Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
ICW menemukan kejanggalan setelah memverifikasi secara acak pesantren penerima BOP di lima provinsi sepanjang tahun lalu.
Ada pula potongan calo sebesar 30-50 persen dari nilai bantuan.
Data yang tidak akurat membuka peluang penyimpangan.
JAKARTA – Indonesia Corruption Watch (ICW) menduga dana bantuan operasional pendidikan (BOP) untuk pesantren dan lembaga pendidikan Islam di Kementerian Agama menjadi bancakan berbagai pihak. Hasil investigasi ICW menemukan sejumlah pesantren fiktif tercatat sebagai penerima bantuan hingga adanya potongan bantuan oleh pejabat kantor wilayah Kementerian Agama dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Wakil Koordinator ICW, Agus Sunaryanto, mengatakan kejanggalan itu ditemukan setelah lembaganya memverifikasi secara acak pesantren penerima bantuan di lima provinsi, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, sepanjang tahun lalu. Di Aceh, misalnya, ICW menemukan tiga dari 23 pesantren penerima bantuan diduga fiktif. Ketiga pesantren tersebut tidak berada di alamat yang dilaporkannya ke Kementerian Agama. Warga setempat juga tidak mengetahui keberadaan ketiga pondok pesantren tersebut.
ICW juga mendapati sejumlah pesantren fiktif penerima bantuan BOP di empat provinsi lainnya. Misalnya, sejumlah pesantren di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara; dan Jepara, Jawa Tengah. ICW menemukan setidaknya ada enam pesantren fiktif penerima BOP berada di Jawa Tengah. "Kami meminta Kementerian Agama bekerja sama dengan penegak hukum mengusut tuntas temuan-temuan ini," kata Agus, dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat, 27 Mei 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Seksi Kelembagaan di Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama, Winuhoro Hanum Bhawono (kanan), berbicara dalam Rapat Koordinasi dan Evaluasi PIP Pondok Pesantren Salafiyah (PPS) di Kalimantan Tengah, Oktober 2019. Dok. Kemenag
Kementerian Agama memulai program BOP bagi pesantren dan lembaga pendidikan Islam yang terkena dampak pandemi Covid-19 ini dua tahun lalu. Kementerian mengalokasikan anggaran BOP sebesar Rp 2,5 triliun dalam tiga tahap. Dana hibah tersebut digunakan untuk membayar biaya operasional, honor pendidik, serta membeli masker, sabun, dan sejenisnya untuk mengurangi persebaran virus Covid-19 di lingkungan pendidikan Islam.
Tercatat ada 21 ribu pesantren yang menerima bantuan ini. Lalu ada 62 ribu madrasah dan 112 ribu lembaga pendidikan Al-Quran. Setiap pesantren dan lembaga pendidikan Islam ini menerima dana hibah yang berbeda-beda, tergantung jumlah santri ataupun peserta didik mereka. Khusus pesantren dikategorikan dalam tiga kategori, yaitu pesantren kecil dengan jumlah santri 50-500 orang, pesantren sedang dengan jumlah santri 500-1.500, dan pesantren besar dengan jumlah santri lebih dari 1.500 orang. Mereka mendapat bantuan antara Rp 25 juta dan Rp 50 juta. Kemudian madrasah dan lembaga pendidikan menerima dana hibah antara Rp 10 juta dan Rp 50 juta.
Di samping pesantren fiktif, ICW menemukan sejumlah dugaan penyimpangan lain dari program BOP ini. Di antaranya, dana BOP diduga sudah lebih dulu dipotong oleh calo, ada pesantren yang tidak memenuhi syarat tercatat sebagai penerima, bantuan tidak digunakan sesuai dengan peruntukan, serta dana hibah itu digunakan untuk kepentingan kampanye politik pihak tertentu.
Berdasarkan temuan ICW, calo pemotong dana BOP itu berasal dari berbagai kalangan, seperti anggota DPRD, pejabat kantor wilayah Kementerian Agama, serta santri dari pesantren lain di luar penerima bantuan. Potongan para calo ini sebesar 30-50 persen dari total bantuan. Pemotongan itu, antara lain, ditemukan di Kecamatan Kajen, Pekalongan, Jawa Tengah; dan di Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur.
Penyimpangan yang cukup banyak ditemukan ICW adalah jumlah pesantren penerima yang tak sesuai dengan ketentuan angka santri mereka. Misalnya, ICW menemukan ada sekitar 60 pesantren di Sumatera Utara dengan jumlah bantuan yang diterima tidak sesuai dengan syarat keberadaan santri mereka. Total bantuan untuk ke-60 pesantren itu mencapai Rp 1,9 miliar. Ada pula puluhan pesantren di Aceh yang menerima total bantuan sekitar Rp 7 miliar, tapi tak sesuai dengan syarat jumlah santrinya.
Agus Sunaryanto mengatakan temuan tersebut menunjukkan bahwa tata kelola keuangan Kementerian Agama cukup buruk. Lalu pegawai kantor wilayah Kementerian Agama di daerah dinilai tak melakukan verifikasi secara sempurna terhadap calon penerima bantuan. "Data yang tidak akurat menjadi masalah utama dan menyebabkan adanya peluang penyimpangan," kata Agus.
Kepala Seksi Kelembagaan di Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama, Winuhoro Hanum Bhawono, mengakui masih banyak kekurangan dan masalah dalam penyaluran BOP. Hasil evaluasi Kementerian Agama, kata dia, menemukan masalah penyaluran BOP tahap pertama pada akhir 2020. Di antaranya, ada pesantren yang tak aktif tapi tercatat sebagai penerima bantuan, pesantren tak diketahui keberadaannya, pesantren menerima dua kali bantuan, serta pesantren penerima tak mengetahui bahwa pihaknya mendapat bantuan.
Ia mengatakan sebagian dari evaluasi tersebut sudah ditindaklanjuti. Ada pesantren yang diminta mengembalikan dana yang diterima. Tapi dia tak menyebutkan nilai bantuan ataupun jumlah pesantren tersebut.
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Aceh, Iqbal, mengatakan pihaknya akan menindaklanjuti temuan pesantren fiktif di Aceh yang tercatat sebagai penerima BOP. "Kalau ada datanya, kami akan mencari tahu," kata dia.
Iqbal mengatakan ada sekitar 1.200 pondok pesantren di Aceh yang tercatat sebagai penerima BOP selama 2020. Total dana BOP untuk ribuan pesantren itu mencapai Rp 36 miliar.
INDRI MAULIDAR
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo