Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Agar Pikiran Menjadi Harmonis

Mindfulness menjadi tren dunia sejak beberapa tahun lalu. Terbukti memiliki banyak faedah.

21 September 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pusat Pelatihan Meditasi Bali Usada/Okyphotoworks

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NADYA Hutagalung mengawali harinya dengan melapangkan waktu untuk dirinya sendiri. Tak lama setelah terjaga, model keturunan Indonesia-Australia ini menuju tempat semadinya. Ia duduk bersila, lalu memejamkan mata dan hanya berfokus pada napasnya. “Saya bermeditasi sekitar 15 menit,” kata Nadya, 45 tahun, ihwal rutinitasnya saat ditemui di Jakarta, Kamis, 15 Agustus lalu.

Nadya melakukan ritual semadi agar bisa sadar sepenuhnya (mindful). Selain bermeditasi, perempuan yang tinggal di Singapura ini belajar memahami pikirannya. Misalnya, ia sadar biasa grogi saat akan berbicara di atas panggung. Hal alamiah itu tak bisa ia lawan. “Tapi saya katakan kepada diri saya, ‘Oke, saya merasa gugup, tapi saya di sini dan semua orang di sana adalah manusia, semuanya ingin belajar’,” ujar duta lingkungan hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa ini.

Pun ketika tiba-tiba masalah datang, Nadya ogah terburu-buru bereaksi. Ia akan mengambil napas dalam beberapa saat sebelum membuat keputusan. Dia percaya respons yang dibuat setelah ia mengambil jeda beberapa detik tersebut tak akan membuat masalah menjadi makin runyam.

Ritual serupa dijalani siswa dan guru Global Sevilla School, Puri Indah, Jakarta Barat. Mereka mengawali kegiatan dengan diam. Setiap ganti pelajaran, guru baru yang masuk ke kelas tak langsung memberi materi. Guru akan membuka kelas dengan hening sekitar dua menit diikuti para murid, baru kemudian memulai pelajaran. Mereka meyakini kelas yang dimulai dengan sunyi itu akan membuat guru dan siswa lebih gampang memberi dan menyerap materi. “Itu membantu mereka berfokus,” kata pengawas sekolah Michael Thia.

Siswa sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas di sana juga dilatih melakukan gerakan dengan sadar (mindful movement) dua kali sepekan. Mereka dikumpulkan di lapangan, lalu diminta mengikuti gerakan pelatih. Pada Jumat, 7 September lalu, misalnya, pelatih yang berada di tengah lapangan membuat gerakan antara lain memegangi kepala, memutar-mutar lengan, dan memegangi ujung sepatu. Semua murid mengikutinya tanpa aba-aba.

Sesi mindfulness sebelum memulai pelajaran siswa Global Sevilla School di Kembangan, Jakarta Barat, 10 September 2019/TEMPO/Jati Mahatmaji

Nadya dan para siswa Global Sevilla adalah sebagian kecil dari jutaan orang yang belajar mindfulness alias kesadaran penuh setiap saat. Minat terhadap mindfulness meningkat tajam beberapa tahun belakangan. Global Wellness Institute—organisasi nirlaba yang memberdayakan kesehatan di seluruh dunia—melaporkan pada 2011 ada sekitar 4,1 persen penduduk di Amerika Serikat yang bermeditasi agar bisa sadar penuh. Jumlahnya melonjak hampir empat kali lipat menjadi 14,2 persen atau sekitar 35 juta orang pada 2017.

Aplikasi untuk membantu berlatih mindfulness juga bejibun di Play Store dan App Store. Ada lebih dari 50 aplikasi yang bisa dipilih untuk diunduh di telepon seluler. Bahkan The National mencatat jumlahnya lebih dari 1.000 aplikasi di Amerika saja. Perusahaan seperti Google, Apple, Sony, dan IKEA pun membuat latihan berbasis mindfulness demi meningkatkan kesejahteraan karyawan dan perusahaan.

Di Tanah Air, animo berlatih mindfulness juga berkembang dua tahun belakangan. Adjie Santosoputro, yang sudah 10 tahun mengajar mindfulness, mengatakan sebelumnya tak banyak yang tertarik pada latihan ini. Ia bahkan pernah mengisi kelas untuk umum yang ternyata hanya diikuti satu orang.

Tapi sekarang kelasnya laris manis. Selain mengisi kelas umum pada akhir pekan, yang selalu penuh, Adjie sering diundang mengajar di perusahaan dan kementerian. “Yang berminat belajar biasanya perusahaan yang sudah besar, yang tidak melulu ngomongin tentang profit, tapi juga soal wellness dan kesejahteraan karyawan,” ujarnya.

Belajar Sadar Sepenuhnya/TEMPO

Mindfulness adalah kesadaran yang penuh di sini dan kini. Perhatian kita tak lari ke masa lalu, yang sudah kadung terjadi dan tak bisa diubah lagi. Juga bukan ke masa depan, yang belum terjadi dan belum bisa kita apa-apakan. “Saat mindfulness, perhatian kita utuh pada aktivitas yang sedang kita lakukan,” kata praktisi kesehatan holistik Reza Gunawan.

Ketika minum, misalnya, perhatian kita tertuju pada proses minum tersebut, dari tekstur gelas yang kita pegang, warna air yang ada di dalamnya, sentuhan tepi gelas pada bibir, sampai air yang mengalir membasahi mulut dan bergerak menuju kerongkongan. Atau, saat makan, perhatian kita utuh pada makanan yang masuk ke mulut kita, rasa, tekstur, bentuk, dan asalnya sampai makanan tersebut habis. Terlihat sederhana, bukan? Tapi, menurut Adjie, saat dicoba, baru beberapa suap saja, mungkin pikiran Anda sudah berkelana ke mana-mana.

Saat melakukan aktivitas apa pun, pikiran sering kali meloncat ke banyak hal lain tanpa komando. Misalnya, saat makan, pikiran malah lari ke pekerjaan yang belum diselesaikan. Atau, ketika bekerja, yang dipikirkan justru liburan. Begitu liburan, eh, yang dipikirkan malah kondisi rumah. Walhasil, kita tak benar-benar memperhatikan apa yang sedang kita lakukan. “Bisa jadi sudah melakukan hal yang sama berbulan-bulan, tapi ketika ditanyai pengalamannya, jawabannya, ‘Ya gitu, deh’, karena tak benar-benar menyadari apa yang dialami,” ucap pelatih mindfulness Ivan Deva.

Pikiran yang gampang melompat-lompat itu, kata Adjie, terjadi karena sejak kita kecil pikiran hanya terbiasa dilatih untuk berpikir. “Padahal pikiran juga punya tugas lain, yakni untuk sadar,” ujarnya. Nah, tugas untuk sadar inilah yang dilatih lewat mindfulness.

Ketika melakukan segala sesuatu dengan kesadaran utuh, pikiran menjadi harmonis. Stres akan menjauh. Hidup pun menjadi lebih damai. Sebaliknya, kurangnya kesadaran akan membuat perhatian kita tak menyatu dengan aktivitas yang kita lakukan. Menurut Reza, hal ini lama-lama akan membuat kita kewalahan, sulit berkonsentrasi, juga gelisah. Kalau tak ditangani, bisa terakumulasi menjadi gangguan mental, seperti gangguan kecemasan dan depresi. Juga penyakit fisik, misalnya asam lambung naik, sakit maag, dan nyeri kronis.

Mindfulness awalnya dipopulerkan oleh Jon Kabat-Zinn, profesor di Fakultas Kedokteran University of Massachusetts, Amerika Serikat, yang menangani nyeri kronis. Pada 1979, Kabat-Zinn meminta dokter memberinya pasien dengan nyeri hebat yang sudah tak mempan lagi disembuhkan dengan obat. Ia membantu mereka berlatih sadar dan melihat rasa sakit itu lebih obyektif lewat meditasi selama delapan minggu. Mereka juga berdiskusi tentang dampak stres pada kesehatan.

Metode yang ia namakan Pengurangan Stres Berbasis Mindfulness (MBSR) ini rupanya bisa membuat nyeri jauh berkurang. Karena keberhasilan tersebut, cara ini kemudian diadopsi untuk banyak masalah kesehatan lain, termasuk depresi dan gangguan kecemasan. Saat ini lebih dari 200 pusat kesehatan di dunia mengadopsi cara tersebut.

Di Indonesia, mindfulness juga dimanfaatkan oleh Merta Ada, pendiri Pusat Pelatihan Meditasi Bali Usada. Merta menggabungkan konsentrasi, mindfulness, cinta kasih, dan kebijaksanaan untuk mengharmoniskan pikiran. Tujuannya untuk memulihkan kesehatan, baik fisik maupun mental. “Karena 70 persen penyakit disebabkan oleh pikiran yang tak harmonis,” ucap Merta.

Praktisi mindfulness, Adjie Santosoputro, memberikan materi Emotional Healing di Jakarta, Juni 2019./TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Ketika pikiran harmonis tercipta, kata dia, badan akan lebih mudah memproduksi enzim, seperti dopamin, serotonin, endorfin, dan oksitosin, yang semuanya dikenal sebagai hormon bahagia. Zat kimia ini akan membuat tubuh menjadi rileks dan nyaman. Dengan memusatkan konsentrasi, hormon-hormon tersebut juga akan membantu tubuh memperbaiki organ yang sakit.

Beberapa kampus dan rumah sakit juga membuat pusat penelitian tentang mindfulness, seperti University of Oxford, Inggris; dan UCLA Health, Los Angeles, Amerika Serikat, untuk mengulik lebih dalam efek mindfulness. Salah satu penelitian dilakukan oleh Gaëlle Desbordes, radiolog di Harvard Medical School dan ahli saraf di Rumah Sakit Umum Massachusetts, pada 2012. Ia melihat perubahan otak sebelum dan setelah orang bermeditasi selama dua bulan lewat pencitraan resonansi magnetik (MRI) fungsional.

Desbordes mendapati ada perbedaan pada pola aktivitas amigdala, yakni bagian otak yang antara lain bertanggung jawab menyiapkan memori dan mempersiapkan tubuh dalam kondisi darurat, misalnya ketika tiba-tiba dimaki orang. Amigdala lebih kalem setelah mereka bermeditasi. Sikap mereka ketika merespons apa yang terjadi di sekitar juga lebih santai.

Keberhasilan mindfulness menekan stres ini merembet ke banyak bidang lain. Para ahli tak hanya meneliti efeknya pada kesehatan, baik fisik maupun mental, tapi juga terhadap para pekerja dan dampaknya jika dimasukkan ke kurikulum sekolah. Seperti studi yang dilakukan Willem Kuyken dan sejawatnya di University of Oxford. Mereka mendapati tingkat depresi dan stres remaja yang mendapat kurikulum mindfulness lebih rendah ketimbang yang tidak diberi latihan tersebut. Kesejahteraan mereka juga lebih baik.

Pengawas Global Sevilla School, Michael Thia, mengatakan beberapa guru baru yang bergabung dengan sekolah itu juga merasakan efek latihan ini. Murid menjadi lebih sopan, baik kepada guru maupun kawan-kawannya. “Mindfulness baik untuk mengembangkan karakter anak,” ujar Thia.

NUR ALFIYAH

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Nur Alfiyah

Nur Alfiyah

Bergabung dengan Tempo sejak Desember 2011. Kini menjadi redaktur untuk Desk Gaya Hidup dan Tokoh majalah Tempo. Lulusan terbaik Health and Nutrition Academy 2018 dan juara kompetisi jurnalistik Kementerian Kesehatan 2019. Alumnus Universitas Jenderal Soedirman.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus