Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hari ini, 21 Mei 1998, menjadi awal bagi era reformasi dan runtuhnya Orde Baru setelah Presiden Soeharto lengser dari jabatan yang dikuasainya selama 32 tahun. Momen ini menjadi bayaran mahal bagi berbagai peristiwa dan tragedi yang terjadi sebelum lengsernya Sang Jenderal Tersenyum itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintahan Orde Baru mendapatkan banyak rongrongan terutama setelah jatuhnya perekonomian Indonesia akibat krisis moneter. Aksi-aksi menuntut Soeharto mundur digelar berbagai elemen masyarakat dan mahasiswa di berbagai daerah. Berbagai tragedi terjadi seperti Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, dan Kerusuhan Mei 1998.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
1. Peristiwa Gejayan
Krisis ekonomi menimbulkan protes di berbagai daerah, termasuk di Yogyakarta. Yogyakarya mencekam pada awal Mei 1998, mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta, seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma, hingga UIN Sunan Kalijaga melakukan aksi menuntut turunnya Soeharto.
Unjuk rasa itu ditanggapi dengan represif oleh aparat sehingga pecah bentrok fisik, pengejaran, hingga penangkapan pada 20 orang demonstran pada 7 Mei 1998. Puncak aksi terjadi keesokan harinya, 8 Mei 1998. Beberapa kampus sudah melakukan aksi damai sejak pukul 09.00 dan dilanjutkan pasca Jumatan.
Saat demonstrasi, mahasiswa menuntut segera dilakukan reformasi, yang berakhir bentrok dengan aparat. Puncak bentrokan terjadi saat pukul 17.00 dan berlangsung cukup lama. Bentrok ini banyak menimbulkan luka parah bagi mahasiswa hingga memakan korban jiwa, Moses Gatutkaca.
Moses, seorang mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam di Universitas Sanata Dharma, dilaporkan keluar untuk mencari makan malam melintasi para pendemo. Tapi, Moses rupanya dianggap sebagai demonstran oleh para aparat. Tak ayal, mahasiswa asal Banjarmasin itu pun dihajar.
Moses didapati dalam kondisi sekarat oleh beberapa mahasiswa di posko PMI Universitas Sanata Dharma. Pemuda yang tinggal di Gang Brojolamatan No 9A, Mrican, Yogyakarta itu tergeletak di jalan dengan kondisi tangan patah menelikung ke belakang dengan luka parah di bagian kepala dengan telinga dan hidung mengalir darah.
Belum sampai mendapat pertolongan, saat dibawa ambulans menuju Rumah Sakit Panti Rapih sekitar pukul 22.00, Moses meninggal dunia. Peristiwa ini kemudian dikenang dengan nama Peristiwa Gejayan. Nama Moses Gatutkaca lalu diabadikan sebagai nama jalan di daerah Gejayan tersebut. Moses kekal dalam ingatan sebagai simbol pergerakan mahasiswa Yogyakarta.
2. Tragedi Trisakti
Aksi demonstran menuntut Soeharto turun juga dilakukan oleh mahasiswa dari universitas-universitas di Jakarta pada 12 Mei 1998. Namun, aksi itu juga ditanggapi represif oleh aparat. Akibatnya, puluhan pedemo luka-luka dan empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas. Peristiwa itu kemudian dikenang dengan nama Tragedi Trisakti.
Korban tewas adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Beberapa bagian vital tubuh mereka yakni kepala, tenggorokan, dan dada terluka parah. Luka itu diduga akibat peluru tajam yang digunakan oleh aparat. Aparat membantah menggunakan peluru tajam, tapi bantahan itu tak mengubah fakta di lapangan.
Melansir Majalah Tempo edisi awal Februari 2008, tragedi bermula ketika ribuan massa berkumpul di halaman parkir Universitas Trisakti pukul 11 pagi, 12 Mei 1998. Ada guru besar, dosen, mahasiswa, karyawan, dan alumni. Mereka meriung sembari menantikan orasi mantan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal AH Nasution.
Beranjak siang, aliran manusia kian deras. Hawa mulai menghangat tatkala 5.000-an mahasiswa bergantian memekikkan yel-yel. “Turunkan harga sembako! Reformasi politik! Mundurlah Soeharto!” Haris Nasution batal datang dan mahasiswa kemudian melanjutkan aksi berjalan kaki ke gedung DPR/MPR di Senayan, Jakarta Pusat, 10 kilometer lebih dari Kampus Trisakti di Grogol, Jakarta Barat.
Saat itu tengah hari, sekitar pukul 12.00 WIB. Baru 100-an meter keluar dari kampus, pasukan Pengendali Massa Polres Jakarta Barat, Korps Brimob Polda Metro Jaya, dan Pasukan Anti-Huru-Hara Resimen Induk Kodam Jaya menghadang barisan. Wakil mahasiswa, Dekan Fakultas Hukum Trisakti Adi Andojo dan Komandan Kodim Jakarta Barat, Letkol (Inf.) Amril Amin, kemudian berunding.
Rembuk itu menghasilkan aksi damai hanya boleh dilakukan sampai di depan kantor lama Wali Kota Jakarta Barat. Kurang lebih 300 meter dari kampus, Adi menemui mahasiswa seusai berembuk. “Saya minta kalian berjanji tidak ada aksi kekerasan di tempat ini,” ujarnya, disambut tepuk tangan mahasiswa. Aksi berjalan tertib. Sesekali mahasiswa bercanda dengan aparat keamanan, membagikan minuman kemasan, permen, dan bunga mawar.
Sekitar pukul 16.30 WIB, aparat meminta aksi dibubarkan dan mahasiswa diminta mundur ke kampus. Sempat terjadi ketegangan. Menurut saksi dari mahasiswa, ketika mereka bergerak ke kampus, ada yang melontarkan kata-kata kotor dan makian. Seorang saksi mengatakan, sepertinya polisi sengaja memancing kemarahan mahasiswa.
Tiba-tiba dentuman senapan mengoyak udara petang hari. Mahasiswa kocar-kacir, apalagi belum semuanya masuk ke kampus. Kampus yang merupakan inner sanctum atau wilayah suci tak diindahkan oleh aparat. Berondongan senjata tak berkeputusan ke arah kampus, berlangsung hampir tiga jam. Ratusan orang terluka. Empat mahasiswa gugur akibat peluru tajam.
3. Kerusuhan Mei 1998
Kerusuhan Mei 1998 menjadi sejarah kelam bagi bangsa Indonesia, pelanggaran HAM secara besar-besaran terjadi kala itu. Peristiwa ini merupakan rangkaian tragedi-tragedi sebelumnya, Peristiwa Gejayan dan Tragedi Trisakti, dalam upaya menuntut reformasi dan turunnya Soeharto.
Tragedi Trisakti yang menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998 menyulut peristiwa yang lebih besar. Entah bagaimana, protes menuntut reformasi itu menjadi aksi anarkis yang rasial kepada etnis Tionghoa. Menurut Koordinator Investigasi dan Pendataan Tim Relawan, Sri Palupi, kerusuhan tak lepas dari isu krisis moneter yang menjadi topik utama aksi demontrasi.
Kala itu, di kalangan masyarakat sebenarnya telah timbul percikan sentimen anti-Tionghoa lantaran adanya isu orang-orang cina-lah penyebab krisis ekonomi. Mereka dituding melarikan duit Indonesia ke luar negeri dan menimbun barang-barang. Apalagi kaca mata masyarakat melihat bahwa tampaknya orang Tionghoa tak terpengaruh akan kondisi paceklik. Mereka tetap makmur menjalankan usaha pertokoan.
Kecemburuan itu bagai sumbu suluh dengan minyak tanah penuh. Kebencian dan kecurigaan seperti hawa pengap yang mengambang di udara. Ketegangan semakin menjadi ditambah dengan beredarnya desas-desus bahwa etnis Tionghoa merupakan bagian dari rezim Soekarno yang menganut paham komunis yang bertentangan dengan paham yang dianut masyarakat mayoritas.
Sentimen semakin memposisikan etnis Tionghoa sebagai dislike minority, yaitu kaum minoritas yang tidak disukai, serta disisihkan. Paska Tragedi Trisakti, antara 13 Mei sampai 15 Mei, pecahlah kerusuhan di sejumlah kota, antara lain Jakarta, Medan, Palembang, Solo, Surabaya serta beberapa kota lainnya. Toko-toko dan rumah orang Cina dijarah, dibakar dan bahkan dihancurkan.
Lebih dari itu, pelanggaran HAM berat terhadap wanita Tionghoa juga terjadi. Mereka dilecehkan, diperkosa, dianiaya dan dibunuh. Total korban tewas dalam kerusuhan Mei 1998 adalah sekitar 1.188 orang, dan setidaknya 85 wanita dilaporkan mengalami pelecehan seksual. Korban massal jatuh salah satunya saat peristiwa Jakarta membara pada 14 Mei.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | RISMA DAMAYANTI | MAJALAH TEMPO