Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Keluarga Daniel Pearl meminta banding atas vonis pembunuh anaknya.
Hakim menilai Omar Sheikh terbukti menculik, tapi kurang bukti sebagai pembunuh.
Sejak 1992, setidaknya 1.370 jurnalis dibunuh secara global.
KABAR tak menggembirakan itu diterima Asra Q. Nomani, Kamis, 2 April 2020 pukul 03.11 waktu Virginia, Amerika Serikat. Seorang jurnalis di Pakistan memberi tahu bekas guru besar jurnalisme di Georgetown University itu mengenai putusan hakim pengadilan tinggi Pakistan, Sindh K.K. Agha, yang membebaskan Omar Sheikh dan tiga temannya, yang sebelumnya dihukum dalam kasus pembunuhan Daniel Pearl pada 2002.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Asra berkawan dengan Danny—panggilan akrab Daniel Pearl—karena sesama wartawan di Wall Street Journal. Asra juga ikut memimpin penyelidikan atas pembunuhan rekannya itu, yang diberi nama Pearl Project, kerja sama Georgetown University dan Konsorsium Internasional Jurnalis Investigatif (ICIJ). Penyelidikan selama sekitar tiga tahun itu menemukan fakta bahwa Omar yang merencanakan penculikan dan eksekutor pembunuhannya adalah Khalid Sheikh Mohammed, orang yang diduga sebagai otak serangan ke World Trade Center pada 11 September 2001.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pagi itu juga Asra menghubungi ayah Pearl, Judea, di California. Judea menelepon balik dan mendiktekan pesan kepadanya untuk dibagikan kepada publik. “Bahkan, sebelum saya sempat mengirimkan kembali pesan itu (untuk diperiksa) kepadanya, Profesor Pearl yang terkasih telah mencuit pesan melalui akun Twitter-nya dan menyebut putusan itu sebagai ejekan atas keadilan,” kata Asra kepada Tempo melalui surat elektronik, Kamis, 14 Mei lalu.
Daniel Pearl semasa hidup, dalam video mengenanh daniel pearl. Youtube
Setelah itu, Asra, Judea, dan kakaknya, Tamara, bekerja siang-malam untuk mewujudkan keadilan bagi Danny. Mereka berbicara dengan Departemen Luar Negeri dan Departemen Kehakiman Amerika serta menggelar konferensi video menggunakan aplikasi Zoom dengan koleganya, termasuk dengan lembaga Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ). “Tepat sebulan kemudian, 2 Mei, pengacara orang tua Danny, Faisal Siddiqi, mengajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung Pakistan,” ujar Asra.
Bukan hanya keluarga Daniel Pearl yang tak puas atas putusan itu. Jaksa Pakistan juga mengajukan permohonan banding atas putusan pengurangan hukuman itu dengan alasan kurangnya alat bukti. Hukuman untuk Omar Sheikh dikurangi dari vonis mati menjadi tujuh tahun. Hakim menilai Omar terbukti menculik tapi tidak membunuh. Ketiga temannya, Fahad Naseem, Sheikh Adil, dan Salman Saqib, dibebaskan setelah divonis hukuman penjara seumur hidup oleh Pengadilan Anti-Terorisme Karachi.
IFJ mendukung upaya banding keluarga Daniel Pearl. “Kami mendesak setiap upaya untuk memastikan hukuman atas kasus pembunuhan Daniel Pearl tidak hanya bagi dalang pembunuhan brutal ini, tapi juga para anteknya,” kata Direktur IFJ Asia-Pasifik Jane Worthington kepada Tempo, Kamis, 14 Mei lalu.
Peristiwa tragis yang menimpa Danny Pearl bermula pada 22 Desember 2001, saat seorang muslim yang pindah agama, Richard Reid, mencoba meledakkan sebuah jet yang terbang di atas Atlantik dengan menyalakan bahan peledak di sepatunya. Petunjuk awal menunjukkan bahwa Reid, yang kemudian dikenal sebagai “pengebom sepatu”, memiliki hubungan dengan ulama radikal Pakistan, Syekh Mubarak Ali Shah Gilani, kepala kelompok Jamaat ul-Fuqra.
Daniel Pearl ingin membuat berita soal itu dengan mewawancarai Gilani. Dengan bantuan jurnalis lokal, Asif Farooqi, ia mencari kontak yang bisa menghubungkannya. Ketika berita ini tersebar di kalangan kelompok militan, di antara mereka yang mendengar minat Pearl itu adalah Omar Sheikh, gerilyawan yang berpengalaman dalam penculikan. Omar lantas menyampaikan kabar melalui perantara bahwa ia bisa mengatur wawancara Pearl dengan Gilani.
Menurut investigasi Pearl Project, pertemuan pertama Daniel Pearl dengan Omar Sheikh terjadi pada 11 Januari 2002 di Akbar International Hotel, Rawalpindi, dekat Islamabad. Waktu itu Pearl ditemani Asif Farooqi. Omar memperkenalkan dirinya menggunakan nama palsu Chaudrey Bashir Ahmad Shabbir. Akhirnya disepakati bahwa mereka akan bertemu di Karachi, tepatnya di depan Village Restaurant, pada 23 Januari 2002 pukul 7 malam. Di sana ia akan dijemput murid Gilani.
Pada pukul 06.30, Pearl menelepon istrinya, Marianne, yang berada di rumah Asra Nomani di Karachi dan memberi tahu bahwa dia sudah dalam perjalanan untuk bertemu dengan sumbernya. Pearl tiba di lokasi pertemuan sesuai dengan jadwal. Beberapa menit kemudian, sebuah mobil Suzuki Alto merah datang dan pengemudi memanggilnya masuk. Pearl masuk tanpa ragu-ragu dan duduk. Mobil itu bergerak dari Jalan Shahrah-e-Faisal yang sibuk ke pinggiran Kota Karachi, tempat dia diduga disandera dan akhirnya dibunuh pada 29 atau 30 Januari 2002.
Setelah masuk mobil itu, Daniel Pearl tak lagi diketahui kabarnya. Setelah selama delapan jam ia tak memberi kabar, Marianne dan Asra menelepon ke nomor darurat Konsulat Amerika di Karachi. Pagi harinya polisi datang ke rumah Asra dan mencari petunjuk soal Pearl. Setelah itu, kasusnya menjadi perhatian internasional. Badan Penyelidik Federal (FBI) dan polisi Pakistan membentuk tim khusus untuk menyelidiki hilangnya pria kelahiran 10 Oktober 1963 itu.
Saat perburuan Daniel Pearl meningkat, tidak ada kabar dari para penculik. Rupanya, para penculik yang ingin mengirimkan foto Danny dan isi tuntutan tidak bisa menyampaikan surat elektronik mereka karena empat file fotonya terlalu besar dan koneksi Internet yang lambat. Surat yang ditujukan kepada sejumlah wartawan itu baru terkirim keesokan harinya dengan subyek “Petugas CIA Amerika dalam tahanan kami”.
Dalam surat itu, mereka menyatakan telah menangkap perwira CIA, Daniel Pearl, yang menyamar sebagai jurnalis Amerika. Jika ingin Pearl dibebaskan, tulis kelompok itu, semua orang Pakistan yang ditahan secara ilegal oleh Amerika harus juga dilepaskan. CIA mengeluarkan pernyataan yang menyangkal bahwa Daniel Pearl adalah mata-mata. Wall Street Journal juga mengeluarkan pernyataan bahwa Pearl “tidak pernah bekerja untuk CIA atau pemerintah Amerika Serikat dalam kapasitas apa pun”.
Penyelidikan Pearl Project menemukan bahwa nasib buruk Daniel Pearl datang setelah “tiga orang Arab” tiba di tempat penyekapan. Satu di antaranya Khalid Sheikh Mohammed, salah satu operator penting organisasi teror Al-Qaidah. Mengutip sumber polisi dari keterangan para tersangka, tanpa ragu Khalid mengambil pisau dan memotong leher Pearl. Jenazahnya ditemukan dalam 10 bagian dan dikubur tak jauh dari lokasi penahanan. Soal Khalid sebagai pembunuh Danny Pearl juga ditulis Terry McDermott dan Josh Meyer dalam The Hunt for KSM: Inside the Pursuit and Takedown of the Real 9/11 Mastermind (2012).
Pengacara Omar Sheikh dan tiga rekannya, Khawaja Naveed, berusaha membela dengan mengatakan bahwa kliennya itu masih “anak-anak” dan Daniel Pearl adalah “agen yang menyamar”. Asra Nomani menepis tudingan bahwa koleganya adalah agen. Pearl Project juga menemukan bahwa Omar adalah pria berkebangsaan Inggris-Pakistan yang memimpin sebuah tim yang beranggotakan setidaknya dua lusin pria pada Januari 2002 untuk menjebak, menculik, dan menyandera Daniel Pearl. “Proyek Pearl menetapkan bahwa Pearl mati karena Omar Sheikh mengorganisasi penculikan. Dia yang membawa Pearl ke tempat pembantaian,” ujar Asra.
Menurut Asra, Omar merencanakan penculikan itu dalam pertemuan rahasia di Karachi, termasuk di lokasi restoran Student Biryani dan McDonald's. Omar secara langsung merekrut, mempekerjakan, dan menginstruksikan Sheikh Adil, Salman Saqib, dan Fahad Naseem untuk mengirimkan foto Pearl yang masih hidup, meminta uang tebusan, dan menuntut pembebasan tahanan Pakistan yang berada di Guantanamo.
Ketiga kawan Omar, kata Asra, punya peran penting. Mereka melakukan instruksi Omar, termasuk mengubah catatan yang berisi permintaan tebusan dan mengubah tuduhan terhadap Daniel Pearl. Sebelumnya, mereka menuding Pearl adalah agen CIA, tapi kemudian diubah dengan informasi bahwa dia adalah orang Yahudi dan bekerja sebagai agen intelijen Israel, Mossad. “Ini untuk meningkatkan nilainya kepada para operator Al-Qaidah di Karachi dan mengarah pada pembunuhannya,” Asra menambahkan.
Jane Worthington menyebut kasus pembunuhan Daniel Pearl sebagai penculikan tokoh penting dan pembunuhan brutal yang dimaksudkan untuk memberikan dampak maksimum dan menjadi alarm bagi khalayak global. “Pembunuhannya mengubah narasi untuk koresponden internasional yang meliput ekstremisme—dan sayangnya kematiannya bukan yang terakhir,” ucapnya.
Seusai kematian Daniel Pearl, tahun itu Pakistan mencatat satu kasus serupa yang menimpa Shahid Soomro, wartawan koran berbahasa Sindhi, Kawish, pada 20 Oktober. Berdasarkan data yang dihimpun Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ), jumlah wartawan yang dibunuh tiap tahun cenderung terus bertambah. Sejak 1992, setidaknya 1.370 jurnalis dibunuh dan motifnya terkonfirmasi karena pekerjaan mereka.
Menurut Worthington, kasus Daniel Pearl menunjukkan rentannya jurnalis menghadapi risiko yang bisa mematikan seperti itu, bahkan meski kasusnya mendapat perhatian internasional. “Pemerintah, dan bahkan pengadilan, mungkin ingin menutup buku kasus-kasus seperti itu. Tapi kegagalan untuk secara tegas meminta pertanggungjawaban kepada para penjahat seperti itu hanya meningkatkan risiko bagi jurnalis lain yang akan menghadapi bahaya serupa,” kata Asra Nomani.
ABDUL MANAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo