J.E. Sahetapy *)
*) Guru besar emeritus
Law without force is an empty name.
(Jhering)
Sejarah dunia kriminal kita mencatat lembaran hitam seorang penjahat luar biasa pada zamannya. Dialah Kusni Kasdut. Ia bisa meloloskan diri beberapa kali dan sulit ditangkap oleh aparat kepolisian. Namun, sepandai-pandainya tupai melompat, sekali waktu akhirnya terjatuh juga.
Berbeda dengan Kusni Kasdut, yang bersembunyi di lorong-lorong gelap dan tempat-tempat apek, Tommy Soeharto, yang bergelimang uang dan sisa-sisa kekuasaan bapaknya (sebagai mantan presiden), bisa bersantai di apartemen mewah dan, bila "libido"-nya membutuhkan, bisa didampingi perempuan cantik. Kasusnya mungkin tidak akan menjadi kasus "celebre" kalau tidak dianggap sebagai aktor intelektual bertalian dengan pembunuhan mantan hakim agung Syafiuddin Kartasasmita. Sebuah pembunuhan keji, tidak saja karena menggunakan senjata api, tetapi juga mengingatkan pada cara yang digunakan mafia seperti di Sisilia, Italia.
Dunia hukum pun menjadi heboh karena korban, mantan hakim agung Syafiuddin Kartasasmita, adalah justru yang menjatuhkan vonis bersalah terhadap Tommy Soeharto dalam kasus pidana tukar guling Goro Batara Sakti. Lengkaplah kehebohan itu dengan berbagai bumbu yang kurang sedap bertalian dengan dibebaskannya Tommy dalam kasus peninjauan kembali.
Aparat kepolisian kini sedang berusaha memperlihatkan kepiawaian profesionalnya bertalian dengan pembunuhan berencana sang Hakim Agung. Pembuktiannya melalui saksi bisu yang tidak mungkin dapat dibantah oleh siapa pun, yaitu melalui tes balistik terhadap senjata yang diperkirakan digunakan dalam pembunuhan berencana itu. Dapatlah dipahami bahwa si tersangka akan berkelit dengan berbagai "alibi". Tetapi, sekali tes balistik berbicara, sesungguhnya sudah terbukti "hubungan kausal" yang sangat dibutuhkan sebagai suatu conditio sine qua non dalam rangka mendeskripsikan apakah itu Pasal 338 ataukah Pasal 340 KUHP.
Dalam "hubungan kausal" yang sangat menentukan menyangkut pembuktian hukum pidana, penyangkalan dengan "alibi" apa pun tidak bisa menggoyahkan pembuktian melalui tes balistik. Dan andaikata para pelaku penembakan kemudian menarik pengakuan mereka--suatu hal yang bisa saja diantisipasi--dituntut keterampilan dan kepiawaian aparat penyidik, aparat penuntut umum, untuk mengemas kasus itu dengan sangat "solid" agar hakim di pengadilan negeri tidak memperoleh celah untuk berkelit dan menciptakan alasan terselubung korupsi, kolusi, nepotisme (KKN).
Memang, pembelaan akan all out. Tetapi hendaknya diingat bahwa dalam kasus apa pun, bukan saja dalam kasus Tommy Soeharto, kejujuran sangat dituntut oleh etik profesi melalui kebersihan hati nurani. Berapa lama atau besarnya pidana yang akan dijatuhkan bukanlah hal untuk dikaji. Sebab, secara pribadi, sejak tahun 1978, saya telah membeberkan secara kriminologis bahwa pidana mati tidak akan menyelesaikan persoalan kejahatan, kapan dan di mana pun itu terjadi.
Struktur delik dari perbuatan pidana yang dituduhkan boleh saja diacak, dipilah-pilah, dan dicarikan berbagai alasan atau alibi. Tapi "hubungan kausal" secara tes balistik tidak dapat digoyahkan. "Hubungan kausal", baik secara formal, materiil, maupun bahkan secara sosio-yuridis, itulah yang telah diabaikan juga dalam putusan PK-nya Tommy Soeharto. "Leiding gevende functie" (fungsi memberi petunjuk) dengan sejumlah uang yang berkelimpahan, sisa-sisa kekuasaan yang masih tersisa dengan dampak politis-sosiologis, seharusnya menjadi pertimbangan yang merupakan suatu conditio sine qua non, termasuk juga dalam kasus pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita. Semuanya harus dirumuskan dengan cermat.
Itulah kenyataan yang paling pahit bagaimana perekayasaan dalam dunia penegakan hukum kita. Kini bola berada di tangan aparat kepolisian. Permulaan yang baik adalah suatu kemenangan akhir yang dicita-citakan. Proficiat untuk aparat kepolisian dengan segala kendala dan kritik yang ada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini