Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kembali dari studi doktoral, Alivermana Wiguna menemukan sejumlah mahasiswa menjadi radikal.
Berbagai cara dilakukannya untuk menghalau gerakan radikal, dari melarang ceramah hingga berdebat.
Alivermana tak membiarkan kelompok radikal mempengaruhi dan merekrut anggota baru.
PENGAJIAN di pelataran Masjid Al-Mukhlisin pada suatu sore akhir 2014 belum selesai saat Alivermana Wiguna, 45 tahun, datang. Dosen Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Muhammadiyah Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, itu langsung menanyakan kegiatan para mahasiswa di masjid yang terletak di kompleks kampus tersebut.
Rahmat Spianur, mahasiswa jurusan pendidikan ekonomi, mengaku menjawab bahwa mereka sedang mengaji. “Mengaji kok membuka Power Point ‘Dosa Investasi’,” kata Rahmat menirukan ucapan Alivermana saat dihubungi Tempo pada Selasa, 21 Juli lalu. “Dosa Investasi” adalah kajian salah satu kelompok Islam yang menyatakan manusia yang tak berbuat dosa turut menanggung dosa orang lain. Kajian ini juga mendukung sistem kekhilafahan untuk menyelesaikan masalah pelanggaran dan dosa manusia.
Menurut Rahmat, yang saat itu masih duduk di semester III, Alivermana terlihat sangat marah. Ia menyatakan “Dosa Investasi” hanya mengambil sebagian ayat Al-Quran dan mengarahkan pembacanya memiliki pemikiran serta sikap radikal. Alivermana pun melarang para mahasiswa mengikuti kajian itu. Alivermana membenarkan adanya peristiwa tersebut. “Itu satu dari banyak kemarahan saya terhadap kelompok radikal ini di kampus,” ujarnya pada Jumat, 17 Juli lalu.
Rahmat bercerita, awalnya dia mengikuti pengajian itu karena diajak rekan satu kelasnya. Ketika itu, rekannya mengatakan senior kampus memiliki pengetahuan luas mengenai agama Islam. Rahmat, yang ketika itu berusia 18 tahun, menyambut ajakan tersebut karena ingin mempelajari agama.
Saat Alivermana marah-marah sore itu, Rahmat sudah menjadi anggota kelompok pengajian tersebut selama hampir empat bulan. Dalam sepekan, dia dan kelompok tersebut dua kali beraktivitas di pelataran masjid. Pengajiannya memiliki empat tingkatan, dari membahas masalah ketuhanan, mempercayai hal gaib, menyalahkan sistem demokrasi, dan terakhir mempelajari “Dosa Investasi”. Metode pengajaran kajian itu menggunakan buku dan Power Point dari laptop dan dibimbing langsung oleh para seniornya di kampus.
Di tengah kegundahannya, Rahmat mulai mengikuti pengajian dan ceramah yang digelar Alivermana di lingkungan kampus. Salah satu ceramah yang paling ia ingat adalah setiap muslim tidak boleh sama-sama menyalahkan kelompok atau ajaran lain. Hal ini bertolak belakang dengan pengajian radikal yang Rahmat ikuti bersama seniornya di kampus. Belakangan, setelah rutin mengikuti ceramah Alivermana, Rahmat memilih meninggalkan kelompok pengajian tersebut.
Alivermana gencar memberangus kelompok radikal di kampusnya mulai akhir 2013. Saat itu, dia baru kembali mengajar di STKIP Muhammadiyah Sampit setelah tiga tahun absen karena menempuh pendidikan doktoral di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Ia kaget luar biasa begitu mendengar kabar bahwa kepengurusan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) STKIP dikuasai mahasiswa yang berafiliasi dengan kelompok radikal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alivermana lalu menelusuri informasi itu. Ia menemukan bahwa pengurus LDK ikut menentukan hari pertama puasa pada 2013 dengan metode rukyat global yang biasa digunakan kelompok radikal. Metode ini dilakukan dengan menghitung hari pertama puasa berdasarkan hilal atau pertanda bulan yang terlihat di bumi. Jika suatu negara sudah melihat tanda tersebut, negara lain mengikutinya.
Sujani, pengurus Masjid Al-Mukhlisin, juga melaporkan gerakan radikal itu kepada Alivermana. Salah satunya, mereka mendatangkan penceramah yang bukan berasal dari kalangan Muhammadiyah, melainkan dari kubu garis keras. “Isi ceramahnya selalu mengkritik keras dan menyalahkan pemerintah,” ucapnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alivermana (kiri) saat mengisi materi tentang Pengkajian Kuliah Ilmu Mawaris dalam acara Ramadhan on Campus, di STKIP Muhammadiyah Sampit, Juni 2019. Dok. Pribadi
Alivermana mencatat, selama dia meninggalkan STKIP, jumlah mahasiswa yang tergabung dalam kelompok radikal itu mencapai 40 orang dari semula hanya sembilan orang. Angka itu melonjak setelah mahasiswa yang radikal menjabat ketua badan eksekutif mahasiswa dan ketua LDK kampus. Alivermana lalu melaporkan temuannya ini kepada Ketua STKIP Muhammadiyah Sampit, Apuanor. Ketua STKIP mempersilakan Alivermana menghalau kelompok radikal di kampusnya. Menurut dia, ketika itu kampusnya belum terlalu memperhatikan kelompok berpaham radikal karena mereka belum dilarang oleh pemerintah. “Pak Aliv keras menghalau radikal ini, dan kampus selalu mendukungnya.”
Meredam gerakan kelompok radikal di kampusnya, Alivermana menempuh berbagai cara, dari melawan pemikiran mereka saat diskusi, melarang penyebaran buletin, hingga berceramah di masjid. Suatu kali, Alivermana memotong diskusi kelompok itu yang mendorong pemberlakuan hukum Islam, seperti pembunuh harus dihukum dengan cara dibunuh atau pemotongan tangan bagi pencuri.
Alivermana mengaku mencecar pentolan kelompok itu soal syarat seorang pembunuh bisa dihukum mati serta tangan pencuri dapat dipotong. “Mereka tidak bisa menjawabnya,” tuturnya. Lalu Alivermana menjelaskan bahwa hukuman potong tangan bisa diberlakukan dalam hukum Islam jika pelaku mencuri dalam nominal tertentu. Sanksi itu bisa dibatalkan jika pelaku mengakui perbuatannya.
Mahasiswa berpaham radikal juga dijadikan satu kelompok tersendiri ketika STKIP melaksanakan kuliah kerja nyata di Desa Luwuk Bunter pada 2015. Tujuannya, menurut Alivermana, adalah membatasi gerakan mereka. Alivermana juga menyisipkan satu mahasiswa, Naim Wahyudi, untuk mengawasi gerak-gerik rekannya yang berpaham radikal.
Naim mengungkapkan, selama satu bulan bersama lima pentolan kelompok berpaham radikal itu, dia sering menyaksikan mereka berupaya menarik penduduk desa bergabung dengan grupnya. Selain itu, mereka selalu mengadakan pengajian bernama “halaqah”, yang berarti lingkaran. “Saya biarkan saja karena warga desa tidak terpengaruh,” ujarnya.
Naim mengatakan Alivermana, yang terkenal sebagai dosen killer karena sulit meluluskan mahasiswanya, sudah melaporkan potensi itu kepada tokoh desa. Alivermana menyebutkan pelaporan itu dilakukan untuk berjaga-jaga agar tidak terjadi hal yang menyimpang.
Ketika memberikan ceramah di masjid kampus atau mengadakan kajian, Alivermana sering mengedepankan konsep Islam rahmatan lil alamin, yang damai dan penuh kasih sayang. Dia menyampaikan bahwa rahmat Islam bukan hanya untuk kaum muslim, tapi juga bagi nonmuslim. Ia menekankan, Islam tak mengajarkan umatnya memerangi pemeluk agama lain dan gampang mengkafirkan mereka.
Hingga 2017, menurut Alivermana, sudah tidak ada lagi penganut kelompok radikal di kampusnya. Meski demikian, Alivermana dalam ceramah dan kajiannya terus menyuarakan Islam yang damai dan bersahabat di lingkungannya, termasuk tempat dia mengajar.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo