Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bukan Lagi Tempat Bergantung

Hari-hari terakhir mereka yang tergusur.

26 Oktober 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Soto Ambengan terhidang di pendapa rumah dinas wakil presiden. Senin pagi pekan lalu, sehari sebelum pelantikan presiden dan wakil presiden baru, Jusuf Kalla sarapan bersama pemimpin media massa. Begitu pelayan menawarkan minuman warna-warni, Kalla berkata, ”Kali ini saya ambil yang merah, biasanya yang kuning.” Tentu yang hadir mafhum bahwa hubungannya dengan partai ”kuning” Golkar sedang tak harmonis.

Ada saja bahan guyonan mantan wakil presiden itu. ”Selama menjadi pejabat pemerintah, saya ini selalu berurusan dengan Jalan Medan Merdeka dan angka satu atau dua,” kata Kalla.

Kalla bercerita, saat menjadi Menteri Perdagangan, ia berkantor di Jalan Medan Merdeka Timur Nomor 21. Lantas pindah menjadi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan berkantor di Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 12. Setelah itu, ia pindah ke Jalan Medan Merdeka Selatan Nomor 2 sebagai wakil presiden. ”Yang belum cuma Jalan Medan Merdeka Utara Nomor 1,” ujarnya menyebut lokasi Istana, disambut gelak tawa.

Sebetulnya kantor Departemen Perindustrian ada di Jalan Ridwan Rais dan nomor-nomor yang disebutnya itu adalah pelat nomor mobilnya, bukan nomor alamat kantornya. Toh tak ada yang memprotes humor segar khas Kalla yang serba spontan itu.

Kalla memang gagal di pemilihan presiden yang akhirnya dimenangi pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono. Bahkan perolehan suaranya bersama Wiranto berada di bawah pasangan Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto.

Karena itu, Selasa pekan lalu, selepas pelantikan presiden dan wakil presiden baru, sedan hitamnya langsung berganti pelat dari RI-2 menjadi B-2479-BQ. Mobil yang biasanya berbelok ke arah Jakarta Pusat kali ini mengarah ke Jakarta Selatan menuju rumah pribadi Kalla di Jalan Brawijaya.

Keluarga Kalla yang sejak pagi khataman di rumah ini pun langsung berhamburan menyambut pria kelahiran Watampone, Sulawesi Selatan, ini. Alih-alih suram, rumah bercat kuning gading itu justru semarak oleh tenda kain merah-putih di halaman depan dan belakang. Hidangan masakan padang dan nasi kuning khas Makassar tersaji di sana.

Selepas makan siang Kalla melepas jas hitamnya, menggulung lengan kemeja putihnya, lalu membuka sepatu tanpa melepas kaus kaki. Ia lalu duduk santai dengan kaki diselonjorkan dan badan ditarik ke belakang bertopang pada dua tangan. Senyumnya merekah dan berkali-kali tertawa lepas saat menjawab pertanyaan wartawan.

Kalla mengaku menyukai kehidupan barunya setelah tak menjadi wakil presiden karena ia tak lagi dikungkung protokoler. Namun sesantainya Kalla, sekalipun baru hari itu, ia sampai rebahan dan berguling di atas karpet ruang tengah saat ditubruk ramai-ramai oleh cucu-cucunya. ”Tak ada yang berbeda, cuma saya masih suka kaget kalau dengar orang menyebut wapres padahal kan bukan saya lagi,” ujarnya tersenyum lepas yang disambut gelak tawa.

Siang itu tak ada menteri ataupun mantan menteri yang datang. Kader Golkar yang hadir pun hanya mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Soemarsono serta Ferry Mursyidan Baldan dan Yuddy Chrisnandi. Kalla berbincang dengan mereka di ruang tamu ditemani iparnya, Aksa Mahmud, dan adiknya, Halim Kalla, yang terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Perbincangan berjalan santai, tapi air muka Kalla yang cerah itu berubah suram saat obrolan di ruang tamu menyerempet presiden dan kabinetnya. Kalla mengeluarkan kritiknya dan beberapa kata diberinya penekanan dengan menepukkan kedua tangannya di lengan kursi.

Komentar Kalla soal kabinet baru itu diburu wartawan beberapa hari belakangan, tapi hingga hari itu pun Kalla tetap bungkam. ”Saya tidak mau menggurui,” jawabnya singkat.

Kalla mengatakan dirinya mau puasa politik ataupun bisnis sampai akhir tahun ini. Setelah itu, ia baru akan menggarap pendidikan dan bisnis energi terbarukan. Ada banyak tawaran mengajar, menjadi konsultan perdamaian, juga membuat buku panduan resolusi konflik, tapi Kalla belum mau menyentuhnya. ”Saya ingin istirahat dan ketemu teman-teman.”

Ia berencana memboyong keluarganya keliling Eropa, termasuk menyambangi Spanyol dan juga Rusia—tempat kawannya, mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin, menjadi duta besar. ”Kalau dulu susah, pergi harus ajak rombongan. Sekarang enak, tak perlu repot.”

l l l

Kardus-kardus bertumpuk di balik sofa panjang ruang tengah rumah dinas Menteri Kesehatan. Masing-masing diberi label dengan kertas putih. ”Lemari kristal”, begitu label kardus yang berada di dekat tumpukan kardus kosong dan karung plastik.

Siti Fadilah Supari memang belum selesai membereskan rumah dinas di Jalan Denpasar, Jakarta Selatan, itu. Foto-foto masih terpajang di dinding, termasuk fotonya bersama Ani Yudhoyono yang dibubuhi tulisan oleh Ibu Negara itu, ”Semoga selalu dalam lindungan Allah”.

Fadilah juga masih kedatangan tamu, termasuk beberapa dokter bertamu memintanya praktek di rumah sakit mereka seandainya tak lagi menjadi menteri. Beberapa hari terakhir wartawan juga bertandang ke sana untuk ngobrol dengan Fadilah hingga larut.

Selasa malam pekan lalu, sembari menyantap mi rebus, Fadilah bercerita tentang kesedihannya menerima pesan pendek orang-orang yang meminta pertolongan. Ada seorang tak mampu, kata dia, yang saat bersalin ditaruh di kelas satu oleh rumah sakit dan akhirnya tak mampu membayar tagihan yang besarnya jutaan rupiah.

Pesan pendek seperti itu pun terpaksa dibalas singkat. ”Maaf, saya bukan Menteri Kesehatan lagi,” ujarnya lirih seraya menjanjikan akan meneruskan ke stafnya di departemen.

Ia juga bicara panjang soal program-program yang telah dan akan dirancangnya di Departemen Kesehatan atau soal keputusannya yang kerap disambut caci maki lewat telepon gelap dan pesan pendek yang tak jelas pengirimnya. Juga soal sopirnya yang mulai kemarin sudah tak mau datang lagi. Sesekali suaranya lirih dan menghentikan sejenak ceritanya.

Fadilah memang terus terombang-ambing antara pasti menjadi menteri dan lengser. Para wartawan yang datang Selasa malam pekan lalu itu diberi tahu seorang kerabat Fadilah, hari itu seseorang yang dekat dengan Yudhoyono membisiki Fadilah bahwa ia masih akan menempati rumah dinas tersebut lima tahun lagi. Apalagi malam itu memang tersiar kabar kursi Menteri Kesehatan masih kosong lantaran calonnya, Nila Djuwita Anfasa Moeloek, tak lulus seleksi.

Belakangan memang Nila akhirnya gagal jadi orang nomor satu di Departemen Kesehatan, tapi bukan Fadilah yang meneruskan masa jabatannya melainkan Endang Rahayu Sedyaningsih. Ketika ditanya soal penyusunan kabinet, Fadilah hanya menjawab, ”Kabinet itu sudah seperti celana dalam dan sikat gigi, sesuatu yang sangat pribadi bagi Presiden, jadi itu hak beliau.”

Perbincangan dengan wartawan terputus ketika Fadilah melihat televisi menyiarkan kasus Bank Century. Ia menyaksikan dengan serius. Tak lama ia berkata sambil mengusap-usap dadanya, ”Saya kok enggak habis pikir, saya yang tak punya salah ini kok tidak dipilih lagi.”

l l l

Fahmi Idris menimbang-nimbang foto di dinding ruang kerjanya. Saat beberapa koleganya masih berharap meneruskan jabatan di kabinet baru, awal Oktober lalu mantan Menteri Perindustrian ini justru sudah memajang fotonya di sebelah pendahulunya, Andung Nitimiharja. ”Lihat senyum saya lebar kan, soalnya saya sampai akhir jabatan,” ujarnya sambil tertawa.

Hari itu Fahmi mengajak wartawan mengobrol di ruangan kerjanya. Ia kelihatan yakin betul tak akan masuk lagi dalam kabinet Yudhoyono-Boediono dan bercerita ia akan kembali mengurus bisnisnya.

”Setelah ini, saya mau touring dengan motor gede keliling Bali,” kata Fahmi. Ubud menjadi tempat yang paling dituju karena di sana ia bisa menambah koleksi lukisannya. Salah satu sudut ruang kerja Fahmi memang penuh lukisan yang diboyongnya dari Ubud.

Fahmi Idris terakhir kali memakai seragam khas departemennya, safari abu-abu tua, Senin malam pekan lalu di ruang auditorium Garuda Departemen Perindustrian. Kala itu semua berbaju batik tapi Fahmi memilih mengenakan safarinya. ”Maaf, saya tidak pakai batik karena ini hari terakhir memakai baju ini.”

Semestinya para ketua asosiasi industri dan petinggi Kamar Dagang dan Industri juga hadir, tapi tak ada yang memenuhi undangan. Maka cuma orang-orang kantor departemen di Jalan Gatot Subroto ini yang menyaksikan slide foto Fahmi dari kecil hingga menjabat menteri.

Fahmi masuk kabinet Yudhoyono pada 2004 sebagai Menteri Tenaga Kerja. Setahun kemudian Presiden mengocok ulang susunan kabinetnya dan pria kelahiran Jakarta 66 tahun silam ini dipindah ke Departemen Perindustrian.

Dalam sambutannya Fahmi sempat bercerita soal sosok penggantinya, M.S. Hidayat. Ia juga berpesan kepada bawahannya agar tidak bergantung pada orang saat membina karier, ”Kalau orang tempat bergantung ganti, ya ikut ganti.”

Penyanyi Reza Artamevia menutup acara perpisahan itu. Ia membawakan lagunya, Berharap Tak Berpisah, ”Tapi apa yang terjadi, kau meninggalkanku. Izinkan aku untuk terakhir kalinya….”

Oktamandjaya Wiguna, Sita Planasari A., Nieke Indrietta, Iqbal Muhtarom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus