Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Paparan awal dari para pelapor kasus Toba Pulp Lestari dan APRIL Group.
Berawal dari dugaan manipulasi pelaporan kode ekspor ke Cina.
Dalih uji coba produk di balik ekspor bermasalah.
PERTEMBUNGAN pada Kamis, 12 November lalu, berlangsung tiga jam. Siang itu, di lantai 5 Gedung Mar’ie Muhammad, kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak, rombongan Forum Pajak Berkeadilan (FPB) berhadap-hadapan dengan tuan rumah yang dipimpin anggota staf khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, dan Direktur Perpajakan Internasional Poltak Maruli John Liberty Hutagaol. “Bu Menteri (Sri Mulyani Indrawati) minta laporan mereka didalami,” kata Yustinus, Selasa, 24 November lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laporan yang dimaksudkan Yustinus bertajuk “Mesin Uang Makao”. Adapun FPB merupakan koalisi yang dihimpun belasan lembaga swadaya masyarakat untuk memantau tata kelola keuangan pada sektor sumber daya alam. Kajian yang mereka rilis pada Selasa, 3 November lalu, mengungkap dugaan praktik pengalihan keuntungan oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL) Tbk dan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP)—anak usaha Asia Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL Group).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua pabrik bubur kertas yang terafiliasi dengan taipan Sukanto Tanoto itu ditengarai sengaja menjual produk pulp larut (dissolving wood pulp) ke Cina menggunakan kode perdagangan pulp kelas-kertas (bleached hardwood kraft pulp/BHKP). Padahal kode sistem harmonisasi (HS) kedua produk tersebut berbeda.
Praktik ini diduga bertujuan mengurangi pendapatan dan keuntungan produsen di dalam negeri karena harga BHKP yang lebih murah dibanding dissolving pulp. Dengan begitu, kewajiban pajak mereka lebih rendah dari semestinya.
Dugaan praktik profit shifting untuk menghindari kewajiban pajak tersebut menguat lantaran lalu lintas perdagangan dilakukan berantai lewat perusahaan terafiliasi di Makao. Dari wilayah administrasi khusus Cina yang menerapkan tarif pajak rendah inilah produk dijual kembali ke perusahaan afiliasi lain di Cina daratan dengan faktur berkode HS produk BHKP. FPB menghitung praktik culas yang ditengarai dilakoni TPL pada 2007-2016 dan RAPP pada 2016-2018 tersebut menyebabkan kebocoran penerimaan pajak senilai Rp 1,9 triliun.
Proses pembuatan kertas di pabrik milik APRIL Group di Riau. Foto: aprilasia.com
Mouna Wasef, peneliti Auriga Nusantara—bagian dari Forum Pajak Berkeadilan—membenarkan adanya pertemuan 12 November lalu. Pertemuan itu, kata dia, juga dihadiri sejumlah pejabat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. “Kami memaparkan sekaligus mendengar respons dari masing-masing direktorat,” ucap Mouna, Rabu, 25 November lalu. “Tak hanya terhadap kasus TPL dan ARPIL Group, kami berharap ada pembenahan menyeluruh terhadap perusahaan-perusahaan seperti ini.”
•••
KELAKUAN Toba Pulp Lestari mencuat Februari lalu lewat laporan investigasi IndonesiaLeaks, platform mandiri bagi informan publik yang disokong sejumlah media massa nasional—termasuk Tempo. Investigasi itu menelusuri dugaan manipulasi dalam transaksi perdagangan antara TPL, DP Marketing International Limited (DP Makao), dan Sateri pada 2007-2016.
Modus profit shifting dimulai dari ekspor TPL lewat DP Makao dengan produk berkode HS 4703.29.00.00, yang berarti berupa BHKP. Namun DP Macao, yang hanya merupakan agen pemasaran, menjual produk dengan kode HS 4702.00.00.00, yakni dissolving wood pulp, ke Sateri. Praktik ini diklaim berakhir pada 2016 setelah TPL mengikuti program pengampunan pajak (tax amnesty).
DP Makao dan Sateri ditengarai saudara tiri TPL. Ketiganya terhubung dengan Sukanto Tanoto lewat sejumlah perusahaan di Singapura dan Kepulauan Cayman. Tak hanya meraup keuntungan dengan menjual produk berkode HS dissolving pulp yang harganya lebih tinggi, DP Makao diduga juga menjadi tempat untuk mengalihkan pendapatan TPL, yang harus membayar biaya pemasaran.
Forum Pajak Berkeadilan menindaklanjuti temuan itu. Dalam laporan terbarunya, mereka memperkirakan aksi profit shifting TPL sepanjang 2007-2016 telah menyebabkan pendapatan perseroan lebih rendah (understating) US$ 426 juta atau senilai Rp 4,23 triliun dari angka sebenarnya.
Selain itu, FPB mensinyalir kelakuan TPL dilanjutkan oleh RAPP, bagian dari APRIL Group milik Sukanto Tanoto, pada 2016-2018. Seperti halnya di era TPL, dugaan manipulasi dalam pelaporan kode HS oleh APRIL Group diperkuat dengan adanya selisih data ekspor di Indonesia dan data impor di Cina. FPB menghitung profit shifting ini menyebabkan pendapatan anak usaha APRIL di Indonesia lebih rendah US$ 242 juta atau senilai Rp 3,35 triliun dari semestinya.
•••
TIM Direktorat Jenderal Pajak (DJP) serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sebenarnya mulai bergerak mengusut kasus ini setelah publikasi IndonesiaLeaks, Februari lalu. Seorang pejabat di kantor Bea-Cukai mengungkapkan bahwa kedua otoritas telah bertukar data, seperti data ekspor dan dokumen pelengkap lain. “Data tersebut diolah dan dihitung di Direktorat Jenderal Pajak untuk menemukan ada-tidaknya selisih nilai,” kata sumber itu kepada Tempo.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi enggan menjelaskan detail langkah yang disiapkan timnya bersama kantor pajak. “Saat ini DJP dan DJBC sedang melakukan analisis untuk mendalami informasi yang diterima,” ucap Heru, Jumat, 27 November lalu. Dia hanya menjelaskan, kerja sama pertukaran data hingga investigasi serupa biasa dilakukan oleh kedua otoritas.
Dari aspek fiskal, menurut Heru, ekspor pulp memang tak dikenai pungutan bea keluar. Walhasil, sepanjang dilengkapi V-Legal—bagian dari sertifikasi legalitas kayu yang memuat informasi uraian barang, volume, hingga invoice—pelayanan kegiatan ekspor tersebut bisa dilakukan tanpa pemeriksaan fisik. Persetujuan ekspor juga diterbitkan secara elektronik.
Walau begitu, dugaan profit shifting bisa terbukti jika ditemukan adanya perbedaan penghitungan pajak badan, misalnya perusahaan tak melaporkan data perdagangannya sesuai dengan ketentuan. Tim gabungan ini pun berencana menganalisis kembali data tax amnesty untuk memeriksa deklarasi harta TPL.
Menurut Yustinus Prastowo, apabila deklarasi harta tidak sesuai, pemerintah tetap dapat menagih sisa kurang bayar. Hal tersebut diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Tax Amnesty, yakni berupa sanksi membayar kekurangan pajak serta sanksi administrasi sebesar 200 persen dari pajak yang tidak dibayarkan. “Kalau ada informasi baru, data tax amnesty dapat dibuka. Kini menunggu hasil analisis dulu,” tutur Yustinus. Menurut dia, tak ada batas waktu bagi kantor pajak dan bea-cukai untuk menelusuri masalah ini.
Corporate Affairs Director APRIL Group Agung Laksamana tak menjawab pertanyaan Tempo tentang langkah kantor pajak dan bea-cukai untuk menindaklanjuti kasus ini. Lewat jawaban tertulis, Agung hanya menjelaskan bahwa RAPP bekerja sama dengan Sateri pada 2016-2018 menguji dan mengembangkan pulp Acacia crassicarpa. Bahan baku kraft pulp ini akan dimodifikasi menggunakan teknologi baru untuk menghasilkan bahan baku serat staple viscose. Uji coba pengembangan produk pulp Acacia crassicarpa tersebut dilakukan Sateri dengan mencampurkan produk dengan bahan lain.
Agung mengklaim uji coba ini adalah yang pertama di dunia. Dengan begitu, kata dia, perlu masa pengujian dalam skala industri selama dua tahun untuk pengembangan produk baru agar sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) dan permintaan Sateri.
Dia berdalih, ekspor masih menggunakan kode HS kraft pulp lantaran produk dari modifikasi Acacia crassicarpa masih dalam tahap uji coba dan belum memenuhi SNI. Menurut dia, proses pengembangan ini berhasil pada akhir 2018. “Dengan demikian, produk yang telah memenuhi SNI ini diekspor dengan HS code yaitu, HS code dissolving pulp,” ujar Agung, Sabtu, 28 November lalu.
Corporate Communications Manager PT Toba Pulp Lestari Tbk Norma Patty Nandini Hutajulu juga menyatakan semua produk ekspor perusahaannya telah dilaporkan seturut ketentuan dan peraturan yang berlaku. “Perseroan menolak dengan tegas semua tuduhan bahwa perseroan telah mengecilkan penghasilannya,” kata Norma, Jumat, 27 November lalu.
Bagaimanapun, bola kini berada di otoritas pajak dan bea-cukai. Herawati, ekonom Prakarsa yang tergabung dalam Forum Pajak Berkeadilan, memastikan timnya akan mengawal kasus ini. “Kami sudah menunjukkan indikasinya kepada pemerintah,” ucapnya. “Mereka yang punya sumber data paling valid, punya regulasinya, punya wewenang. Jangan sampai pengusutannya jadi pernyataan saja.”
AISHA SHAIDRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo