Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Dirty Vote Bukan untuk Kepentingan Elektoral

Film Dirty Vote dibuat untuk memaparkan berbagai kecurangan pemilu. Tim menomboki biaya produksi.

15 Februari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kolase foto tiga pakar hukum tata negara Bivitri Susanti (kiri), Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari . TEMPO/Subekti, M. Iqbal Ichsan, Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hanya dalam empat hari, film Dirty Vote ditonton lebih dari 8,5 juta kali di kanal YouTube. Tiga pakar hukum, Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari, memaparkan berbagai kecurangan yang terjadi sepanjang tahapan Pemilihan Umum 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tudingan terhadap karya yang disutradarai Dandhy Dwi Laksono itu seketika menyeruak karena dirilis tiga hari menjelang pemungutan suara. Bivitri, pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Jentera, menyebutkan film Dirty Vote dibuat bukan untuk kepentingan elektoral. "Kami mau menampilkan peta kecurangan pemilu," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Feri, dosen di Universitas Andalas, pun menyebutkan proyek film tersebut dibuat untuk membangun kesadaran masyarakat soal adanya kecurangan pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif. Ia mengatakan tak ada sumbangan dari politikus mana pun untuk pembuatan film itu. "Kami masih menombok," ucapnya.

Bivitri, Feri, dan Zainal diwawancarai secara terpisah oleh wartawan Tempo, Sunudyantoro, Praga Utama, serta Yosea Arga Pramudita, pada Selasa dan Rabu, 13 dan 14 Februari 2024. Percakapan dengan Bivitri dan Feri berlangsung di gedung Tempo, Palmerah, Jakarta Barat. Adapun Zainal melakukan sesi tanya-jawab melalui video telekonferensi.

Hasil hitung cepat mencatat Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka unggul dalam Pemilu 2024. Apakah film Anda tak berdampak?

Zainal: Ini sangat bergantung pada bagaimana membacanya. Mau mengatakan bahwa ternyata film itu tak ada hasilnya atau jangan-jangan hasil pemilihan presiden ini mengatakan Dirty Vote memang benar.

Tapi berbagai kekisruhan saat pemungutan suara seperti mengkonfirmasi temuan di Dirty Vote.

Bivitri: Iya. Semua hal yang terjadi secara terstruktur dan sistematis bisa diduga akan punya dampak elektoral. Kami belum bisa menyampaikan hasil kesimpulan itu ketika film diluncurkan pertama kali. Tapi bisa diduga demikian.

Akademisi dan Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti (kiri), pengamat politik Rocky Gerung, sosiolog dan aktivis Hak Asasi Manusia Robertus Robet menjadi pembicara dalam acara "Omon-Omon Demokrasi Jokowi "di Gedung Tempo Media Grup, Jakarta, 14 Februari 2024. TEMPO/Subekti

Apa dampak yang dibayangkan ketika menggarap proyek ini?

Zainal: Waktu kami membuat film itu, sama sekali tak ada pembicaraan tentang signifikansi untuk mengalahkan siapa pun. Kami sebenarnya membuat file dari peta kecurangan pemilu. Jadi tujuannya sejak awal adalah tak menyoal apakah kita harus menjatuhkan siapa atau mendapatkan angka tertentu.

Bivitri: Semua gagasan yang pernah saya bicarakan itu berceceran karena tampil di acara talkshow dan podcast. Idenya tak bisa sampai. Saya menyadari perlu dirangkai dalam sebuah film yang punya kerangka lebih panjang untuk menyampaikan betapa buruknya pemilu sekarang ini secara lebih terang. Jadi Dirty Vote bukan untuk kepentingan elektoral.

Ada tudingan Dirty Vote dibuat untuk menguntungkan pasangan nomor urut 01 dan 03. Apa respons Anda?

Zainal: Enggak ada peran dari orang di pihak pasangan nomor urut 01 dan 03. Kami mau menampilkan peta kecurangan pemilu. Sebab, kekuasaan sangat terlibat di dalamnya menurut peta kecurangan itu.

Tuduhan itu muncul karena tiga pakar di film ini pernah membantu calon wakil presiden Mahfud Md. ketika masih menjadi menteri.

Feri: Kerja kami hanya melakukan pengkajian di tim itu. Saya, Bivitri, dan Uceng—panggilan Zainal—sering mengkritik Pak Mahfud. Kami juga keluar dari asosiasi dosen hukum tata negara ketika organisasi itu dipimpin Pak Mahfud, lalu mendirikan organisasi tandingan. Namun, ketika Pak Mahfud membentuk Tim Reformasi Hukum, kami yang diajak bergabung. Kami punya kesempatan melihat proses penyusunan peraturan oleh pemerintah.

Mengapa jadwal penayangannya mendekati pemungutan suara?

Bivitri: Banyak alasan karena dari ide Dandhy—sutradara Dirty Vote—baru banget. Setelah saya pikir, ada baiknya juga karena masuk ke masa tenang sehingga mengajak orang untuk berefleksi.

Refleksi apa?

Bivitri: Bukan sekadar satu dan dua putaran serta Prabowo Subianto kalah, misalnya. Tapi kami ingin mengajak orang memikirkan bahwa pemilu merupakan suatu alat untuk berdemokrasi. Ada gagasan yang lebih besar, namanya demokrasi substantif.

Apakah tujuan itu tercapai?

Bivitri: Bahwa suara Prabowo sekarang sudah unggul, bagi kami ini bukan kekalahan. Ini sudah bisa diprediksi. Kami waktu itu tak bisa berbicara tentang hal-hal pencoblosan karena belum terjadi. Tapi kami menduga akan terjadi.

Feri Amsari dalam film dokumenter "Dirty Vote" karya sutradara Dandhy Dwi Laksono. YouTube/ PSHK Indonesia

Siapa yang membiayai produksi?

Feri: Kami patungan. Kami juga dibantu oleh organisasi masyarakat sipil. Di antaranya Indonesia Corruption Watch, Kurawal, dan Themis. Biaya produksi sekitar Rp 200 juta.

Ada tuduhan bahwa Anda dibayar lembaga donor asing dan pasangan calon presiden. Apa tanggapan Anda?

Feri: Wong kami masih menombok, sekitar Rp 50 juta, untuk membayar sewa layar besar yang kami pakai di film itu.

Apa kerumitan dalam proses produksi?

Feri: Proses dari awal sampai tayang di YouTube tak sampai dua pekan. Kami harus mengakui bahwa pusing juga mengolah banyak data. Kami harus memilih mana yang paling tepat untuk disuarakan kepada publik demi membangun kesadaran soal kecurangan pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif. Kami pun perlu memeriksa apakah ada data yang berbahaya jika diungkapkan ke publik.

Data apa?

Feri: Isi percakapan Ketua Komisi Pemilihan Umum Hasyim Asy’ari dalam kasus etik yang pernah menjeratnya. Kami punya bukti autentiknya. Tapi, kalau itu dikeluarkan, bisa menjadi masalah hukum. Kami akhirnya memakai putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu karena ada percakapan itu di putusan. Perdebatannya lama sekali.

Apa kesulitan tampil di depan kamera?

Feri: Kami latihan dulu sebelum syuting dan sambil membaca naskah di telepromter. Tapi memakai alat itu menjadi kaku sehingga ilmunya hilang. Jadi kami natural saja. Proses produksinya menyenangkan, hanya proses latihannya melelahkan.

Zainal Arifin Mochtar dalam film dokumenter "Dirty Vote" karya sutradara Dandhy Dwi Laksono. YouTube/ PSHK Indonesia

Apakah ada intimidasi setelah penayangan film Dirty Vote?

Feri: Ada serangan personal. Namun sampai hari ini tak ada yang membantah substansi filmnya. Data yang kami pakai itu open source dan faktanya juga terang.

Bivitri: Ada serangan hacking. Kami sebenarnya sudah membicarakan risiko serangan ketika pertama kali mengerjakan proyek ini. Kami sejak awal sudah siap karena memang harus ada yang dikorbankan. Kami juga berusaha tak petantang-petenteng setelah film rilis. Ada kru kami yang mendapat ancaman dan diikuti.

Zainal: Bagi orang yang takut atau sensitif, dimaki sedikit saja mungkin sudah tersinggung. Saya kira mungkin ancamannya adalah berbagai komentar di media sosial. 

Anda dilaporkan ke polisi karena terlibat di film ini. Bagaimana menghadapinya?

Zainal: Yang paling penting adalah mengantisipasi. Saya sama sekali tak khawatir soal laporan ke Badan Reserse Kriminal Polri.

Apakah Anda menjadi takut setelah berbagai ancaman itu muncul?

Zainal: Takut atau tidak, itu satu hal. Tapi mengantisipasi, itu hal lain. Kami menjadi lebih aware ketika harus pergi ke luar rumah.

Bivitri: Saya tidak mempunyai ketakutan. Kami ada briefing dari tim keamanan soal bagaimana mengamankan sejumlah hal. Jadi rasa takut itu tidak ada karena tertutupi oleh hal lain, yakni ide film ini keren banget dan isinya memang penting banget.

Bagaimana cara masyarakat sipil punya peran mengawasi pemerintahan baru seperti halnya inisiatif tim Dirty Vote?

Bivitri: Akan lebih bagus jika lebih banyak inisiatif untuk melakukan pendidikan politik melalui berbagai medium, seperti podcast. Pasti tantangannya besar kalau Pak Prabowo menang karena dia bukan tipe orang yang membuka ruang untuk kebebasan berpendapat. Jika ada inisiatif untuk tetap mempertahankan ruang yang terbatas, itu menjadi harapan yang penting.


Bivitri Susanti|
Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 5 Oktober 1974

Pendidikan:
- Master Ilmu Hukum, University of Warwick, Inggris
- Sarjana Ilmu Hukum, Universitas Indonesia

Profesi:
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Jentera


Zainal Arifin Mochtar
Tempat dan tanggal lahir: Makassar, 8 Desember 1978

Pendidikan:
- Doktor Ilmu Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
- Master Ilmu Hukum, Northwestern University, Amerika Serikat
- Sarjana Ilmu Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Profesi:
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada


Feri Amsari
Tempat dan tanggal lahir: Padang, 2 Oktober 1980

Pendidikan:
- Master Ilmu Hukum, Universitas Andalas, Padang
- Sarjana Ilmu Hukum, Universitas Andalas, Padang

Profesi:
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Andalas

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Sunudyantoro

Sunudyantoro

Wartawan Tempo tinggal di Trenggalek

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus