Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan pertumbuhan ekonomi nasional sangat terdampak dengan merebaknya wabah corona.
Sesuai pemodelan dari beberapa perguruan tinggi dan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Bappenas memperkirakan puncak wabah terjadi pada Mei dengan 92 ribu kasus.
Walaupun pandemi Covid-19 diperkirakan berlangsung dalam beberapa bulan hingga akhir tahun ini, pemerintah tetap melanjutkan proyek pembangunan ibu kota baru.
PEMERINTAH merombak postur serta rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun ini akibat pandemi virus corona yang mulai membahayakan perekonomian nasional. Anggaran di beberapa kementerian dan lembaga tinggi negara dipangkas dan dialihkan untuk penanganan Covid-19. “Pemotongan anggaran lebih banyak dilakukan Kementerian Keuangan, tapi didiskusikan dengan Bappenas,” kata Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa dalam wawancara khusus dengan Tempo, Selasa, 7 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suharso, 65 tahun, mengatakan pandemi Covid-19 yang diprediksi berlangsung hingga beberapa bulan ke depan berpotensi mendongkrak tingkat kemiskinan melebihi angka tahun lalu yang sebesar 9 persen. Jika pagebluk ini tidak lekas ditangani, target pemerintah mengentaskan angka kemiskinan di kisaran 7 persen pada 2024 juga dapat terancam. Apalagi, hingga pekan lalu, lebih dari 1 juta pekerja dirumahkan dan terkena pemutusan hubungan kerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah telah menambah alokasi anggaran Rp 405,1 triliun untuk membeli alat kesehatan, perlindungan sosial, insentif pajak, hingga program pemulihan ekonomi. Suharso memastikan penataan ulang keuangan negara tidak berimbas signifikan pada proyek strategis nasional, termasuk pembangunan ibu kota baru. “Menurut kami, tidak perlu diberhentikan,” ujar politikus Partai Persatuan Pembangunan itu.
Kepada wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi, Wayan Agus Purnomo, Hussein Abri Dongoran, Khairul Anam, dan Raymundus Rikang, Suharso menjelaskan sejumlah hal, dari dampak Covid-19 terhadap perekonomian hingga kelanjutan proyek-proyek strategis nasional. Wawancara berlangsung melalui video konferensi pada Selasa, 7 April lalu. Wawancara dilanjutkan di kediaman Suharso di Dharmawangsa, Jakarta Selatan, keesokan harinya.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa (tengah) berbincang dengan pekerja jalan tol trans Sumatera ruas Sigli - Banda Aceh di Blang Bintang, Aceh Besar, Aceh, Jumat, 13 Maret 2020. (ANTARA/Irwansyah Putra)
Bagaimana dampak pandemi corona terhadap rencana pembangunan nasional?
Pasti ada pengaruhnya. Rencana pembangunan nasional itu berisi asumsi-asumsi dan target-target. Kalau salah satu asumsinya berubah, dengan sendirinya semua perhitungan berubah, baik dari sisi pembiayaan maupun waktu pengerjaannya. Asumsi yang paling penting bagi kami adalah asumsi pertumbuhan ekonomi makro. Pertumbuhan ekonomi kita tentu sangat terkena dampak.
Apakah dampak ekonominya saat ini jauh di luar perkiraan Bappenas?
Hampir semua negara tidak menduga virus corona memberi pengaruh negatif sedemikian rupa terhadap perkembangan ekonomi negara masing-masing. Bahkan Amerika Serikat sampai hari ini juga mencoba dengan berbagai macam alternatif kebijakan fiskalnya. Begitu pula Jepang, Singapura, dan negara-negara besar lain.
Bagaimana Bappenas menilai kesiapan ekonomi Indonesia menghadapi pandemi?
Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan, misalnya, Singapura dan Malaysia, yang produk domestik bruto (PDB) per kapitanya jauh di atas kita. Bahkan Cina sudah 11 ribu dolar per kapita. Dilihat dari sisi itu, tentu kapasitas kita tidak dalam posisi yang siap. Negara-negara itu bisa menghadapi wabah dengan memberikan kebijakan fiskal, bahkan belanja fiskal yang lebih besar. Sementara itu, kita masih berharap dengan tingkat pertumbuhan ekonomi paling tidak 5 persen dan rata-rata ingin sampai 6 persen pada 2024. Jadi tidak apple to apple kalau dibandingkan dengan Indonesia.
Menteri Keuangan memperkirakan pertumbuhan ekonomi turun ke angka 2,3 persen sampai minus 0,4 persen karena pandemi ini. Bagaimana perhitungan Bappenas?
Kami justru menganggap mungkin sampai akhir tahun 2,2 persen. Ya, mudah-mudahan yang benar Kementerian Keuangan. Kami lebih sedikit pesimistis karena terjadi shortfall yang cukup besar di penerimaan pajak. Lalu konsumsi menurun. Kontribusi terbesar di dalam PDB kita adalah konsumsi (rumah tangga), sekitar 56 persen. Kalau konsumsi turun, itu tandanya peringatan. Investasi juga terganggu. Kita tidak bisa mengharapkan investasi dengan situasi seperti ini. Di sisi lain, kemampuan fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi juga terbatas. Untungnya, surat utang negara global sebesar US$ 4,3 miliar diserap (pasar). Tapi harganya mahal dan yield-nya besar.
Bagaimana dengan sumber pendanaan lain?
Kalau dilihat di dalam negeri, kapasitas kita juga sangat terbatas. Contoh, kita punya dana pihak ketiga di perbankan Indonesia, mungkin saat ini sekitar Rp 5.500 triliun. Nah, rasio loan-to-deposit kira-kira 95 persen. Artinya, uang Rp 5.500 triliun dari dana pihak ketiga sudah dikreditkan 95 persen. Sisanya tinggal 5 persen, dikalikan Rp 5.500 triliun itu Rp 275 triliun. Sementara itu, kebutuhan kita jauh di atas itu.
Bukankah pemerintah sudah menganggarkan Rp 405,1 triliun untuk mengatasi pandemi Covid-19?
Untuk membelanjakan Rp 405,1 triliun, kita mesti menciptakan defisit sebesar Rp 853 triliun. Di samping itu, kita masih menciptakan lagi Rp 150 triliun yang below the line. Artinya, bukan masuk belanja, tapi juga pembiayaan. Kalau dijumlahkan sudah Rp 1.000 triliun dana yang diperlukan untuk pemulihan ekonomi. Anda bayangkan. Jadi menciptakan utang baru dengan jumlah yang lumayan. Tapi memang kita tidak punya pilihan.
Apakah kebutuhan dana yang besar untuk mengatasi Covid-19 bakal mempengaruhi kelanjutan proyek-proyek strategis nasional?
Proyek-proyek strategis nasional itu kebanyakan sifatnya tahun jamak. Kalau titik awalnya misalnya April atau Mei, akan ada pergeseran enam bulan, sembilan bulan, sampai satu tahun. Jadi bisa diakomodasi di waktu berikutnya. Cuma, kita berharap terjadi efek kejut pegas. Mudah-mudahan pertumbuhan ekonomi yang rendah tahun ini seperti kita menekan pegas serendah-rendahnya, lalu dia melenting lebih tinggi. Siapa tahu tahun depan tumbuh 7 persen. Tapi untuk mencapai itu harus digerakkan lewat fiskal. Swasta kan sedang lesu semua. Bukan hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia.
Adakah proyek-proyek infrastruktur yang ditangguhkan?
Yang sudah dimulai silakan dimulai, hanya mungkin ada jedanya sedikit, kemudian dilanjutkan. Jadi tidak ada yang kami hentikan. Bahkan untuk ibu kota negara masih terus. Menurut kami, tidak perlu diberhentikan. Cuma, sekarang hanya kerja soft supaya, kalau waktunya sudah memungkinkan, baru kita tancap gas.
Kerja soft seperti apa?
Untuk pekerjaan yang tidak terkait dengan konstruksi tetap diteruskan. Kami sekarang sedang menyelesaikan rancangan induknya. Saya berharap rencana detailnya juga selesai akhir tahun ini atau lebih cepat sehingga tahun ini kita bisa melakukan groundbreaking. Kalaupun itu tertunda, mungkin hanya sampai tahun depan. Tapi semua kebutuhan untuk sampai pada groundbreaking sudah dikerjakan.
Pembangunan ibu kota baru diperkirakan menelan dana Rp 466 triliun, 19 persennya dari APBN. Dengan kondisi keuangan seperti sekarang, bagaimana jalan keluarnya?
Dari APBN diperlukan Rp 90-an triliun. Kami bisa bikin dalam tiga tahunlah. Sisanya tentu kami minta investasi dari investor dan KPBU (Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha). Ini bisa menjadi peluang bisnis besar dalam rangka pemulihan ekonomi setelah wabah berakhir.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa saat ditemui Tempo di ruang kerjanya di kediamannya di Jakarta, Rabu, 8 April 2020. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Mengapa pemerintah tampak ngotot melanjutkan pembangunan ibu kota baru?
Saya memahami seakan-akan kalau saya katakan lanjut artinya pemerintah tidak punya empati kepada publik bahwa kita sedang menghadapi Covid. Saya kira itu keliru. Covid tetap kami nomorsatukan. Kalau Covid tidak selesai tahun ini, (proyek ibu kota baru) akan tertunda lebih lama. Tapi, kalau sampai dibatalkan, saya kira enggak karena sudah menjadi keputusan politik. Kalau rancangan undang-undangnya bisa diselesaikan tahun ini, artinya semua sudah mengikat.
Bagaimana Bappenas melihat potensi melonjaknya tingkat kemiskinan menyusul terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja selama pandemi ini?
Tingkat kemiskinan naik karena yang rentan miskin makin miskin, menengah yang pas-pasan jatuh miskin, yang miskin biasa menjadi miskin ekstrem. Akibatnya, penduduk ekstrem miskin makin bertambah. Karena itu, jaring pengaman sosial menjadi penting dan kami perlebar. Jadi kelompok sasarannya tidak lagi seperti yang di data kemiskinan itu, tapi buat masyarakat yang rentan yang bisa jatuh miskin karena penghasilan harian atau orang yang punya cicilan tiap bulan dan bergantung pada penghasilan harian. Semuanya kami masukkan dalam kebijakan fiskal untuk mengatasi Covid-19. Karena itu, selain anggaran kesehatan yang Rp 75 triliun, ada Rp 70 triliun yang kami alokasikan supaya tidak terbentuk kemiskinan baru, selain dana Rp 110 triliun yang sifatnya social safety net dan memang untuk mengatasi kemiskinan.
Jumlah penerimanya dilebarkan menjadi berapa?
Sekarang kami naikkan sampai 20 juta dari sebelumnya 15 koma sekian juta jiwa. Kalau kita bisa mengatasi se-Pulau Jawa saja, itu sudah bisa mengatasi kemiskinan yang luar biasa besarnya. Sebenarnya kemiskinan yang paling rentan itu justru di Jawa karena penduduknya 150 juta. Rasio kemiskinan tertinggi ada di Jawa.
Berapa persen tingkat kemiskinan nantinya gara-gara wabah Covid-19 ini?
Mungkin tetap di 9 persen. Mudah-mudahan enggak naik karena ada social safety net yang menahannya. Kalau tidak, ya tembus ke angka yang tidak kita inginkan. Sementara harapannya bisa 7 persen pada 2024. Tapi untuk menuju ke situ terhambat oleh kondisi sekarang.
Jumlah penderita Covid-19 terus bertambah. Menurut Bappenas, kapan pandemi ini mencapai puncaknya?
Kami melibatkan Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, bahkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan UNICEF (Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa) untuk menghitung peluang terbaik sampai skenario terburuk. Puncaknya seperti yang disampaikan Pak Doni Monardo (Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19) itu betul. Sebanyak 92 ribu kasus pada Mei. Angka itu artinya ada intervensi maksimal yang kami lakukan.
Intervensi maksimalnya seperti apa?
Pertama, menjaga seperti sekarang ini dengan physical distancing. Kedua, menyediakan tes di daerah-daerah yang dianggap zona merah. Saat tes diperbanyak, maka kapasitas laboratorium ditambah, diperkuat, dan diperlebar. Lalu kita siapkan, kalau puncaknya terjadi, berapa kapasitas dari rumah sakit yang tersedia.
Apakah kebijakan yang diambil pemerintah sejauh ini sudah intervensi maksimal?
Sambil jalan tentu kami perbaiki. Ada tahap-tahap skenario. Kalau dengan intervensi seperti ini hasilnya seperti apa.
Seberapa banyak jumlah penderita Covid-19 jika tanpa intervensi pemerintah?
Kalau tanpa intervensi, ibaratnya dari 100 orang dalam populasi, 50 di antaranya kena dulu. Dari situ rata-rata 2-3 persennya wafat, berarti 4-6 orang. Itu teori herd immunity. Jika tidak ada intervensi, waktunya juga lebih lama.
Bagaimana dinamika di dalam Istana selama penanganan Covid-19?
Saya kira Presiden Joko Widodo percaya kepada tim dan penyelesaiannya secara tim. Kalau ada yang berbeda pendapat, pasti terakhir kami berikan kepada Presiden, jadi beliau yang akan memutuskan.
Seperti apa contohnya?
Misalnya soal defisit APBN mau dibuka selebar berapa. Saya mengusulkan 4 persen cukup. Menteri Keuangan bilang bisa 5 persen lebih. Kami mengikuti keputusan Presiden.
Mengapa Anda memperkirakan defisit APBN cukup 4 persen?
Saya ini orang yang konservatif dalam hal kebijakan fiskal. Saya dulu sewaktu jadi anggota staf khusus Pak Hamzah Haz (Wakil Presiden 2002-2004) ikut menyusun Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Saya pelajari dan diskusikan dengan Pak Hamzah Haz yang ahli pajak dan APBN. Kenapa ada batas defisit 3 persen, kenapa ada batas utang total 60 persen dari PDB. Kalau kita buka kembali perdebatan-perdebatan di masa itu, saya kira masih relevan untuk menjaga Indonesia beberapa tahun kemudian. Saya kan juga pernah di Dewan Perwakilan Rakyat dan menghadapi APBN berubah dua kali pada 2008 karena krisis kredit perumahan di Amerika Serikat yang berimbas pada sistem pembayaran di seluruh dunia. Waktu itu saya wakil ketua panitia anggaran yang ikut menentukan. Dengan pengalaman itu, saya ingin mencegah agar kita tidak terjebak dalam situasi yang buruk setelah wabah.
Mengapa pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk menghadapi pandemi Covid-19?
Sebenarnya kita punya KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan). Saya bukan anggota KSSK, ya. Rapat-rapat KSSK itu sampai pada satu usulan, yang kemudian oleh Menteri Keuangan dibawa ke sidang kabinet. Itulah asal-muasalnya perpu tersebut.
Apa pertimbangannya ketika itu?
Memang yang harus diselamatkan adalah semua sektor ekonomi. Dan ekonomi yang paling rentan juga adalah sektor moneter. Misalnya, ada pabrik tidak bisa berproduksi, artinya cash flow-nya terganggu dan tidak bisa memenuhi kewajibannya membayar bunga bank dan menggaji pegawai. Kalau dia punya utang bahan baku, enggak bisa bayar juga. Kalau secara kumulatif semua perusahaan terjadi seperti ini, akan mengganggu bank. Karena tidak bisa tertagih, itu akan mengancam sistem pembayaran dan mengancam likuiditas ekonomi. Mandek. Ibaratnya darahnya tak bergerak. Bisa terjadi lagi kasus seperti Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Karena itu, harus dicegah. Caranya dengan penyelamatan ekonomi dengan suntikan Rp 150 triliun.
Pasal 27 perpu itu menuai kritik karena membebaskan para pengelola anggaran dalam KSSK dari ancaman pidana jika mengakibatkan kerugian negara. Bagaimana tanggapan Anda?
Yang dikhawatirkan akan terjadi kriminalisasi terhadap kebijakan. Anda kan tidak bisa menghakimi, mengadili peristiwa masa lalu dengan keadaan sekarang. Misalnya, yang lalu itu salah karena menimbulkan kerugian negara. Oh, enggak bisa. Untuk itulah dibuat aturan itu supaya apa yang diperlakukan pada hari itu, ya setop di hari itu. Tapi memang harus berdasarkan niat baik. Jangan sampai ada moral hazard. Itu penting. Karena itu, publik harus mengawasi, termasuk wartawan. Perpu ini sebenarnya mempersandingkan otoritas fiskal dan otoritas moneter untuk menghadapi situasi perekonomian Indonesia karena wabah Covid. Semua itu mengesampingkan keadaan yang biasa, dan menurut saya keadaan kahar sudah terpenuhi. Pertama, pendapatan negara anjlok, sementara belanja tetap. Kedua, wabah ini meluas.
Tapi perpu ini dinilai memberikan kewenangan yang terlampau besar kepada Presiden dan Menteri Keuangan.
Sebenarnya kewenangan pemerintah enggak terlalu besar kecuali soal defisit 3 persen itu. Yang banyak justru kami berikan kepada otoritas moneter dan KSSK.
Bagaimana reaksi Presiden ketika Menteri Keuangan menyampaikan gagasan tentang perpu tersebut?
Pertama soal mau enggak mau defisit akan melampaui 3 persen. Itu kan sudah melanggar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003. Jadi memang harus ada undang-undang yang membolehkan itu. Tapi kita memberi batas bahwa pembolehan itu hanya pada 2020, 2021, dan 2022. Jadi bukan tanpa batas.
SUHARSO MONOARFA | Tempat dan tanggal lahir: Mataram, Nusa Tenggara Barat, 31 Oktober 1954 | Pendidikan: Fakultas Planologi Institut Teknologi Bandung (1974-1978); Executive Development Program di University of Michigan, Amerika Serikat (1994); Executive Program di Stanford University, Amerika Serikat (1995); Visiting Professor di Guangdong University of Finance, Cina, dan Business School University of Nottingham, Inggris (2016-2018) | Karier: Eksekutif di beberapa perusahaan (1984-2002), antara lain PT Bukaka Sembawang Engineering; Anggota staf khusus Wakil Presiden Hamzah Haz (2002-2004); Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (2004-2009); Menteri Perumahan Rakyat (2009-2012); Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (2015-2019); Pelaksana tugas Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (sejak 2019); Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas (sejak 2019) | Penghargaan: Doctor honoris causa bidang bisnis dari Central Queensland University, Australia (2019)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo