Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGENAKAN rompi tahanan pink, Karen Agustiawan digelandang menuju mobil Kejaksaan Agung, Senin pekan lalu. Setelah diperiksa hampir tujuh jam sebagai tersangka dugaan korupsi akuisisi PT Pertamina (Persero) di Blok Basker Manta Gummy, Australia, pada 2009, perempuan 59 tahun itu langsung ditahan di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur.
Sembari terisak sebelum masuk ke mobil tahanan, Direktur Utama Pertamina 2009-2014 itu berujar kepada wartawan bahwa dia sudah berbuat yang terbaik ketika memimpin perusahaan minyak pelat merah tersebut. “Sehingga Pertamina bisa masuk Fortune 500 dan labanya meningkat dua kali lipat,” kata Karen.
Di bawah kepemimpinan Karen, perusahaan minyak negara itu memang menembus peringkat ke-122 dalam Fortune Global 500 pada 2013. Ini adalah daftar perusahaan dengan pendapatan tertinggi di dunia yang dirilis majalah Fortune, yang berbasis di New York, Amerika Serikat. Dengan pendapatan US$ 70,924 miliar dan keuntungan US$ 2,761 miliar pada 2012, Pertamina menjadi satu-satunya perusahaan asal Indonesia yang masuk daftar tersebut.
Tahun itu pula Karen menempati urutan keenam sebagai perempuan paling berpengaruh dalam bisnis versi majalah Fortune. Posisi itu lebih baik ketimbang tahun sebelumnya, yaitu posisi ke-19 dari 50 perempuan yang masuk daftar. Pada 2014, Pertamina kembali masuk daftar Fortune Global 500 di peringkat ke-123.
Saat wawancara khusus dengan Tempo pada pertengahan Februari 2009, tak lama setelah dilantik sebagai direktur utama, Karen menceritakan mimpinya membawa Pertamina menjadi perusahaan besar berkelas dunia. Dia berkaca pada Petronas, perusahaan minyak asal Malaysia, yang “berguru” pada Pertamina dan kemudian mendunia.
Saat itu, Karen bukan tak tahu bahwa “takhta”-nya merupakan “kursi panas” dan penuh permainan. Tapi dia menyatakan tak akan melayani segala bentuk intervensi yang bisa merugikan negara dan perusahaan. “Insya Allah, saya mampu mendinginkan kursi yang selalu dicap panas tadi,” ujarnya.
Terpilih sebagai Direktur Utama Pertamina, Karen Agustiawan dilantik pada 5 Februari 2009. Dia diuji Menteri Badan Usaha Milik Negara Sofyan Djalil, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, serta Komisaris Utama Pertamina Sutanto. Dia mengalahkan mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Erry Riyana Hardjapamekas, Direktur Umum dan Sumber Daya Manusia Pertamina Waluyo, serta Presiden Direktur Rio Tinto Indonesia Omar Sjawaldy Anwar—kemudian menjadi wakil direktur utama—yang mengikuti tes serupa.
Sejumlah sumber di Kementerian BUMN dan Pertamina yang mengetahui proses penunjukan Karen mengatakan pengujian itu hanya basa-basi. Sebab, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak awal sudah mengantongi nama Karen. Kabarnya, nama itu disodorkan Purnomo untuk menggantikan Ari Soemarno. Menurut informasi yang dihimpun Tempo, Karen juga dianggap dekat dengan Yudhoyono.
Dimintai tanggapan soal ini, Purnomo tak merespons panggilan telepon dan pesan pendek yang dilayangkan Tempo. Tapi, setelah Karen ditunjuk menakhodai Pertamina, Purnomo mengatakan perempuan lulusan Institut Teknologi Bandung itu memiliki kemampuan teknis yang teruji. “Saya tidak melihat dari sisi politis, tapi terpilihnya Karen sepenuhnya untuk kebutuhan Pertamina,” katanya. Purnomo menilai Karen memahami industri hulu perminyakan.
Sebelum menjadi direktur utama, Karen menjabat direktur hulu di perusahaan minyak pelat merah itu. Dia juga bukan orang baru di Pertamina. Perempuan yang pernah meniti karier di Mobil Oil dan Halliburton ini sebelumnya menjadi anggota staf ahli direktur utama.
Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Sjarifuddin Hasan mengatakan Karen dipilih berdasarkan rekomendasi Menteri BUMN Sofyan Djalil. Dia membantah kabar bahwa Presiden Yudhoyono saat itu memilih Karen karena faktor kedekatan. “Presiden tidak cawe-cawe urusan Pertamina,” ucap Sjarifuddin, yang juga mantan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Jumat pekan lalu. Hal senada diungkapkan mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Amir Syamsuddin, yang juga Ketua Dewan Kehormatan Demokrat. “Saya tak pernah melihat dia di Cikeas ataupun rapat dengan Presiden,” ujar Amir.
Tak lama setelah dilantik, Karen mencabut kewenangan Integrated Supply Chain (ISC), badan yang mengelola impor minyak untuk memutus peran pemburu rente. Menurut Karen saat itu, ISC akan menjadi institusi penyusun strategi dan akan menjadi direktorat pemasaran. Kebijakan ini justru dianggap menguntungkan mafia impor minyak mentah dan bahan bakar minyak. Karen juga mencopot Deputi Direktur ISC Sudirman Said.
Sudirman, yang belakangan menjabat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (2014-2016), mengaku diminta mundur dari ISC oleh Karen dengan iming-iming jabatan. Di antaranya Kepala Satuan Pengawas Intern, Kepala Unit Restrukturisasi Aset, dan Deputi Direktur Sumber Daya Manusia Pertamina. “Saya menolak semua posisi yang ditawarkan,” katanya. Sudirman pun memilih mundur dari Pertamina dua bulan setelah Karen dilantik. Saat Menjadi Menteri Energi, dia kembali menjalankan fungsi ISC seperti semula.
Karen juga membela anak perusahaan Pertamina, yaitu Pertamina Energy Trading Ltd (Petral), yang mengurus perdagangan minyak mentah dan berbasis di Singapura. Perusahaan tersebut kerap dikaitkan dengan pengusaha Muhammad Reza Chalid dan mendapat sorotan soal mafia impor minyak. Menteri BUMN saat itu, Dahlan Iskan, sempat menyatakan akan mencari auditor untuk mengaudit Petral. Dalam wawancara khusus dengan Tempo pada awal April 2012, Karen menyatakan sudah memberikan penjelasan kepada Dahlan dan akan tetap menggunakan Petral selama belum ada perusahaan yang lebih baik.
Kendati mempersilakan Petral diaudit, Karen mengaku heran terhadap munculnya keinginan membubarkan perusahaan itu. “Petral sudah mendapat peringkat kedelapan terbaik dari seribu perusahaan trading di sana,” ujar Karen. “Saya sampai heran, perusahaan sudah sebegitu kok masih mau diobrak-abrik.”
Nama Karen sempat disebut dalam pusaran kasus suap Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau SKK Migas, Rudi Rubiandini. Rudi mengaku sempat menelepon Karen agar mau menutupi kekurangan duit “tunjangan hari raya” untuk anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat sebesar US$ 150 ribu. Ia meminta Karen dan Pertamina bersedia menjadi “penutup kendang”. Rudi sendiri sudah menyerahkan duit “membuka kendang” dalam jumlah yang sama.
Duit itu diberikan guna memperlancar pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2013 untuk Kementerian Energi. Pembicaraan “buka-tutup kendang” itu diakui Karen Agustiawan saat diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi. Tapi dia menyangkal pernah mengalirkan fulus ke Komisi Energi. “Tak sepeser pun,” ujarnya. Dalam persidangan Rudi Rubiandini, awal Maret 2014, Karen mengubah kesaksiannya. Dia menyatakan tak pernah menerima permintaan duit dari anggota Komisi Energi.
Hampir enam tahun memimpin Pertamina, Karen menyatakan mundur per 1 Oktober 2014 dan memilih menjadi pengajar di sebuah universitas di Amerika. Seorang kawan dekatnya mengatakan kasus SKK Migas dan pemeriksaan di KPK ikut membuat Karen hengkang. Karen merasa sendirian karena semuanya mencari aman saja. Tapi Karen mengaku sudah mengajukan permintaan mundur pada tahun sebelumnya. “Jangan dipolitisasi,” ujarnya.
PRAMONO, RYAN DWIKY ANGGRIAWAN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo