Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Film The Platform dirilis Netflix di tengah pandemi Covid-19.
Bercerita tentang konflik kemanusiaan akibat hierarki sosial.
ADA bau asap di udara. Sesaat menghidu asap, para penghuni bangunan kelabu itu akan terlelap seketika. Ketika mata terbuka keesokan harinya, angka yang tertoreh di dinding kamar masing-masing akan menjadi penentu apakah mereka sebaiknya bangun atau lanjut tidur dan berharap mati saja. Begitulah hari-hari para penghuni bangunan semen yang dengan mentereng dinamai Pusat Manajemen Diri Vertikal itu. Padahal “penjara” adalah kata yang lebih tepat. Pada latar distopia ini, The Platform membangun cerita tentang manusia dan kelas-kelasnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Diskusi tentang representasi kelas sosial dalam sinema hangat sekali sepanjang tahun lalu lewat kemenangan Parasite karya Bong Joon-ho sebagai film terbaik pada Academy Awards. Beberapa tahun sebelumnya, Bong menyentuh tema yang sama lewat Snowpiercer (2013) yang mengisahkan situasi setelah kiamat, saat manusia yang tersisa di bumi hanya mereka yang menumpang sebuah kereta. Mereka yang kaya dapat bernyaman-nyaman di gerbong depan, sementara kelas bawah tersudut di gerbong ekor. The Platform boleh dibilang versi vertikal, dan tak dimanis-maniskan, dari tema perbedaan kelas ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam film berbahasa Spanyol ini, diskusi tentang hierarki manusia dibuat lebih sengit lewat setting yang diatur ketat ibarat sebuah laboratorium sosial. Orang-orang dimasukkan ke sel penjara yang dibangun secara vertikal. Hanya ada satu sel di tiap lantai yang diisi dua orang. Perabot yang terlihat hanya kasur dan wastafel serta satu benda pribadi pilihan setiap penghuni. Ada yang membawa buku Don Quixote, ada pula yang menyimpan pisau yang mampu menggores dinding semudah membelah mentega. Tak terlihat pintu masuk atau keluar, atau bahkan sekadar jendela. Bagi penghuninya, tempat itu lebih akrab disebut Lubang saja karena satu-satunya akses untuk melihat sekitar adalah lubang persegi besar di tengah lantai.
Ivan Massagué dan Zorion Eguileor./imdb
Sekali dalam sehari, semacam mimbar akan diturunkan melalui lubang tersebut. Lewat mimbar itu, makanan dibagikan kepada penghuni sel. Penghuni lantai-lantai atas dapat sepuasnya menikmati rupa-rupa makanan yang terhidang di atas mimbar, dari kalkun dan kepiting, escargots de bourgogne dan panna cotta, kue tar bertingkat-tingkat, bir dan sampanye yang meruap, hingga buah-buahan tropis aneka warna. Penghuni lantai bawah hanya dapat memakan apa yang disisakan mereka yang di atas. Idealnya, porsi makanan di atas mimbar cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi semua penghuni sel yang mencapai ratusan lantai itu jika, dan hanya jika, tiap orang mengambil porsi secukupnya. Namun ide sama rata itu tentu tak berjalan. Saat Goreng (Iván Massagué) menemukan dirinya terbangun di lantai 48, makanan yang tersisa di mimbar hanya serpihan tulang. Dapat dibayangkan, penghuni ratusan lantai di bawahnya tak lagi bertanya apa yang tersisa untuk dimakan, tapi siapa. Kanibalisme pun menjadi pemakluman untuk bertahan.
Kebrutalan dan sisi-sisi tergelap lain manusia menjadi nyata dalam situasi tanpa jalan keluar itu. Sutradara Galder Gaztelu-Urrutia tanpa basa-basi memperlihatkan konsekuensi dari kesenjangan yang dihasilkan oleh sistem yang mendorong manusia menyelamatkan diri masing-masing. Mereka yang tak punya banyak pilihan harus berkorban darah dan daging, dalam arti sebenarnya. Seperti yang dicetuskan teman satu sel Goreng, pak tua Trimagasi (Zorion Eguileor), “Kelaparan melepaskan sisi gila dalam diri kita. Lebih baik memakan daripada dimakan.” Tapi, tak hanya itu, film ini juga memperlihatkan bahwa yang punya akses pada sumber daya tak kalah gilanya. Ketamakan dan keegoisan menumpulkan kepedulian terhadap orang lain. Mereka yang di lantai atas makan lebih banyak dari yang bisa ditampung perut tanpa berpikir ada yang akan mati di bawah karena tak mendapat sedikit pun bagian.
Kadang horor di tempat ini tak perlu disodorkan ke depan mata kita. Cukup dengan gema pekikan ngeri yang terdengar lebih nyaring dan dekat saat berada di level yang lebih bawah. Atau kelebatan tubuh-tubuh terjatuh di tengah lubang karena tak sanggup lagi hidup di tengah mimpi buruk itu.
Txubio Fernández de Jáuregui./imdb
Setiap bulan, posisi penghuni akan dirotasi. Tak jelas apa yang menjadi landasannya, tapi akan ada penghuni yang menemukan dirinya telah pindah ke lantai-lantai teratas dan ada yang makin terperosok ke dasar. Sebagai tokoh utama, Goreng diposisikan ibarat Mesias yang diharapkan dapat mengubah situasi itu. Sejak awal, dia menampakkan diri sebagai pahlawan yang memikirkan orang lain. Namun, ketika pada bulan berikutnya Goreng terbangun di lantai 200-an, masihkah akal sehat bisa dia pertahankan? Atau ketika dia naik kelas ke lantai 6 dan mendapati makanan masih berlimpah, apakah dia masih peduli untuk berbagi? The Platform menyediakan ruang untuk semua kemungkinan itu sambil menghadirkan tokoh pendamping yang menguji idealisme Goreng. Penutur bahasa Melayu akan tergelitik mendengar nama-nama tokoh dalam cerita ini. Goreng, Trimagasi, bahkan ada Brambang dan Imoguiri.
Pada bagian ketiga alur cerita, pembuat film mencoba menawarkan solusi untuk meruntuhkan sistem penjara itu, tentu saja dengan Goreng sebagai pahlawan utama. Dia menyusun rencana untuk memastikan makanan terdistribusi merata hingga lantai-lantai terbawah. Solusi ini melibatkan pertunjukan kekerasan untuk memaksa orang-orang patuh pada penjatahan makanan yang ditetapkan Goreng. Sebuah adegan menggelitik muncul saat Goreng bertemu dengan seorang bijak di salah satu sel terbawah. Dia mengingatkan bahwa dialog adalah jalan yang harus diutamakan untuk menggugah nurani. Terlepas dari cara keras atau diplomatiskah yang lebih efektif, bagian resolusi masalah ini terasa terlalu mudah karena bertumpu pada premis “perubahan harus dimulai dari diri sendiri”. Benarkah sistem yang menjunjung tinggi kepemilikan modal ini dapat diruntuhkan hanya dengan membuat diri sendiri menjadi manusia yang lebih baik?
Memenangi People’s Choice Awards kategori Midnight Madness dalam Toronto International Film Festival akhir tahun lalu, The Platform mulai diedarkan Netflix pada awal Maret 2020. Waktu rilis ini tak bisa lebih sempurna karena bersamaan dengan situasi umat manusia sedang dikepung pagebluk Covid-19. Jika sempat terpikir bahwa manusia tak mungkin sekejam itu kepada manusia lain seperti yang ditampilkan The Platform, coba cari saja berita teranyar tentang bagaimana wabah global ini telah mendorong mereka yang berpunya menimbun makanan dan alat perlindungan untuk diri sendiri tanpa menyisakan pilihan bagi yang tak mampu membeli.
Namun banyak juga berita menghangatkan hati tentang mereka yang memikirkan orang lain dan mau berbagi yang sedikit. Barangkali dunia kita tak akan berakhir sesuram situasi di Lubang karena pahlawan yang kita punyai bukan hanya Goreng seorang.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo