Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Polisi dan Masyarakat dalam Keguncangan Politik

23 Desember 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Onghokham *) Ketua Lembaga Studi Sejarah Indonesia PERISTIWA mutakhir yang menggemparkan belakangan ini adalah penangkapan Tommy Soeharto yang dramatis oleh polisi. Kasus-kasus belakangan ini, yang mengaitkan kepolisian dengan berbagai keguncangan politik di Indonesia, mengingatkan saya pada karya seorang sejarawan Inggris terkenal, Richard Cobbs. Karyanya mengulas perihal sosok polisi di Prancis dalam keguncangan politik seiring dengan terjadinya gelombang Revolusi Prancis yang diikuti oleh silih bergantinya rezim politik (1789-1870). Dalam kaitan ini, pengalaman kita di Indonesia dengan serangkaian keguncangan politik dan pergantian rezim dengan cepat membuat karya Richard Cobbs, The Police and the People, memiliki relevansinya. Lembaga kepolisian modern, baik di Prancis maupun di Republik Indonesia, adalah alat negara, terlepas dari siapa yang memegang kekuasaan negara tersebut. Kasus ini ditunjukkan dalam pengalaman Prancis pada masa Perang Dunia II (1940-45) saat diduduki Jerman, dan Indonesia dalam periode yang sama saat diduduki Jepang (1942-45). Lembaga kepolisian, seperti halnya birokrasi sipil dan dinas intelijen militer maupun sipil, tetap tunduk pada negara yang ada dan menjalankan tugas yang ditentukan oleh penguasa baru tersebut. Ringkasnya, alat kepolisian tetap otonom dan netral sebagai alat negara, terlepas dari bagaimana rezim itu berkuasa. Meskipun demikian, perlu ditekankan bahwa lembaga kepolisian adalah suatu lembaga birokrasi yang bergantung pada rutinitas dalam pekerjaannya. Sebagai contoh, lembaga kepolisian senantiasa—meskipun mudah-mudahan ini hanya praduga—memiliki daftar tertentu tentang unsur masyarakat yang patut dicurigai, misalnya pemuda berambut gondrong sebagai konsumen atau pedagang narkoba, laki-laki bertato yang cenderung berperilaku kriminal, dan seterusnya. Daftar itu juga mengacu pada daerah tertentu, misalnya di Jakarta ada Kampungbali sebagai wilayah preman, Kota dengan daerah perjudiannya, Tamanlawang sebagai tempat waria, Cawang-UKI atau Senen sebagai daerah rawan. Kemudian ada orang-orang yang berasal dari daerah tertentu yang masuk dalam daftar hitam polisi, seperti orang Madura dan carok yang cepat naik pitam dan mengeluarkan golok, orang Ponorogo dan masalah warok, dan seterusnya. Pertanyaannya, bagaimanakah kepolisian sebagai suatu lembaga birokrasi menanggapi berbagai perubahan politik sekarang ini, ter-utama dengan lengsernya Presiden Soeharto yang kemudian menimbulkan kasus Tommy Soeharto. Dalam kaitan ini, saya memandang bahwa keguncangan politik sekarang ini mempengaruhi kinerja dan menimbulkan kekacauan atau "revolusi" daftar hitam yang biasanya menjadi acuan dalam kegiatan operasi polisi. Ketika Soeharto jatuh, polisi harus menangani Tommy Soeharto dan menjadikannya sebagai buron. Ini sangat tak terbayangkan sebelumnya. Dengan adanya kasus Tommy, daftar hitam polisi bukan lagi daerah mesum seperti Kampungbali atau Senen yang harus mereka awasi, tetapi daerah-daerah hunian elite di Jakarta. Mereka bahkan mengawasi wilayah kepresidenan seperti Jalan Cendana (Menteng), yang diduga menjadi tempat persembunyian Tommy. Demikian juga dengan daerah elite lainnya seperti Kebayoran, Bintaro, termasuk juga gedung apartemen dan pertokoan mewah seperti Plaza Senayan dan Sogo. Bukan lagi Pasar Senen atau Cawang. Pekerjaan yang lebih sukar adalah mengawasi berbagai kalangan sosial yang dekat dengan Tommy Soeharto saat ia menjadi buron, seperti para perwira tinggi militer (dan bahkan polisi itu sendiri), bintang film, selebriti, dan tokoh mode. Mereka adalah orang yang biasanya luput dari pengawasan dan kecurigaan polisi, kecuali untuk dilindungi. Dalam konteks inilah menjadi sangat penting dan menarik bagi kita untuk memahami cara kerja lembaga kepolisian dan lembaga sejajar lainnya seperti badan intelijen. Bagaimanakah polisi menanggapi keguncangan-keguncangan politik dalam masyarakat seperti yang terjadi ketika Sukarno dan Soeharto jatuh atau pada saat pembubaran dan pelarangan PKl pada 1965/66? Menurut saya, relevansi masalah ini bukan saja penting bagi sejarah politik, tetapi juga berkait dengan sejarah sosial (kemasyarakatan) yang berpengaruh bagi sejarah kepolisian itu sendiri dan hubungannya dengan masyarakat. Ada suatu kecenderungan penting dalam lembaga kepolisian modern, yaitu sukarnya mereka beradaptasi dengan perubahan akibat kekakuan birokrasi dalam mengubah daftar hitam (khususnya birokrasi Indonesia yang terkenal sangat kaku). Artinya, birokrasi ini mengalami kesulitan dan hampir tidak mungkin bagi mereka mencabut nama atau konsepsi tentang daftar hitam mereka. Sekali masuk daftar hitam, seseorang selamanya akan tetap dalam daftar itu. Saya belum tahu apakah akibat kasus Tommy itu daerah Cendana di Menteng akan tetap abadi masuk sebagai wilayah daftar hitam polisi. Kita lihat saja nanti. Kecenderungan yang terjadi menunjukkan tidak adanya kesiapsiagaan dalam hal tersebut, dan keluwesan dalam menghadapi perubahan politik yang hebat. Sejak reformasi, terlebih sejak Megawati menjadi presiden, fenomena perubahan cepat ditunjukkan dengan lahirnya berbagai perundang-undangan tentang otonomi dan desentralisasi serta kebebasan mengeluarkan pendapat. Semua gerakan seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Papua Merdeka, atau yang senada dengan mereka, mungkin sekarang ini legal dan diizinkan. Padahal, pada masa Soeharto, semua itu dianggap subversi. Tetapi mungkin saja gagasan subversi itu akan kembali berlaku lagi dalam menghadapi berbagai demonstrasi sekarang ini. Karena itu, persoalannya adalah bagaimana lembaga kepolisian beradaptasi terhadap perubahan. Apa yang dahulu dilarang kini tiba-tiba boleh dan legal. Orang Timor Timur atau Timor Loro Sa'e yang dulu dianggap pemberontak sekarang menjadi penduduk negara asing yang bersahabat yang perlu kita pelihara persahabatannya. Keluwesan adaptasi dalam menghadapi berbagai situasi baru diperlukan oleh yang berkepentingan. Yang dulu dianggap subversi, sekarang menjadi masalah pelanggaran hak asasi. Lembaga polisi mau tidak mau harus dihadapkan dengan situasi ini. Apalagi dengan adanya ketidakpastian politik seperti yang ditunjukkan dalam kasus impeachment Abdurahman Wahid. Impeachment ini adalah gambaran keguncangan politik yang besar pengaruhnya. Dengan itu, MPR dalam sistem presidensial bisa sesukanya memecat atau mengganti seorang presiden, padahal dalam situasi normal tindakan itu adalah kudeta atau penggantian rezim. Sistem presidensial yang terguncang lebih berbahaya daripada sistem liberal. Tapi di Indonesia, MPR sangat gampang menjatuhkan rezim presidensial, yang nilainya sama dengan menjatuhkan negara. Ringkasnya, ini adalah tindakan paling sembrono dari MPR. Pergantian rezim di Prancis pada 1789 sampai 1870 terjadi melalui "revolusi dari jalan". Sedangkan di Indonesia, pergantian rezim ini terjadi melalui kudeta parlementer atau kudeta militer. Sesungguhnya keduanya sama. Seperti yang ditunjukkan belakangan ini dalam kasus tuduhan korupsi terhadap Akbar Tandjung yang dianggap dapat mengguncangkan pemerintahan Megawati. Ini sesungguhnya tidak boleh terjadi dalam sistem presidensial kita. Dalam kaitan ini, bisa dibayangkan bagaimana posisi lembaga kepolisian atau lembaga intelijen menghadapi situasi politik seperti ini. Artinya, setiap menit rezim bisa berganti. Konsekuensinya, polisi pun harus mengubah kembali susunan daftar hitam, teman, dan lawan mereka. Sebagai perbandingan, polisi seakan-akan harus mengubah dalam sekejap wilayah yang mereka curigai seperti Kampungbali menjadi Menteng dan kemudian kembali ke Kampungbali lagi. Bisa dibayangkan bagaimana efektivitas pekerjaan mereka. Di sini jelas bukan keluwesan yang muncul, tapi permainan "akrobat" dalam setiap perubahan. Sebagai penutup, kontroversi yang muncul tentang undang-undang kepolisian yang baru dalam pandangan saya mencerminkan bagaimana persoalan-persoalan di atas terjadi. Penolakan para aktivis hak asasi manusia terhadap undang-undang baru yang dianggap terlalu militeristik dan mengedepankan kekuasaan mencerminkan persepsi yang beredar dalam masyarakat tentang kerja kepolisian di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus