Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

21 Tahun Kerusuhan Mei 1998 yang Masih Gelap

Penuntasan tragedi kerusuhan Mei 1998 masih gelap. Pemerintah belum banyak turun tangan.

13 Mei 2019 | 14.59 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Keluarga korban tragedi 98 berdoa dan tabur bunga di TPU Pondok Rangon, Jakarta, Senin, 13 Mei 2019. Kegiatan tabur bunga ini merupakan agenda tahunan yang dilakukan oleh keluarga korban tragedi 98 sebagai bentuk memperingati dan mengenang anggota keluarganya yang meninggal saat tragedi Mei 1998. TEMPO/Muhammad Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kedua tangannya tak lagi berbentuk sempurna, dua daun telinganya rusak, bekas luka bakar terlihat jelas di hampir seluruh bagian tubuhnya. "Saya nyaris dibakar hidup-hidup," kata Iwan Firman salah satu korban selamat kerusuhan Mei 1998 mengenang kembali peristiwa nahas itu dalam peringatan "21 Tahun Tragedi Mei 98" pada Senin, 13 Mei 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pria 60 tahun ini bercerita ia dibakar hidup-hidup oleh 20 orang tanpa sebab. Beberapa di antaranya berperawakan tegap dan berambut cepak. Peristiwa nahas itu berlangsung saat ia mau pulang ke rumahnya di Jalan Tanah Tinggi, Jakarta Pusat.

Pagi tadi, seperti tahun-tahun sebelumnya, Iwan datang ke depan Citra Plaza, Klender. Bersama sejumlah penyintas dan keluarga korban, mereka berdoa dan mengenang korban tewas akibat dibakar hidup-hidup di pusat perbelanjaan yang dulu bernama Yogya Plaza itu. Mereka mendesak pemerintah mengungkap dalang kerusuhan yang menewaskan ribuan orang di Jakarta dan daerah lain di Indonesia.

"Kalau aku ketemu Jokowi, aku beberin semua. Aku mau cerita selama ini jadi kebelangsak kehidupanku ini," kata Iwan sambil meratapi kondisi kedua tangannya yang rusak itu.

Sementara itu, Maria Sanu terus mendekap foto mendiang anaknya, Stevanus Sanu, dalam peringatan tragedi Mei 1998 itu. Stevanus, kata dia, ikut terpanggang hidup-hidup di Yogya Plaza.

Maria meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi mau menuntaskan kasus ini. Ia mengaku mendukung Jokowi kembali menjadi presiden agar bisa menemukan keadilan bagi almarhum anaknya. "Supaya dia mau buka hati, mata, dan peduli kepada keluarga korban pelanggaran HAM," ucapnya.

Sejumlah keluarga korban tragedi Mei 1998 berdoa saat mengikuti Refleksi 21 Tahun Tragedi Mei 1998 di lokasi terjadinya kerusuhan dan pembakaran di Mall Klender, Jakarta, Senin 13 Mei 2019. Refleksi tersebut sebagai upaya merawat ingatan, penyadaran publik dan negara, serta menjadi bukti perlawanan kepada negara yang kerap memberikan kesempatan kepada para pelaku pelanggar HAM duduk di kursi kekuasaan. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), dalam laporannya, menyatakan peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998 berkaitan dengan dinamika sosial politik masyarakat Indonesia waktu itu. Kerusuhan ini juga berkaitan dengan sejumlah peristiwa penting sebelumnya seperti Pemilu 1997, penculikan aktivis, krisis ekonomi, hingga penembakan mahasiswa Universitas Trisakti.

Pemilu 1997 berakhir dengan kemenangan Partai Golongan Karya (Golkar) dan terpilihnya kembali Presiden Soeharto untuk yang keenam kalinya. Rezim orde baru saat itu membatasi ruang masyarakat untuk berekspresi.

Sejumlah aktivis yang berani menentang Soeharto hilang dan tak diketahui rimbanya hingga kini. TGPF menilai Panglima Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat waktu itu, Prabowo Subianto bertanggung jawab atas penghilangan sejumlah aktivis.

Dalam wawancara dengan Majalah Tempo pada Oktober 2013, Prabowo Subianto menjawab tudingan soal keterlibatan dia di kerusuhan Mei 98 itu. 28 Oktober 2013. "Kadang dalam pemerintahan, kita sebagai alat pemerintah menjalankan misi yang dianggap benar. Begitu ada pergantian pemerintah, pemerintah baru menganggapnya tidak benar. Saya, kan, hanya petugas saat itu," kata Prabowo.

Menurut Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra ini, dia telah mempertanggungjawabkan perbuatan yang menjadi porsinya. "Saya tidak ke mana-mana, saya bertanggung jawab, saya tidak ngumpet," kata dia.

Sementara itu, masih menurut analisa TGPF, krisis moneter mengakibatkan membesarnya kesenjangan ekonomi dan menciptakan dislokasi sosial yang luas yang amat rentan terhadap konflik vertikal (antar kelas) dan horizontal (antar golongan).

Pergumulan kondisi sosial politik masyarakat Indonesia waktu itu akhirnya pecah setelah insiden penembakan mahasiswa Universitas Trisakti. TGPF menilai penembakan ini sebagai pemicu kerusuhan berskala nasional.

TGPF mencatat sulit menemukan angka pasti jumlah korban dan kerugian dalam kerusuhan1998. Untuk Jakarta, TGPF menemukan variasi jumlah korban meninggal dunia dan luka-luka yang berbeda. Tim relawan menyebut 1.190 orang tewas akibat terbakar atau dibakar, 27 orang tewas akibat senjata, dan 91 orang luka-luka. Sementara itu, data Polda menunjukkan 451 orang meninggal, korban

luka-luka tidak tercatat. Sedangkan data Pemda DKI yang meninggal dunia 288 orang dan luka-luka 101 orang.

Menurut TGPF, ada kesamaan waktu pecahnya kerusuhan bahkan kesamaan pola kejadian. Sementara pola kerusuhan bervariasi, mulai dari spontan, lokal, sporadis, hingga yang terorganisir. "Para pelakunya pun beragam, mulai dari massa ikutan yang mula-mula pasif tetapi kemudian menjadi pelaku aktif kerusuhan, provokator, termasuk ditemukannya anggota aparat keamanan," tulis laporan TGPF itu.

Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia, Puri Kencana Putri mengatakan, peringatan 21 tahun reformasi kali ini bertepatan dengan pemilihan umum 2019. Sebabnya ia mendesak pemerintah yang baru bisa segera menyelesaikan kasus ini.

"Pemerintah dan parlemen terpilih punya pekerjaan rumah bagaimana semua yang sudah dikumpulkan oleh Komnas HAM harus ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung," kata Puri saat dihubungi Tempo.

Seperti diketahui, Kejaksaan Agung berkali-kali mengembalikan berkas-berkas kasus pelanggaran HAM berat ke Komnas HAM. Berkas perkara yang dikembalikan adalah berkas peristiwa 1965-1966, peristiwa Talangsari, Lampung 1998, peristiwa penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, peristiwa Kerusuhan Mei 1998, peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, peristiwa Wasior dan Wamena.

Menurut Puri, penyelesaian kasus 1998 penting karena jika berhasil membongkarnya akan bermanfaat untuk kasus pelanggaran HAM lainnya. "Jejaknya akan mengarah ke siapa, pelakunya, skemanya, mekanismenya, prosedurnya, operasinya, akan mengarah ke jejak yang lebih luas lagi," ucapnya.

Selain itu, Puri menjelaskan negara wajib memenuhi hak-hak para korban Mei 1998. Para korban, kata dia, berhak mendapatkan hak keadilan, hak kebenaran, dan rehabilitasi dari negara. "Mereka berhak mengetahui siapa yang bertanggung jawab terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM sejak masa lalu yang menimpa mereka atau keluarga mereka sendiri," ujarnya.

Ahmad Faiz

Ahmad Faiz

Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bergabung dengan Tempo sejak 2015. Pernah ditempatkan di desk bisnis, politik, internasional, megapolitan, sekarang di hukum dan kriminalitas. Bagian The Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea 2023

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus