tidak membawa apa pun. Tiba-tiba Abah menghentikan aktingnya dan mengatakan kepada Agil bahwa justru saat latihan ia harus melakukan yang sebenarnya, harus merasakan beratnya piring, bagaimana membawanya, dan cara memberikannya agar timing-nya pas. Menurut Abah, latihan harus sungguh-sungguh karena saat latihanlah akan terlihat benar-salahnya.
Itulah sekelumit suasana meriah syuting Keluarga Cemara pada 1996-2000. Karena perannya dalam sinetron tersebut, Adi Kurdi lantas sering diingat orang sebagai Abah. Panggilan itu melekat kepadanya hingga di luar syuting.
Adi Kurdi lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, pada 22 September 1948. Ia mengawali kariernya sebagai aktor teater. Ia bergabung dengan Bengkel Teater pimpinan W.S. Rendra pada 1970. Karena kemampuan aktingnya, ia dipercaya menjadi pemeran utama dalam Kisah Perjuangan Suku Naga. Selain aktif di teater, ia merambah dunia film. Dari puluhan film yang sudah ia bintangi, alumnus School of Art, Theatre Program, New York University, Amerika Serikat, itu menjadi nomine dalam Festival Film Indonesia, yaitu untuk kategori pemeran utama pria terbaik dalam film Bukan Istri Pilihan (1981) serta pemeran pendukung pria terbaik dalam film Anak-anak Borobudur (2007), Kapan Kawin? (2015), dan Catatan Dodol Calon Dokter (2016).
Setelah Keluarga Cemara tidak berlanjut, walaupun pertemuan rutin tetap berlangsung, kerinduan untuk terlibat dalam produksi bersama sebuah film sangatlah kuat. Ternyata ini juga dirasakan oleh semua pemain. Secara kebetulan, saya membaca sebuah novel karya F.X. Rudy Gunawan, yang dipinjamkan kepada saya, berjudul Terima Kasih Emak Terima Kasih Abah, yang ceritanya juga tentang kasih sayang keluarga. Saya sedikit mengubahnya, lalu jadilah sebuah skenario. Lewat seorang wartawan, saya mengajukannya kepada produser dan, alhamdulillah, Pak Ody Mulya menerima tawaran ini. Lalu, setelah draf ke-11, skenario direvisi oleh Archie Hekagery dan sampai juga menjadi draf final.
Ketika saya ungkapkan, “Bagaimana kalau kita syuting lagi?” Serempak Abah, Emak, dan anak-anaknya berteriak, “Mau...!” Ninis—panggilan Anissa Fujianti, pemeran tokoh Cemara atau Ara di sinetron Keluarga Cemara—bangun sambil mengangkat tangan, “Syuting film apa, Om?” Sambil memperlihatkan novel yang saya pegang, saya menjawab, “Nah, judulnya Terima Kasih Emak Terima Kasih Abah. Dari novel ini saya membuat sebuah skenario dengan judul yang sama.”
Ninis bertanya mengapa judulnya tidak Keluarga Cemara saja, kan pemainnya sama. Abah menjawab bahwa hak cipta Keluarga Cemara sudah dibeli pihak lain dan mereka tidak boleh menggunakannya.
Begitu saya kabarkan kepada para pemain, semua menyambut dengan kegembiraan dan semangat. Yang menyambut bukan hanya yang muda-muda, tapi juga Adi Kurdi, yang penglihatannya sudah berkurang karena mengidap penyakit glaukoma. Karena terkesan oleh ucapan Abah tentang kondisinya, kami memutuskan memasukkan ucapannya ke skenario. “Badan saya ini masih kuat, pikiran saya juga masih sehat, cuma kurangnya hanya di penglihatan saja.”
Abah tak hanya berbasa-basi. Ketika syuting di lapangan, kami selalu menawarkan agar Abah diberi prioritas khusus, seperti syuting didahulukan agar cepat pulang, tapi ia selalu menolak. “Perlakukan normal saja, saya ikut antrean. Karena kalau ingin cepat selesai, syuting harus berdasarkan urutan lokasi, bukan urutan pemain. Jangan karena memprioritaskan saya, orang lain terzalimi karena harus pulang paling belakangan.” Terima Kasih Emak Terima Kasih Abah, yang sedianya tayang 16 April lalu tapi ditunda karena pandemi corona, menjadi film terakhir Abah dan ia sedang berada di puncak semangatnya.
Banyak hal yang bisa diutarakan dari pengalaman syuting dengan Abah Adi Kurdi yang luar biasa. Dan, bisa dibilang aneh, karena selama kami bekerja sama lebih dari lima tahun tidak pernah ada alasan untuk bertengkar. Ia selalu berdisiplin dalam waktu, selalu siap. Ia tak hanya hafal dialog, tapi juga penafsiran atau penghayatan yang tepat ketika hendak memulai pengambilan gambar dan sesudahnya. Ia tidak pernah mengeluh dalam situasi apa pun. Kerja sama dengan lawan mainnya pun sangat baik. Ia selalu berusaha saling mendukung untuk mencapai pengadeganan yang tepat.
Semoga semua kebaikan yang tak berujung itu menempatkan dia di tempat terbaik di sisi Allah. Selamat jalan, Abah Adi Kurdi. Hormatku selamanya.
DEDI SETIADI, SUTRADARA SINETRON KELUARGA CEMARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo