Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yokyok Hadiprakarsa patut lega jerih payahnya selama hampir 20 tahun bergiat dalam konservasi burung rangkong menuai hasil. Ia bersama organisasi Rangkong Indonesia menjadi salah satu dari enam pemenang Whitley Award 2020 dari Inggris atau yang dikenal juga sebagai Green Oscar. Yoki-begitu kerap dia disapa-terpilih atas program Saving The Last Stronghold of the Helmeted Hornbill atau Penjaga Rangkong Gading.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia memperoleh dana hibah senilai 40 ribu pound sterling untuk melanjutkan program penyelamatan rangkong gading yang saat ini berstatus kritis. Burung bernama latin Rhinoplax vigil ini menjadi satwa primadona yang diburu dan dijual. "Saya mengusulkan sebuah program untuk menyelamatkan rangkong gading dari kepunahan akibat perburuan," kata Yoki kepada Arkhelaus Wisnu dari Tempo melalui sambungan telepon, Selasa lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam wawancara selama hampir 50 menit itu, Yoki bercerita tentang awal mula ketertarikannya terhadap satwa rangkong hingga proses pengajuan program untuk mengikuti Whitley Award 2020. Menurut dia, merangkul warga lokal untuk perlindungan satwa langka menjadi cara efektif menjaga ekosistem dan ekonomi masyarakat.
Bagaimana kisah Anda mendapatkan Whitley Award?
Itu penghargaan dari organisasi amal di Inggris untuk para pegiat konservasi satwa liar di dunia. Penghargaan ini untuk membantu proyek kegiatan sehingga berbeda dengan penghargaan seperti Kalpataru atau yang lain. Kalau penghargaan, biasanya orang lain yang mengajukan. Penghargaan ini, kami mengusulkan ide dan pemikiran serta melalui proses seleksi.
Sejak kapan Anda memasukkan aplikasi?
Mulai April 2019. Ada sekitar 120-an yang memasukkan aplikasi. Terpilih enam aplikasi yang spesifik konservasi satwa liar. Mereka membuat penghargaan dan image yang terbangun sehingga penghargaan ini prestisius, seperti Green Oscar di bidang konservasi satwa.
Apa yang Anda usulkan sehingga terpilih?
Saya mengusulkan program menyelamatkan rangkong gading dari kepunahan akibat perburuan. Kami mengajak masyarakat setempat yang hidup berdampingan dengan rangkong gading untuk melindungi. Sebab, sebenarnya banyak juga pemburu berasal dari masyarakat sendiri. Tapi, hasil temuan saya, mereka memang enggak ada pilihan secara ekonomi sehingga mereka berburu. Dari situ, saya berpikir pola itu bisa dan harus diubah. Berburu itu memang untuk kepentingan ekonomi, tapi itu negatif dan hanya bertahan satu generasi. Saya mengusulkan sebuah kegiatan ekowisata pengamatan burung. Jadi, daripada menembak mati, selesai, punah di tempat, kenapa enggak burung itu dijaga, diamati dengan membangun ekowisata.
Seperti apa itu?
Kalau di luar negeri itu sudah berkembang, seperti tempat bird watching. Di Amerika Serikat dan di Inggris, kegiatan mereka bisa memutar ekonomi. Mereka berlomba melihat burung yang endemik, khas, dan terancam punah. Artinya, mereka rela membayar untuk datang, termasuk membayar guide, hanya untuk melihat burung. Di Indonesia, yang cukup berhasil itu dilakukan di Pegunungan Arfak di Papua Barat.
Saya yakin, ketika hubungan itu sudah terbangun, masyarakat akan memantau di mana rangkong bersarang. Rangkong bersarang di pohon berlubang dan alami. Kalau pohonnya bagus, pasti rangkong kembali. Kalau pohon ini diamankan, itu akan makin mudah dan wisatawan mudah menjangkaunya. Idenya seperti itu. Ketika ada manfaat ekonomi dari rangkong di belakang rumah, mereka akan menjaga. Kalau itu hilang, kan sama saja itu kehilangan mata pencarian mereka. Rezeki pun hilang.
Daerah mana yang diusulkan?
Daerah yang diusulkan itu di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Data yang kami kumpulkan sejak 2012 menunjukkan justru perburuan terbanyak terjadi di situ. Hotspot ancaman ada di situ, maka kami mulai dari Kalimantan Barat.
Alokasi pendanaannya?
Kami mengusulkan tiga dusun di satu desa. Ada dana 40 ribu pound sterling untuk kegiatan, bukan untuk saya pribadi, untuk mengeksekusi ide tadi. Kami bisa mengajukan dana tambahan tahun berikutnya untuk kesinambungan. Kami sendiri sudah melakukan pengamatan burung sejak 2016. Kami mendapatkan dukungan dana ketika bermitra dengan lembaga swadaya di India. Mereka memasukkan komponen kegiatan di Indonesia. Maka, kami usulkan lagi untuk upskill ke dusun tetangganya. Mereka sendiri yang meminta.
Apa yang mereka inginkan?
Mereka melihat di dusun sebelumnya ada ramai-ramai kegiatan yang melibatkan rangkong. Mereka berpikir bagus juga kalau di dusun kami seperti itu untuk tambahan income. Mereka tertarik. Kami juga baru tahu dari penduduk bahwa di daerah itu juga pemburunya malah banyak.
Apa bedanya kegiatan Anda dengan para pegiat konservasi dari beberapa negara lain?
Konsep yang dibawa tentu berbeda-beda. Tapi yang dilihat Whitley, pertama, apakah program ini inovatif. Mereka juga melihat figur orangnya, apakah hanya menjadi project hunter atau benar-benar passionate.
Omong-omong soal passion, sejak kapan Anda terjun ke dunia konservasi rangkong ini?
Saya mulai sejak 1999, jadi sudah 20 tahun. Saya mulai sejak penelitian untuk skripsi. Saya perlu setahun untuk mengambil data. Ketika saya melakukan riset rangkong, saya banyak menggali referensi dan literatur. Ternyata tidak banyak literatur tentang rangkong Indonesia. Dari banyak orang Indonesia, periset rangkong bisa dihitung dengan jari. Artinya burungnya besar, ada 30 jenis dan endemik, tapi sedikit sekali yang menaruh minat. Dari situ saya mulai melakukan penelitian sampai sekarang.
Setelah lulus, Anda mendirikan lembaga konservasi sendiri?
Awalnya belum. Setelah lulus saya sempat bekerja di Wildlife Conservation Society. Tadinya saya bekerja sendiri. Saya baru terpikir untuk membuat lembaga ketika krisis rangkong gading terjadi. Saya butuh naungan lembaga untuk menggalang bantuan. Awalnya saya bikin Rekam Nusantara Foundation. Di bawah itu, ada spesifik yang mengurusi rangkong Indonesia. Rangkong Indonesia itu unit penelitian di Rekam Nusantara. Kami concern merekam, meneliti, dan mempublikasi kekayaan di Indonesia, alam dan manusianya.
Dari riset Anda, berkurangnya populasi rangkong gading akibat deforestasi, konversi hutan, dan perburuan ilegal. Bagaimana hasil riset ini didapatkan?
Kalau habitat itu enggak bisa ditawar. Rangkong tidak bisa hidup tanpa hutan. Pertama, ketergantungan semua jenis rangkong terhadap hutan sangat tinggi. Makanan mereka itu buah dan yang terpenting adalah buah beringin. Buah beringin itu ada di hutan yang masih bagus. Kedua, agar mereka bisa bereproduksi, mereka harus berkembang biak di lubang pohon. Lubang ini harus alami terbentuk oleh alam. Kalau hutan itu rusak, selesai deh itu rangkong.
Kalau bicara habitat, pasti semua satwa terkena dampak. Kalau habitat rusak, lalu di sebelah masih ada habitat bagus, mereka bisa survive dengan berpindah. Namun, meski habitat krusial, dampaknya tidak sekrusial dari faktor yang namanya perburuan. Kalau perburuan ini, tembak mati. Jadi, yang paling mengancam adalah perburuan.
Pemburu hanya warga lokal?
Mayoritas warga lokal. Tapi ada juga yang terorganisasi untuk bersekutu memburu satwa liar. Kalau warga lokal, kan seadanya. Kalau yang terorganisasi itu memang niat, sehingga punya dukungan logistik dan senjata. Di Kalimantan, banyak dari masyarakat setempat, spesifiknya masyarakat Dayak, yang masih kental budaya berburunya. Sedangkan yang terorganisasi itu banyak di Sumatera.
Bagaimana Anda menghadapi pemburu terorganisasi?
Untuk kepentingan investigasi, biasanya kita telusuri dulu bagaimana mereka bekerja, mendapatkan sumbernya dari mana, nantinya akan tetap berkoordinasi di pihak penegakan hukum di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kami perlu verifikasi. Kami harus hati-hati karena takut informasi ini malah tertutup. Sekarang rangkong gading menjadi fokus karena ancamannya mengkhawatirkan.
Anda juga menemukan rangkong yang sudah menjadi peliharaan?
Ada, tapi jenis rangkong lain, bukan rangkong gading. Saya berfokus pada konservasi rangkong gading yang belum berhasil hidup di kebun binatang mana pun di dunia. Rangkong gading punya sifat baperan, sensitif, dan peka.
Ada berapa rangkong gading yang tersisa di Indonesia?
Jumlahnya belum diketahui. Dua tahun terakhir, kami sedang menghitung. November lalu, kami menyelesaikan survei di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Itu survei terbesar yang pernah ada di Kalimantan. Satu kabupaten itu luasnya 3 juta hektare. Semoga kami bisa mengetahui jumlahnya.
Bagaimana cara surveinya?
Sejak 2013, saya keliling Sumatera dan Kalimantan. Ketika melakukan survei pada 2013-2016, saya sering bertanya kepada masyarakat di hutan. Burung ini sangat khas dan mudah diidentifikasi dari bentuk dan suara. Untuk suara saja, burung ini bisa terdengar di radius 3 kilometer. Suaranya seperti orang gila yang tertawa terbahak-bahak. Tren sebelum 2012, setiap ke hutan, penduduk pasti mendengar atau melihat rangkong. Setelah marak perburuan, di atas 2013, seminggu di hutan, bisa mendengar sekali saja sudah untung.
Saya juga berkesempatan mengobrol dengan para pemburu. Dari sisi pemburu pada tahun awal, dalam satu minggu di hutan, mereka bisa mendapatkan 2-3 karung berisi rangkong. Setelah 2015, kata mereka, mendapatkan satu saja sudah untung. Mereka perlu lebih ke dalam hutan lagi dan logistik mereka akan lebih besar. Informasi spesifik itu yang signifikan untuk menunjukkan tren bahwa perburuan bisa memberi dampak pada populasinya.
Apa perbedaan kini dengan ketika pertama kali meneliti rangkong?
Kalau dulu, saya melihat satu waktu di satu pohon beringin, ada sekitar 12 pasang, 24 ekor rangkong gading dalam satu pohon. Sejak 2014, saya ketemu atau mendengar sekali saja sudah beruntung. Itu di lokasi yang sama saat saya pertama kali melakukan penelitian.
Apa saja kendala dalam konservasi rangkong?
Pertama, terus terang di Indonesia masih bergantung pada pendanaan dari luar negeri karena pendanaan dari dalam negeri terbatas. Kedua, strategi konservasi juga biasanya memprioritaskan satwa selebritas, seperti harimau dan badak bercula satu. Satwa yang terkesampingkan dan terabaikan sulit mendapatkan perhatian. Ketiga, kesulitan berinteraksi dengan kelompok berbasis masyarakat. Kita harus sabar dan pelan-pelan memberi pemahaman. Ini tantangan yang memang harus diselesaikan.
Anda sempat mendapat penolakan dari warga?
Pasti ada penolakan, tapi kami selalu coba cari solusinya. Contohnya masyarakat Dayak, setiap jengkal hutan itu pasti ada pemiliknya. Kalau tidak berkomunikasi dengan baik, mereka akan meminta semacam fee. Maka, kami harus pertegas bahwa kami akan bekerja sama dengan masyarakat, tapi tidak memberikan langsung berupa nominal rupiah. Semua harus diawali dengan keputusan desa apakah bisa dilakukan individu secara langsung atau masuk ke kas desa. Yang kita coba bangun adalah ini milik desa, bukan milik rangkong Indonesia.
Negosiasi itu mengasumsikan bahwa warga mengetahui keberadaan satwa langka?
Mereka lebih tahu dan lebih pintar karena kebanyakan pemburu. Nah, karena justru itu dianggap mengancam mereka, kami berangkat dari ide membangun ekowisata mengubah pemburu menjadi penjaga rangkong gading. Kami sudah sampaikan bahwa ini bukan program setahun selesai berbasis proyek. Yang kami dorong adalah program jangka panjang.
Mengapa Anda begitu concern terhadap rangkong yang belum banyak disorot, sedangkan satwa langka yang juga terancam punah masih banyak?
Justru karena belum ada sorotan itu saya bertahan selama 20 tahun. Pemberitaan rangkong meningkat tak lama setelah ada krisis rangkong gading pada 2012. Saya melihat pergerakan berita, penelitian, dan perdagangan. Saya punya hobi mengamati burung dan melihat foto-foto di National Geographic. Foto dan gambarnya bagus dan mungkin itu yang memicu saya bergerak di alam dan satwa.
Apakah ada pengalaman penting yang ikut melecut Anda terus mengurus rangkong?
Dulu saya bisa bertemu sampai 24 ekor rangkong sekaligus, tapi di sisi lain saya pernah dalam satu ruangan melihat 300-an kepala rangkong. Itu momen yang, bagi saya, menyedihkan. Ini menggugah saya untuk mengadvokasi rangkong gading. Memang tidak mudah karena rangkong tidak seperti satwa selebritas.
Yokyok Hadiprakarsa (Yoki)
Lahir: Bogor, 22 Juni 1975 (45 tahun)
Istri: Arie Utami Handayani
Anak:
- Atha Keiza Hadiprakarsa
- Amaira Kaleia Hadiprakarsa
Pendidikan:
1994–2000 sarjana Jurusan Biologi FMIPA Universitas Pakuan
2006–2008 Master of Science in Forest Resources, Warnell School of Forestry and Natural Resources, University of Georgia, Amerika Serikat
Beberapa Keterlibatan Organisasi:
2017- Koordinator Penelitian Tim Kerja Rangkong Gading IUCN
2013- Pendiri Rangkong Indonesia
2010- Director of Indonesian Ornothologist Union (IdOU), Bogor
2015- Anggota dan Steering Comitte IUCN-SSC Hornbill Specialist Group
2013- Pendiri Rekam Nusantara
1994- Anggota klub Indonesia Hijau
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo