Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ahli: Perang Diplomasi Rusia -- Barat Mengkhawatirkan

Pengusiran sejumlah diplomat Rusia oleh Amerika Serikat, Australia, Kanada dan negara-negara Eropa, dianggap menciptakan situasi menegangkan.

27 Maret 2018 | 13.57 WIB

Presiden Donald Trump, berbicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, saat berjalan menuju sesi foto dalam acara KTT APEC di Danang, Vietnam, 11 November 2017. REUTERS/Jorge Silva
Perbesar
Presiden Donald Trump, berbicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, saat berjalan menuju sesi foto dalam acara KTT APEC di Danang, Vietnam, 11 November 2017. REUTERS/Jorge Silva

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Pengusiran sejumlah diplomat Rusia dari Amerika Serikat, Australia, Kanada dan negara-negara Eropa, dianggap menciptakan situasi yang lebih mencekam dari pada Perang Dingin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Pengusiran sekitar 115 staf diplomatik Rusia dari 22 negara Barat dilakukan sebagai bentuk protes terhadap insiden racun syaraf eks agen mata-mata Rusia di Inggris. Seperti dilansir Reuters, bekas anggota intelijen Rusia, Sergei Skripal dan putrinya, Yulia, terkapar di sebuah mal di Salisbury, Inggris selatan, pada 4 Maret 2018.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

 

 

Skripal dan putrinya terkena racun syaraf bernama Novichok, yang menempel di koper yang dibawa korban. PM Inggris merespon dengan mengusir 23 orang diplomat dan anggota intelijen Rusia. Ini dibalas Rusia dengan mengusir 23 diplomat Inggris dan menutup kantor British Council di St. Petersburg..

Terkait pengusiran besar-besaran terbaru ini, pemerintah Rusia bersumpah untuk membalas tindakan itu yang dianggapnya sebagai langkah provokatif.

 

 

Sergei Skripal, 66 tahun, dan putrinya Yulia, 33 tahun, dalam kondisi kritis di rumah sakit saat ini.l [Rex Features]

Ketegangan hubungan antara Barat dan Rusia dalam beberapa tahun belakangan termasuk konflik proksi di Timur Tengah dan risiko perang nuklir saat ini, telah diperburuk oleh serangan racun saraf tadi.

Menurut Ivan I. Kurilla, seorang ahli di Hubungan Amerika-Rusia situasi saat ini mengingatkan kembali para era 1917 saat Revolusi Bolshevik.

"Jika Anda mencari persamaan dengan apa yang terjadi, bukan Perang Dingin yang dapat menjelaskan peristiwa tetapi rezim revolusioner pertama Rusia, yang secara teratur membunuh lawan di luar negeri," kata Kurilla, seorang sejarawan di Universitas Eropa di St. Petersburg.

Kurilla mengatakan Presiden Rusia, Vladimir V. Putin, tidak tertarik menyebarkan ideologi baru dan mengobarkan revolusi dunia, tidak seperti Bolshevik awal. Tetapi Rusia di bawah Putin telah menjadi rezim revolusioner dalam kont3eks hubungan internasional.

Seperti dilansir New York Times pada 26 Maret 2018, Kurilla mengatakan Rusia saat ini tidak menyukai aturan global, yang didominasi Amerika. Apalagi Presiden George W. Bush menarik Amerika Serikat dari perjanjian Rudal Antibalistik, sebuah perjanjian Perang Dingin yang penting, pada tahun 2002.
Theresa May dan Vladimir Putin. AP

Vladimir Inozemtsev, seorang cendekiawan Rusia di Institut Studi Lanjut Polandia di Warsawa mengatakan situasi saat ini diperparah oleh sikap Putin, yang dinilai tidak mengikuti ideologi atau aturan tetap tetapi melakukan "kebijakan predator," tidak peduli seberapa ilegalnya itu.

Sikap itu, menurut Inozemtsev, tidak pernah dimiliki pemimpin Rusia di era Perang Dingin. Ini akan meruntuhkan tatanan yang ada di Eropa yang justru akan mengorbankan Rusia.

Politisi, penyiar, dan penulis terkemuka Inggris, George Galloway, yang mengecam keputusan Donald Trump dan pemimpin Barat lainnya untuk mengusir lebih dari 100 diplomat Rusia dan menutup konsulat Rusia di Seattle, menganggapnya sebagai "deklarasi perang."

Menurutnya pengusiran besar-besaran itu adalah pendahuluan dari kemerosotan hubungan yang sangat tajam.

Para ahli juga menyebutkan di era Perang Dingin, negara-negara yang terlibat masih menunjukkan rasa hormat terhadap Perjanjian Kontrol Senjata Nuklir yang dicapai sejak 1970-an. Namun kini terlihat perjanjian nuklir sudah tidak dihormati lagi terutama sejak Bush keluar dari perjanjian Rudal Antibalistik 1972, yang dikenal sebagai Perjanjian ABM pada 2002.

Dalam pidato kenegaraan pada bulan Februari, Presiden Rusia, Putin, mengungkapkan apa yang dia sebut sebagai generasi baru rudal nuklir jarak jauh, yang "tak terkalahkan". Dia menyalahkan Washington, yang sebelumnya juga mengumumkan pembangunan rudal nuklir baru yang lebih canggih.

 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus