Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka tampil beriring dengan gending-gending klasik Banyumasan. Gerak tari yang mereka bawakan pun sederhana, berbeda dengan lengger kontemporer yang ditarikan para penari lengger lanang pada hari kedua festival.
Narsih, 53 tahun, tampil memukau malam itu. Tak ada campuran musik dangdut pantura dalam pentas Narsih. Dia tampil beriring murni musik calung dan gamelan dengan gending-gending khas Banyumasan.
Tiga gending dirangkai untuk mengiringi tari lengger Narsih. ”Sekar Gadung jadi tembang sesaji lengger. Yang kedua Godril dan ketiga Renggong Lor. Kami rangkai jadi satu selama 30 menit,” kata Narsih kepada Tempo di rumahnya, 15 September lalu.
Malam itu gerakan Narsih sangat sederhana. Ia tak banyak berpindah dari tempat ia berdiri. Gerakan lengger klasik Banyumasan hanya maju-mundur ke kanan dan kiri, lalu berputar. Gerakan Narsih luwes mengikuti iringan musik kendang. Ia mengenakan kemben, sampur, sanggul, mentul, konde, bunga, dan kain.
Narsih berjaya pada 1970-an. Dia berkisah, saat berumur 7-15 tahun, ia banyak ditanggap untuk berbagai hajatan. Penanggap lengger Narsih adalah keluarga yang punya hajatan, di antaranya sunatan dan pernikahan.
Narsih dikenal sebagai penari lengger cilik. Bila ada sunatan, anak yang hendak disunat, kata Narsih, meminta agar keluarganya menanggap lengger cilik. ”Honor yang saya terima dari Rp 2.500 hingga Rp 10.000 setiap kali pentas,” ucap Narsih.
Undangan pentas terus membanjiri Narsih sampai-sampai ia kewalahan memenuhinya. Dia akhirnya memutuskan tidak melanjutkan sekolah. Ia berhenti bersekolah saat kelas IV sekolah dasar.
Narsih merasa mendapatkan indang atau wahyu untuk menari lengger. Ketika berumur 7 tahun, dia senang menari. Ia tiba-tiba menari di atas kursi. Setiap sore hari, Narsih minta diiringi alat musik ketika menari. Karena tak ada alat musik, kakak Narsih mengiringinya dengan bunyi dari mulutnya.
Melihat adiknya gemar menari, kakak Narsih kemudian mengajaknya tampil dalam pentas lengger. Narsih pertama kali tampil di Desa Karangklesem, Purwokerto. Sejak saat itulah ia laris ditanggap. ”Ketika menari seperti enggak sadar,” kata Narsih.
Narsih lahir dari pasangan Singatirta, yang bekerja sebagai ketua paguyuban kesenian ebeg Banyumas, dan Nawen, seorang ibu rumah tangga. Sebelum menjadi penari lengger, Narsih menjalani serangkaian ritual seperti pada kepercayaan masyarakat Jawa.
Orang tua Narsih kerap membawanya mandi tengah malam pada Jumat Kliwon di Sungai Serayu. Di sungai itu, kedua orang tuanya membawa bunga dan kemenyan. Selain itu, Narsih mandi di tujuh sumur tua dan panembahan. Ia juga menjalani puasa sebagai bagian dari laku prihatin. ”Tujuan ritual-ritual itu adalah harapan agar ketika pentas saya tidak mendapat gangguan,” ujar Narsih.
Menjalankan tari lengger buat Narsih tidak mudah. Pada 1990-an, pamor lengger Narsih mulai meredup seiring dengan munculnya kelompok musik organ tunggal ke desa-desa di Banyumas. Lengger perempuan menjadi sepi tanggapan dan tersisih.
Narsih kemudian mencari jalan agar tetap bertahan hidup dan diterima ketika ia berkesenian. Dia tak hanya menari lengger, tapi juga menjadi sinden dan melawak. Ia bercerita pernah mendapat malapetaka sepulang dari kegiatan nyinden di Pemalang.
Narsih waktu itu nyinden mengiringi dalang Marwoto pada 1992. Mobil yang Narsih tumpangi kebakaran. Ia melompat di area persawahan dan nyawanya selamat.
Di rumahnya yang dilengkapi sanggar seni, Narsih bersama suaminya, Suchedi, masih menerima sejumlah tanggapan pentas lengger di beberapa kota. Honor setiap kali pentas tergantung jauh-dekatnya lokasi pengundang. Satu kali pentas di Banyumas rata-rata honornya Rp 5 juta. ”Kini tanggapan makin sepi,” kata Narsih.
SHINTA MAHARANI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo