Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sinyal Pasar

Gagasan Modern yang Berbahaya

Yopie Hidayat
Kontributor Tempo

23 Mei 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKAN hanya kesehatan manusia yang terancam oleh kehadiran Covid-19. Pagebluk ini juga berpotensi merusak sistem finansial global karena di mana-mana utang pemerintah membengkak. Tak pandang negara kaya atau miskin, pemerintah mendadak harus mengeluarkan anggaran ekstra yang astronomis, terutama untuk memberikan stimulus kepada ekonomi agar tidak kolaps. Semua itu menciptakan samudra utang yang sangat luas dan dalam.

Maka muncullah pertanyaan genting: apakah ekonomi banyak negara bakal mampu mengapung atau justru tenggelam di lautan utang? Rasio utang Amerika Serikat, misalnya, akan menjadi 99 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) di akhir tahun ini, melonjak dari 79 persen pada 2019. Ini rasio terburuk semenjak Perang Dunia II, kala pemerintah Amerika harus berutang besar-besaran untuk membiayai perang.

Prancis, Spanyol, dan Inggris juga sudah memproyeksikan lonjakan rasio hingga melebihi 100 persen. Sedangkan rasio di Italia bakal melambung melampaui 160 persen. Di Jepang, Perdana Menteri Abe Shinzo malah berkomitmen akan menggelontorkan tambahan defisit anggaran baru hingga US$ 1 triliun. Walhasil, rasio utang pemerintah Jepang terhadap PDB akan menembus 237 persen, rekor tertingginya sepanjang sejarah.

Di kalangan ekonom memang ada perdebatan serius mengenai utang pemerintah yang melambung. Mereka yang percaya pada modern monetary theory (MMT) menganggap gelembung utang pemerintah bukan masalah serius. Pemerintah dengan bantuan bank sentral toh bisa mengatasinya dengan mencetak uang sehingga semua utang itu pasti terbayar. Singkat kata, pemerintah tak mungkin jatuh bangkrut hanya karena berutang, sepanjang utang itu menggunakan mata uang sendiri.

Sebaliknya, para ekonom konvensional cenderung menolak pandangan ini. Alasan utama penolakan itu adalah bahaya inflasi yang bakal muncul jika situasi krisis mereda. Dalam keadaan krisis, seperti pandemi saat ini, umumnya memang akan terjadi deflasi, harga-harga turun karena permintaan merosot. Maka mencetak uang sembarangan seolah-olah tidak menimbulkan bahaya inflasi. Tapi, begitu situasi beranjak normal dan ekonomi kembali bergulir dengan kapasitas penuh, inflasi karena uang yang melimpah itu bakal muncul. Inflasi tak terkendali adalah marabahaya terbesar yang dapat menghancurkan suatu ekonomi. Nilai tukar mata uang itu juga pasti akan jatuh berantakan.

Ada pula persoalan lain. Menyediakan uang tak terbatas kepada politikus yang tengah memegang kekuasaan sungguh bisa menciptakan godaan alias moral hazard luar biasa. Politikus jelas ingin membiayai apa saja, termasuk menjalankan program hebat dan tak masuk akal demi popularitas. Itulah yang terjadi sekarang. Di mana-mana politikus yang tengah berkuasa memegang pemerintahan sedang memanfaatkan betul krisis di masa pandemi Covid-19. Mereka memompa ekonomi dengan utang baru dan bank sentral yang mencetakkan uangnya. MMT pada praktiknya tengah berjalan kencang di banyak negara.

Ide menggiurkan itu tentu menggoda para politikus Indonesia juga. Dewan Perwakilan Rakyat pun mengusulkan Bank Indonesia dan pemerintah berkoordinasi mencetak uang Rp 600 triliun demi menyelamatkan ekonomi Indonesia. Sejauh ini, untungnya, gagasan para politikus itu mental. Baik BI maupun Kementerian Keuangan menolaknya mentah-mentah.

Rasio utang pemerintah Indonesia dalam rupiah terhadap PDB memang masih relatif rendah. Berdasarkan data BI, utang dalam negeri pemerintah per akhir Maret 2020 tercatat Rp 2.381 triliun dengan estimasi PDB sekitar Rp 16.110 triliun. Tapi pemerintah Indonesia juga masih punya utang luar negeri yang rasionya per akhir 2019 sebesar 36,1 persen. Semua rasio utang tersebut, tanpa mengikuti saran DPR pun, akan melonjak karena defisit anggaran tahun ini membesar untuk menangani Covid-19. Di tahun-tahun mendatang, anggaran pemerintah sudah akan terbebani ongkos pembayaran bunga yang tidak ringan.

Dus, baru sampai pada wacana saja, gagasan yang berbungkus teori modern ini sudah sangat berbahaya. Jika investor menganggapnya serius, ada risiko besar nilai rupiah akan rontok karenanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus