Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font face=arial size=2 color=#ff9900>Joshua Oppenheimer:</font><br />Membunuh, bagi Anwar, Adalah Sebuah Akting

1 Oktober 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi Joshua Oppenheimer, Anwar hanyalah simbol dari kekerasan yang terjadi di Indonesia pada 1965. Menurut taksirannya, ada 10 ribu, bahkan mungkin 100 ribu, "Anwar" lain selama pembantaian pasca-1965 itu. Lelaki kelahiran Texas, Amerika Serikat, 1974, ini mengaku, selama pembuatan film, ia melakukan perjalanan yang amat sangat menyakitkan. Selama tujuh tahun ia bergaul dengan Anwar. Kepadanya, Anwar secara jujur dan berani bercerita mengenai pembunuhan yang dilakukannya. Anwar mungkin kecewa terhadap hasil film yang dibuat Oppenheimer.

Joshua Oppenheimer belajar film di Harvard University dan meraih PhD di Central Saint Martins College of Art and Design, University of the Arts London, dengan sebagian dari footage awal film Jagal sebagai materi disertasinya.

Sebelum membuat The Act of Killing (Jagal), dia telah membuat sejumlah film, seperti The Globalization Tapes, yang mengungkap masalah buruh perkebunan di Sumatera Utara; The Entire History of the Louisiana Purchase, yang meraih penghargaan Gold Hugo sebagai film pendek eksperimental terbaik di Chicago Film Festival; dan These ­Places We've Learned to Call Home, yang meraih Gold Spire di San Francisco Film Festival. Dia kini menjadi peneliti senior di Dewan Riset Kesenian dan Humaniora Inggris.

Di tengah kesibukannya memperkenalkan Jagal di Toronto, Oppenheimer menjawab melalui surat elektronik sejumlah pertanyaan dari Tempo.

Apa yang hendak Anda katakan melalui film ini?

Saya ingin menunjukkan kebudayaan seperti apa yang dibangun ketika para pembunuh menang, berkuasa, memerintah, serta memimpin masyarakat. Mereka disanjung sebagai pahlawan, jadi tokoh masyarakat dan panutan, serta ditakuti sekaligus dihormati sebagai pelindung bangsa dari sebuah teror berupa fantasi yang mereka ciptakan sendiri. Anwar dan filmnya hanyalah simbol dari seluruh peristiwa kekerasan yang dialami orang Indonesia sejak 1965.

Di film itu Anwar berakting memerankan dirinya.

Membunuh, bagi Anwar, adalah sebuah akting. Ketika dia berdansa cha-cha di lantai atas bekas kantornya, hal itu kelihatannya menjadi simbol impunitas yang dinikmatinya. Dia menari di tempat ratusan orang yang dibunuhnya sendiri. Anwar kepada saya menjelaskan bahwa ia belajar dansa karena ingin melupakan apa yang terjadi.

Anwar melakukan peragaan ulang pembunuhan yang pernah dilakukan. Ini sesungguhnya hal sulit bagi dia, kru film, dan penonton. Film ini menunjukkan bahwa akting adalah bagian dari pembunuhan. Killing is always an act. Bila dimaknakan memang mengerikan. Peragaan itu bukan hanya peragaan ulang, melainkan juga asli....

Apakah Anda, Anwar, dan Adi sudah mendiskusikan semua risiko dari pembuatan film ini?

Perbincangan mengenai risiko film ini muncul dan bahkan terekam dalam film. Ketika Adi Zulkadry (jagal, sahabat Anwar) mengatakan, jika film ini sukses, pandangan masyarakat akan berbalik, bukan hanya 180 derajat, melainkan 360 derajat mengenai siapa yang lebih kejam, PKI atau lawan PKI. Mereka tahu risiko terburuk apa yang mungkin muncul dari film ini.

Mereka tidak merasa ada yang salah jika publik menilai bahwa mereka lebih kejam daripada PKI. Bukan hanya merasa, mereka memang betul-betul berada di atas angin. Saya melihat generasi yang lebih muda dari Anwar memerlukan citra menakutkan, teror itu, sebagai basis kekuasaan dan pengaruhnya di masyarakat. Betapapun demikian, sebuah kesalahan besar jika Anwar kemudian dijadikan kambing hitam, sebagai maskot para pembunuh tahun 1965, karena perannya dalam film. Ada kurang-lebih 10 ribu, mungkin 100 ribu, orang seperti Anwar di seluruh Indonesia.

Kepada sebuah media, Anwar mengklaim telah meminta Anda memutar film itu setelah dia meninggal.

Saya tegaskan di sini, itu sama sekali tidak benar. Jika benar Anwar pernah mengatakannya, itu disampaikannya untuk pertama kali kepada wartawan baru-baru ini. Selama tujuh tahun berbincang, bekerja bersama dalam film, mengobrol pada kesempatan senggang, berbincang-bincang di luar syuting film atau wawancara (off-screen atau on-screen), di mana pun, kapan pun, Anwar tidak pernah mengatakan hal itu kepada saya atau kepada satu pun kru kami. Bahkan, ketika saya menelepon Anwar buat memberi tahu bahwa film ini akan segera diluncurkan dalam Festival Film Internasional Toronto seminggu sebelum pemutaran, ia menyampaikan keinginannya untuk hadir.

Mengapa Anda memilih metode penyutradaraan yang melibatkan sumber di dalam pembuatan film tentang dirinya sendiri?

Saya mengembangkan metode ini karena saya yakin "dokumenter" adalah istilah yang tak akurat. Pembuat dokumenter menganggap dirinya mendokumentasikan realitas apa adanya sebagaimana seharusnya terjadi tanpa kehadiran kamera. Hal ini mungkin benar dalam situasi seperti pertandingan sepak bola. Bahkan kampanye politik sekalipun ditata untuk kamera, yang pasti akan menyorot mereka. Sesungguhnya, kita menciptakan sebuah realitas baru setiap kali kita membuat film bersama tokoh film kita. Karena itu, daripada berusaha membuat simulasi dari realitas yang sewajarnya ada jika kita tidak membuat film (sebagaimana biasanya dilakukan pembuat "dokumenter"), kenapa tidak menciptakan sebuah realitas yang menawarkan penjelasan yang paling terang atas pertanyaan yang kita ajukan? Bisa dibilang saya menciptakan sebuah dokumenter observasional mengenai imajinasi narasumber, bukan sebuah dokumenter observasional mengenai kehidupannya sehari-hari.

Bagaimana pengalaman Anda selama membuat film ini?

Sesungguhnya pembuatan film selama ini adalah sebuah perjalanan yang amat sangat menyakitkan bagi saya. Saya masih merasa dekat dengan Anwar, bahkan jika ia kecewa terhadap filmnya sekalipun. Awalnya Anwar ingin membuat film yang mengagungkan pembunuhan massal—sesuatu yang tak mungkin jadi tujuan saya. Karena itu, dia mungkin kecewa. Tapi, pada saat yang sama, tujuan Anwar berubah, mungkin tanpa disadarinya. Ia memilih menunjukkan kepada kami sebuah cara yang sangat otentik sekaligus sangat menyakitkan yang memaparkan betapa tindakan pembunuhan itu adalah sebagian dari jiwa dan kemanusiaannya. Menyelami relung-relung gelap itu bersama Anwar sungguh menyeramkan. Peragaan ulang selalu menyeramkan.

Sering, dalam proses pembuatan film, saya tidak bisa tidur. Kalaupun bisa, saya bermimpi buruk. Kru saya tentu saja harus melakukan hal yang sama, dan pasti lebih berat, karena mereka orang Indonesia. Ini negeri mereka. Mereka membawa pulang ke rumah sebuah pengetahuan bahwa di sekeliling mereka bercokol orang-orang seperti Anwar dan kawan-kawan Anwar, yang bahkan sampai hari ini beberapa ada di posisi terpenting dalam struktur kekuasaan.

Setelah bersama Anwar selama tujuh tahun, bagaimana Anda melihat sosok seorang jagal?

Dari awal saya meyakinkan diri saya bahwa semua pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan, Hitler sekalipun, bukanlah seorang monster, melainkan manusia biasa yang sama seperti kita dan bisa mengambil keputusan yang salah. Para algojo itu juga menghadapi persoalan psikologis untuk mengatasi trauma yang mereka alami, mungkin tanpa disadari atau disa­dari ­tapi kemudian dengan sengaja disembunyikan. Sepanjang proses pembuatan film, saya melihat Anwarlah yang paling berani untuk jujur dan terbuka menceritakan pengalaman dan kegelisahannya. Ia juga yang paling kelihatan berubah dengan merenungi apa yang dijalani dan diperankannya dalam film.

Setelah melihat bagaimana bangganya para jagal atas tindakan mereka dulu itu, apakah ada kemungkinan rekonsiliasi antara pelaku dan korban?

Persoalan utama rekonsiliasi pada dasarnya bukan terletak pada sisi korban atau masalah prosedural, melainkan pada kemauan para pembantai untuk menggunakan imajinasinya dan melihat perbuatannya sebagai sesuatu yang salah dan jahat. Persoalan rekonsiliasi ada pada para pelaku yang tak mau mengakui kesalahan dan kejahatannya akibat upaya pembenaran yang sedemikian gencar, baik yang mereka tanamkan kepada diri sendiri maupun yang dicangkok dari propaganda rezim yang turut mereka bangun.

Kebanggaan yang mereka tunjukkan memiliki banyak lapisan makna. Kebanggaan itu bercerita tentang jiwa rapuh yang kerdil dan tak berani mengakui perbuatannya sebagai sesuatu yang salah dan jahat; dan karenanya diberi kedok narasi perjuangan heroik. Kebanggaan itu akan runtuh dengan sendirinya jika semua tiang penyangga dan fungsinya dirontokkan. Dari situlah terbuka sebuah kemungkinan rekonsiliasi yang sejati. Tidak ketika rezim para pembantai ini masih menjadi pemenang dan berkuasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus