Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah yayasan kesehatan global menyuntikkan dana 80 juta poundsterling (sekitar Rp1,4 triliun) untuk biaya penelitian dan pengembangan vaksin penawar bisa ular. Akibat gigitan ular berbisa, 120 ribu orang meninggal dan ratusan ribu lainnya cacat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Proyek, yang diluncurkan oleh lembaga amal kesehatan Wellcome Trust Inggris, bertujuan meningkatkan pasokan antiracun dan mengembangkan pengobatan baru yang lebih efektif terhadap gigitan ular. Saat ini, pemberian antiracun merupakan satu-satunya cara untuk mengobati gigitan ular.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pengobatan gigitan ular pada dasarnya mengandalkan proses yang sudah berusia 100 tahun," kata David Lalloo, profesor dan Direktur Liverpool School of Tropical Medicine, Inggris, Kamis, 16 Mei 2019.
Kekurangan dana bagi penelitian ilmiah membatasi kemajuan di bidang obat tersebut, sehingga ribuan orang meninggal sia-sia, kata Lalloo kepada wartawan.
Philip Price, ahli di Wellcome Trust dalam ilmu pengetahuan gigitan ular, mengatakan gigitan ular berbisa menewaskan sebanyak 120.000 orang per tahun --kebanyakan pada masyarakat paling miskin di pedesaan Afrika, Asia dan Amerika Selatan. Ia menyebut keadaan itu sebagai krisis kesehatan tersembunyi.
Sebanyak 400.000 orang lagi menderita dampak luka-luka yang mengubah hidup mereka, seperti amputasi. Kondisi tersebut dapat mendorong keluarga yang sudah susah jatuh ke dalam kemiskinan yang lebih parah, kata Price.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dijadwalkan pada akhir Mei ini menerbitkan "Roadmap Gigitan Ular", yang bertujuan mengurangi kematian dan cacat akibat gigitan ular sampai 2030.
Pengobatan saat ini, yaitu pemberian antiracun, diproduksi dengan menyuntikkan racun yang relatif tidak berbahaya ke badan kuda lalu mengambil darah kuda untuk digunakan dalam pengobatan manusia. Teknik ini sudah ada sejak abad ke-19 tanpa standar umum keefektifan dan keselamatan.
Teknik itu juga membawa risiko pencemaran dan efek samping, kata ahli, dan berarti korban harus dirawat di rumah sakit, yang kadang-kala jauh dari lokasi desa tempat gigitan ular paling sering terjadi. Pengobatan sering kali terlalu mahal buat korban dan sudah sangat terlambat dilakukan untuk menyelamatkan nyawa.
Yang menambah masalah ialah kekurangan antiracun yang sangat dibutuhkan kalangan penduduk paling berisiko. Di Afrika misalnya, sebanyak 90 persen antiracun yang tersedia mungkin tidak efektif.
Mike Turner, Direktur Sains Wellcome Trust, mengatakan kemajuan perlu dicapai segera.
"Gigitan ular berbisa adalah kondisi yang bisa --atau harus bisa-- diobati," katanya. "Meskipun orang akan selalu mungkin digigit ular berbisa, tak ada alasan demikian banyak orang mesti menemui ajal."